Siapakah Belsyazar? Belsyazzar adalah anak Nabonidus. Ibu Nabonidus,
Adadguppi adalah putri Nebukadnezzar. Nabonidus menyerahkan pemerintahan kepada
Belsyazzar pada saat ia berangkat ke Mesir untuk mengkonsolidasi kekuasaan
kerajaan Babel yang sudah mulai merosot setelah Nebukadnezzar. Belsyazar adalah
seorang yang tidak belajar, ia tidak belajar dari sejarah. Padahal ia pasti
mengetahui peristiwa-peristiwa besar yang dialami oleh Nebukadnezzar. Akan
tetapi arogansi yang tinggi telah menutupi pandangan hatinya sehingga ia lupa
diri. Ia bahkan lupa bahwa kebesaran Babel bukanlah hasil kerjanya melainkan ia
hanya mewarisinya.
Pada suatu malam, Belsyazzar berpesta pora. Dia memerintah bawahannya
untuk mengambil perkakas emas dan perak yang ayahnya rampas dari Yerusalem.
Mereka mabuk-mabukkan menggunakan perkakas dari Bait Allah. Tindakannya mengirimkan
pesan bahwa dia adalah raja yang hebat yang telah menjatuhkan TUHAN, dan bahkan
TUHAN tidak dapat bertahan menghadapi dia. Terlihat tidak ada toleransi
beragama melainkan yang tampak adalah suatu penghinaan terhadap iman
kepercayaan yang lain. Pada saat mereka sedang mabuk-mabukkan dan memuji-muji
dewa dari emas dan perak, tampaklah jari-jari tangan manusia yang menulis di
dinding istana. Raja menjadi pucat dan sangat ketakutan. Kemudian dipanggilah
Daniel untuk membaca dan mengartikan tulisan di dinding. Raja menawarkan hadiah
dan posisi sebagai orang ketiga dalam kerajaannya, namun Daniel menolak akan
tetapi raja tetap memberikannya kepada Daniel. Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah mengapa
sebagai “orang nomor tiga” dan bukan sebagai
“orang nomor dua”? Hal ini
menjelaskan bahwa Belsyazzar bukan raja sebenarnya, tetapi ia sedang
menggantikan ayahnya Nabonidus untuk sementara. Daniel menegaskan bahwa
Belsyazzar tidak menghormati TUHAN yang Mahatinggi sehingga TUHAN menulis mene, mene, tekel, ufarsin yang artinya
adalah masa pemerintahan raja sudah
dihitung oleh Allah dan telah diakhiri. Dan pada malam itu juga ia mati
dibunuh.
Apa yang menjadikan seseorang arogan? Apakah keberhasilan keberhasilan,
pencapaian dan kuasa? Menurut saya “hasrat
untuk pamer” merupakan dorongan utama arogansi. Apa gunanya apabila
kehebatan saya tidak diketahui orang? Hasrat atau dalam bahasa Augustine “concupiscence”. Mungkin Augustine lebih
menekannya dari sisi hasrat birahi “lust”
atau dalam bahasa Freud “dorongan
genital”. Namun thesis Augustine
menekankan hasrat manusia yang korup tetapi ia juga menyadari bahwa “hasrat” juga ada sisi positifnya
seperti hasrat untuk memperoleh hikmat. (Pannenberg,
Anthropology in Theological Perspective, 91).
Hasrat untuk menjadi superior dan hasrat supremasi sebenarnya berakar
pada rasa takut dan rasa tidak aman. Hasrat seperti ini dapat disebut sebagai “kanker spiritual” (C. S. Lewis). Meninggikan diri dan merendahkan yang lain
menganggap yang lain tidak layak, tidak pantas, tidak se-level. Sikap seperti
ini merupakan sikap “anti Tuhan” dan “anti orang lain”. David K. Naugle
menulis, “If we are too big, then others
must be small. If others are made small, then we can be big”.
It was pride that changed
angels into devils;
it is humility that makes men into angels (St.
Augustine)