Ketika
saya hendak membawa pulang anak saya yang baru lahir di rumah sakit, seperti
bayi umumnya, matanya tertutup dan kelihatan sedang tidur. Menariknya, saya
memanggilnya, “Mengyu, ayo kita pulang.”
Dan ia memberi respon, “mmm, mmm, sambil
menggerakan kepalanya”. Kakak saya yang berdiri di sisi saya merasa heran
dan berkata, “dia berespon, lucu sekali”. Kemudian saya menggendong Mengyu dan
membawanya pulang dari Rumah Sakit. Saya paling suka melihat anak yang berumur
di bawah 1 tahun. Saya senang melihat kepolosan “purity” di dalam diri anak-anak bayi, hati mereka tidak merancang
kejahatan. Mereka memiliki hati yang tulus dan polos. Yesus berkata, “barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti
anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga” (Mat 18.4). Bagi
saya, hati yang suci adalah hati yang tidak dinodai atau dikotori oleh
motivasi-motivasi jahat. Hati yang suci adalah yang tulus dan tidak merancang
kejahatan. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tidak menghakimi sesama.
Tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak menggosipi sesama.
Hati yang suci atau hati yang
tidak dikotori berarti hati yang tidak menampung “sampah” yang kemudian bakal
mengalami pembusukkan yang menghasilkan “bakteri” dan kemudian “virus” yang
pasti akan menyakiti tuannya “host”. Mengapa hati mesti dijaga agar tetap suci
“pure”? Sebab TUHAN menyelidiki segala hati (1 Taw 28.9). Maka hati mesti
“disunat” (Ul 10.16), bagian yang bisa menjadi sarang bakteri perlu dibuang.
Di dalam buku The Screwtape Letters, C. S. Lewis dengan kreatif mengimajinasikan
surat paman iblis kepada keponakannya. Paman iblis menyarankan kepada
keponakannya agar menanam “pikiran” pada orang yang hadir di dalam sebuah
kebaktian untuk menghakimi seperti, “suara nyanyian jemaat A “out of tune”, gaya doanya yang aneh, sok
kusuk, pura-pura rohani, tidur di tengah khotbah, pendetanya kolot”. Memborbardir
(menginsepsi) dengan pikiran yang bersifat menghakimi “judgemental”.
Hati
yang suci tidak sok benar, tidak sok tahu dan mencari-cari kesalahan orang lain
dengan kaca pembesar dan mencari-cari topik gossip dengan teropong. Hati-hati
apabila Anda merasa puas dengan menjelek-jelekan orang lain dan bergembira luar
biasa ketika menemukan kesalahan orang lain bagaikan menemukan “harta karun”.
Waspadalah apabila Anda bersorak-sorai melihat kejatuhan seseorang. Salomo
mengingatkan, Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan
hatimu beria-ria kalau ia terperosok” (Amsal 24.17). Pada masa pelarian karena dikejar-kejar Saul,
Daud mempunyai alasan yang valid dan kesempatan untuk membunuh Saul. Daud
mengetahui bahwa Saul sudah ditolak TUHAN, Saul ingin mencabut nyawanya,
keberadaan Saul bagaikan duri di dalam daging Daud tetapi Daud berprinsip “Saul
adalah raja yang diurapi TUHAN, dia tidak berhak menghakmi maupun mengambil
nyawanya”. Bukankah ini merupakan ekspresi hati yang suci?
Orang yang memiliki hati yang
suci juga memiliki kasih yang murni. Kasih yang murni telah dikorup oleh
berbagai motivasi yang egoistik. “Saya
mencintai dia karena ia mencintai saya”. Saya memilih dia karena dia mampu
memenuhi kebutuhan saya”. “Saya jatuh cinta padanya karena dia menarik”.
Salah satu fitur budaya kontemporer adalah “selera
untuk membeli”. “Berbelanja” mendatangkan sukacita pada konsumen dan
ironisnya mencari pasangan hidup juga menjadi sebuah kegiatan “shopping”. Kasih yang murni tidak
menuntut tetapi kasih yang murni berprinsip “I
love you because I choose to love you”. Kasih yang murni menemukan sukacita
dalam mengasihi.
Allah tidak kelihatan karena
dikelabui oleh hati yang kompleks, licik, arogan, penuh amarah, dendam, luka,
ketamakan dan keegoisan. Hati yang suci memampukan seseorang untuk melihat
karya-karya Allah. Hati yang suci dapat melihat keindahan di dalam diri orang
lain.