Ketika masih kecil, kita belajar siapa berteriak dialah pemenang. Ketika ibu berteriak – ibu menang. Ketika ayah berteriak – ayah menang. Ketika kita menangis, ibu berteriak maka ibu menang. Ketika adik kita berteriak, adik menang. Sehingga kita belajar bahwa untuk menang kita harus membesarkan badan, menunjukkan gigi yang besar sambil mengeraskan dan meninggikan suara. Biasanya cara yang paling ampuh untuk menang adalah berteriak dengan suara keras sambil menutupi telinga. Saya menemukan hal yang menarik yakni ternyata berteriak sambil menutupi telinga bukan saja merupakan urusan anak kecil tetapi juga dilakukan oleh orang-orang dewasa dan ternyata orang-orang ini adalah para anggota Mahkamah Agama. Ketika para anggota Mahkamah Agama hendak menangkap dan menghakimi Lazarus mereka berteriak-teriak sambil menutup telinga (Kis 7:57). “Berteriak-teriak sambil menutupi telinga” merupakan sikap yang menandakan arogansi, tidak bersedia mendengarkan dan menyerang untuk menyatakan kebenaran. Di Kisah Para Rasul, orang-orang yang berteriak sambil menutup telinga ini disebut sebagai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, selalu menentang Roh Kudus. (Kis 7:51)
Ketika merasa terancam, para anggota Mahkamah Agama menunjukkan gigi dan taring mereka dengan membesarkan badan dan menyerang. Mereka menggunakan kekuatan yang kelihatan yaitu dengan cara melakukan kekerasan. Mereka beramai-ramai menyerbu Stefanus dan kemudian menyeret dia keluar dan melempari dia dengan batu hingga mati. Menghadapi orang yang marah dan sangat emosional, Stefanus berespon dengan kekuatan yang tidak kelihatan yaitu dengan kuasa dari Roh Kudus. Dia melihat kemuliaan Allah dan memanjatkan doa yang sederhana yaitu “terimalah rohku” dan “TUHAN, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka.” Ketika orang-orang menggunakan kekerasan untuk membunuh Stefanus, Stefanus memohon pengampun dosa untuk mereka. Kekuasaan yang sebenarnya tidak membutuhkan kekerasan sebab kekuasaan yang sebenarnya merupakan kuasa yang tidak terkalahkan yang walaupun tampak lemah tetapi justru kuat. Kemudian Alkitab mencatat “when he had said this, he fell asleep” (NIV) yang berarti “dengan perkataan ini, ia pun tertidur”.
Petrus menasehati kita untuk tidak menjadi orang-orang yang berteriak sambil menutupi telinga yaitu orang-orang yang bersikeras mempertahankan kebodohan mereka melainkan menjadi orang-orang yang membuang segala kejahatan, tipu muslihat, kemunafikan, kedengkian dan fitnah dan menjadi seperti anak bayi yang baru lahir yang selalu ingin akan susu yang murni dan rohani sehingga kita bertumbuh dan beroleh keselamatan (1 Petrus 2:1-2). Kita dinasehatkan untuk membangun kembali hidup kita dan hidup kita disebut sebagai rumah rohani “Oikos pneumatikos” (spiritual house) (2 Pet 2:5). Fondasi untuk rumah rohani tersebut adalah Kristus sendiri, jika kita mempercayainya maka Ia akan menjadi batu penjuru bagi rumah rohani kita dan jika kita tidak mempercayainya maka Ia akan menjadi batu buangan maupun batu sandungan. Ketidakpercayaan kita sendiri akan membuat kita tersandung dan menjatuhkan kita sendiri.
Pembangunan rumah rohani di dalam diri kita tidak hanya bersifat pribadi tetapi juga bersifat komunitas. Kita akan disebut sebagai bangsa yang terpilih, imamat yang rajani “chosen people, a royal priesthood” (1 Pet 2:9). Sebagai umat yang memberitakan kebesaran-Nya serta menjadi umat yang memperoleh belas kasihan (1 Pet 2:10). Ketika saya menyaksikan anak-anak sekolah bermain, saya menemukan sepertinya “kekerasan fisik” menjadi salah satu bagian dari permainan mereka. Anak-anak suka membayangkan mereka sebagai hero yang menegakkan keadilan dengan kekerasan. Sebab itulah film-film blockbuster yang ditonton oleh anak-anak zaman sekarang. Petrus mengajarkan kita hal yang berbeda, Petrus juga pernah menggunakan kekerasan fisik tetapi ia menyadari kesalahannya dan ia mengajak kita untuk membangun rumah rohani. Rumah rohani mungkin tampak rapuh menurut kacamata sekuler tetapi justru adalah kekuatan yang sejati. Sebaliknya rumah yang tampak kokoh menurut kacamata sekuler justru sangat rapuh dan rentan apabila terjadi bencana alam. Apabila kita membangun rumah rohani kita maka kita tidak hanya menjadi bagian dari komunitas Kristus yang menguatkan tetapi diri kita yang menyatu dengan TUHAN menguatkan kita untuk mengampuni dan memohon pengampunan bagi orang-orang yang menyakiti kita. Jiwa kita menjadi bebas dan tidak lagi dikondisi oleh lingkungan kita. Bangunkanlah Rumah Rohani!