2 Timotius 2.14-26
Andaikata
Saudara hendak memulai sebuah rumah tangga baru dengan budget yang terbatas,
kira-kira perabot atau perlengkapan elektronik apa yang akan Anda
prioritaskan? Saya yakin kursi santai tidak
bakal menjadi pilihan utama, bukan? Atau akankah Anda membeli jam dinding
seharga 700 ribu rupiah? Saya yakin tidak. Suatu kali saya diajak untuk makan
di sebuah warung soto, dan yang menakjubkan adalah ternyata ada banyak jam
dinding di ruangan yang hanya berukuran sekitar 3,5 meter x 5 meter. Saya coba
menghitung jumlah jam dinding 1,2,3,4…7.
Ada 7 jam dinding yang terpajang dan yang lebih menakjubkan adalah
seluruh jam dinding menunjukkan waktu yang sama yakni Waktu Indonesia bagian
Barat.
Jam mekanikal
berasal dari sekolah teologia di abad 12 dan 13 “Benedictine Monasteries”. [1]
Hal ini dikarenakan kebutuhan untuk mengatur “saat teduh”. Pada abad ke 14, jam sudah digunakan di luar sekolah
teologia dan kemudian mengatur jam kerja, jam makan dan lain sebagainya. Teknologi
diciptakan demi kemudahan hidup sehari-hari dan juga mengubah kebiasaan
sehari-hari. Kehadiran korek api mengubah kebiasaan seksual bagi salah satu
suku Afrika. Masyarakat komunitas ini percaya bahwa penting bagi mereka untuk
menyalakan api setiap kali setelah berhubungan seksual. Setiap kali setelah seseorang melakukan
hubungan intim, ia mesti mengambil bara api dari rumah tetangga dan menyalakan
api baru. Dengan kata lain, tidak ada hubungan intim yang terselubung.
Kemudian, setelah diperkenalkan korek api, seseorang dapat menyalakan api di
rumahnya sendiri tanpa harus mengambil bara api dari rumah tetangga. Singkat
kata, sebuah penemuan baru telah mengubah kebiasaan hidup masyarakat desa
tersebut.[2]
Perabot bisa
berupa perlengkapan yang digunakan secara fungsional yakni yang penting bisa
dipakai sesuai fungsi tidak peduli desain, warna maupun bahan pembuatannya. Perabot
juga bisa mengekspresikan citarasa atau kepribadian seseorang melalui pilihan
warna, desain dan pemajangan. Perabot juga dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan
status seseorang sekaligus menambah kepercayaan diri apabila dikunjungi tamu.
Apabila seseorang menyandang filsafat hidup, “I have therefore I exist”, (aku
memiliki maka aku ada), maka ia akan mendefinisi hidupnya berdasarkan apa
yang ia miliki.
Baiklah, kita
kesampingkan topik perabot sebagai benda pemilikkan. Bagaimana apabila kita
sendiri merupakan perabot di Rumah TUHAN? Paulus menggunakan ilustrasi “perabot” untuk menggambarkan kondisi
jemaat di Efesus yang sedang digembalakan oleh Timotius. Kericuhan dan perselisihan
terjadi di dalam jemaat ini. Siapakah dalang di balik keribuatan ini? Himeneus
dan Filetus, mereka telah merusak iman sebagian orang. Perkataan mereka
menjalar seperti kanker (2 Tim 2.17). Mereka mengajarkan bahwa kebangkitan
orang percaya telah terjadi. Bisa dikatakan bahwa Himeneus adalah orang yang
berpengaruh buruk. Sebelumnya ia dan dan Alexander menolak iman dan hati nurani
yang murni sehingga Paulus menegaskan bahwa ia telah menyerahkan mereka kepada
iblis, supaya jera meraka menghujat (1 Tim 1.20). Perkataan yang destruksif
bagaikan ‘tumor” di tengah jemaat. Semangat melayani menurun, tidak ada
dorongan untuk beribadah, hidup menjadi semakin 5 L (Lelet Lemot Lemah Letih Lesu). Tumor seperti ini bakal menciptakan
“kultur suka clash” yakni sulit untuk
bekerja sama, tidak adanya semangat kekompakan maupun kolegalitas.
