Suatu kali, saya mengajak istri dan anak saya untuk membeli martabak super enak, super lama di dekat toko Aneka. Dengan penuh semangat kami bergegas berangkat dan membayangkan martabak coklat keju yang enak dikunyah di dalam mulut. Ketika tiba, saya langsung memesan martabak coklat keju yang kami doyani. Setelah itu kami pergi untuk membeli roti buat sarapan besok untuk menghemat waktu. Dalam perjalanan kembali saya membayangkan martabak kami yang sudah di dalam kotak, tinggal dibayar, diambil dan kemudian kami dapat berpesta martabak di rumah. Ternyata martabak kami belum juga siap. Kami terus menunggu dengan sabar dan 30 menit pun berlalu tanpa adanya tanda-tanda kalau martabak kami sedang dibuat. Saya sekali lagi menanya berapa lama lagi martabak kami akan selesai. Penjual yang sedang sibuk hanya menjawab, ‘sebentar lagi!’ Saya memperhatikan setiap orang yang menunggu martabak, setiap orang dengan wajah yang murung dan sebagian menunjukkan tanda-tanda ketidaksabaran dan saya sempat juga melihat suami-istri yang sedang bertengkar karena sudah tidak tahan menunggu lagi. Sang istri mau langsung pulang sedangkan sang suami yang doyan martabak hendak menunggu. Ada juga orang-orang yang setelah lama menunggu memarah-marahi penjual martabak sambil mengancam untuk mencabut ijin penjualannya. Ternyata, bisnis terlalu baik juga stress karena tetap mengalami permasalahan.
Ketika sudah lama menunggu, saya beberapa kali berkata kepada istri saya, ‘atau kita pulang saja, karena mungkin masih lama’. Istri saya ingin terus menunggu. Kemudian saya memutuskan untuk memperhatikan Mengyu bermain. Anak saya, Mengyu terus berlari kian kemari menikmati hidupnya. Dia adalah satu-satunya orang yang paling bersukacita di antara semua orang yang sedang menantikan martabak. Dia main pintu, main tiang, main mesin ATM, berkenalan dan penuh dengan tawa dan senyuman. Sambil bermain dia terus memandang kami dan tersenyum kepada kami. Saya yang ingin bergegas pulang berkata kepada Mengyu, “Yuk, kita pulang.” Mengyu memberikan jawaban yang membuat saya tertawa pada saat itu, “Pa, saya mau menunggu kue (martabak).”. Ternyata dia tidak hanya bermain, dia juga sedang menantikan martabak dengan sabar sambil menikmati hidup. Dia tidak membuat hidupnya terfokus pada martabak, dia beraktivitas selagi menunggu agar hidupnya tidak monoton.
Setelah menanti satu setengah jam (selama perjalanan Tanjung Pinang – Singapore), akhirnya kami mendapatkan martabak yang kami pesan. Setelah mencicipi martabak bersama istri dan anak, saya merenungkan pengalaman saya menunggu martabak bersama istri dan anak. Saya menemukan saya dapat belajar dari mengyu tentang menanti. Hidup ini merupakan suatu penantian. Kita menanti kelahiran, menanti masuk sekolah, menanti tamat sekolah, menanti karir yang baik, menanti kekasih, menanti kepenuhan kebutuhan hidup dan sebagainya. Ada juga sejumlah orang yang menanti kematian. Mereka menanti kapan mereka bisa meninggal dunia dan dibebaskan dari penderitaan dunia. Mereka merupakan orang-orang yang putus asa dan pesimis terhadap hidup.
Dengan kata lain, setiap hari, kita di dalam keadaan menanti misalnya menanti jam makan, menanti jam pulang sekolah, menanti jam main sinetron yang kita sukai. Di antara begitu banyak penantian, penantian yang paling utama sebenarnya adalah menanti akan kedatangan Tuhan Yesus untuk menjemput orang-orang percaya pulang ke Surga.
Hidup ini akan menjadi jenuh dan melelahkan jika kita hanya mengambil sikap menanti dan menanti. Kuncinya adalah sikap apa yang kita miliki ketika kita menanti. Menanti dengan penuh keluh kesah dan tidak sabar atau menanti sambil bermain (bereksplorasi). Jika kita menjalani hidup ini sambil bermain, hidup kita akan menjadi lebih ceria dan berarti. Hidup kita menjadi tidak monoton.