Di dalam
ilustrasinya, Paulus mengekspresikan bahwa ada dua jenis perabot yakni perabot yang dipakai untuk maksud yang mulia (noble purpose) dan perabot yang dipakai
untuk maksud yang kurang mulia (ignoble
purpose). Paulus membedakan perabot dari bahannya yakni ada yang terbuat
dari emas dan perak dan ada yang terbuat dari kayu dan tanah. Apabila seseorang menyucikan dirinya dari
hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, dikuduskan
dan dipandang layak untuk dipakai tuannya, dan disediakan untuk setiap
pekerjaan yang mulia (2 Tim 2.21). Nah, apakah kita memilih untuk menjadi
perabot yang mulia atau menjadi perabot yang kurang mulia? Indahnya dari
perumpamaan Paulus tentang perabot adalah semuanya berada di dalam rumah yang
sama. Yang membedakan adalah apakah kita menjadi perabot yang dipakai oleh TUHAN
untuk pekerjaan yang mulia atau tidak. Paulus juga menasihati kita untuk
meninggalkan nafsu orang muda (hasrat atau dalam bahasa Augustine conscupiscence) yang juga bisa berarti
hasrat ego dan arogansi, mengejar keadilan, kesetiaan, kasih dan damai serta
membangun hati yang murni (2 Tim 2.22).
Yang mungkin
menjadi pertanyaan adalah mengapa perabot atau perlengkapan yang kurang mulia
tetap dipertahankan? Apa manfaat dari orang-orang yang merusak iman dan
menyebalkan? Mereka bagaikan suara tik
tok tik tok ataupun bagaikan jam yang berbunyi setiap 15 menit. Apa fungsinya?
Mereka berfungsi untuk melatih kesabaran, mengasah kasih dan pengampunan. Orang
yang menyebalkan adalah orang yang paling jujur di dalam menunjukkan kesalahan (atau mencari-cari kesalahan). Orang-orang
demikian berfungsi untuk mengecek dan melatih spiritualitas.
Paulus
mengingatkan bahwa TUHAN mengenal siapa kepunyaan-Nya sehingga tidak perlu
bertengkar. Sebab pertengkaran adalah kebodohan. Paulus menasihatkan kita untuk
dengan lemah lembut menuntun orang-orang yang suka melawan sebab mungkin Tuhan
memberikan mereka kesempatan kedua. Bersikap terbukalah terhadap orang-orang
yang menyebalkan, memberikan kesempatan bagi mereka sambil menyadari pengaruh
buruk mereka.
Apa tujuan
hidup kita? Apa yang membuat hidup kita berarti? Apakah menjadi perabot untuk
fungsi yang mulia? Sebagai perabot yang berfungsi, seseorang akan berfungsi
dengan baik dalam relasinya dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan dengan sesama
manusia. Platinga menyebutnya dengan “spiritual
hygiene”[3]
yakni seseorang yang merindukan keindahan TUHAN, menyadari kebaikan TUHAN
dan menyakini kebaikan bahwa TUHAN baik pada dirinya. TUHAN menjadi Sumber yang
secara konstan memperbaharui dirinya. Ia juga akan membangun karakter dan
nilai-nilai yang excellent. Ia akan
menolak makanan sampah religi atau religious
junk food. Ia akan memproyeksikan hidupnya untuk memuliakan TUHAN, dengan
kata lain ia akan menjadi perabot yang mulia di dalam Rumah TUHAN.
Mari kita
tidak menjadi radio penyiar gossip
atau televisi pengkomen kesalahan
melainkan menjadi lampu baca yang
menerangi firman TUHAN kepada sesama (Roh Kudus sebagai Inspirator). Atau kita
dapat menjadi coffee-maker yang
menyeduh kopi penghargaan kepada setiap orang. Atau kita menjadi vase bunga penyegar hati yang sedih dan
jiwa yang lesu. Atau menjadi sofa
persahabatan, blender jus buah sukacita, album foto kenangan indah, cangkir
motivasi…