Saturday, 27 October 2012

DETACHMENT (2011)





Adrien Brody, pemenang Academy Awards berperan sebagai seorang guru pengganti yang bernama Henry Barthes, untuk menghindari keterikatan emosi atau kedekatan dengan kolega maupun dengan murid-muridnya ia menghindari mengajar di satu sekolah terlalu lama. Film ini memenangkan beberapa penghargaan di antaranya, Best Artistic Contribution Award di Jepang, Audience Award for Best Foreign Language Film di Brazil dan Best Picture di Belgium.

Secara melankolis film ini menggambarkan setiap orang mempunyai masalah. Masing-masing murid, Kepala Sekolah, guru dan keluarga mereka mempunyai permasalahan yang rumit. Ketika pihak sekolah mengadakan “Malam Orangtua”, tidak ada satupun orangtua murid yang hadir. Dingin dan sangat menyedihkan. Setiap karakter didepiksi dalam kondisi depresi, burn-out, kekeringan, kehilangan, stress, lelah, letih, lesu, merasa tidak ada yang peduli, tidak ada yang memperhatikan. Atau sebut saja jiwa-jiwa yang hilang dan lelah di dunia yang rumit. “A lost and tired soul in a complex world”.

Film ini juga menggambarkan bagaimana ingatan masa lalu meningkatkan intensitas amarah dan menimbulkan ledakan emosi pada seseorang. Dalam narasinya, Barthes mengatakan, “We all have problems. Someday we are better than others. Someday we have limited space for others”. Setiap kita mempunyai masalah. Ada saatnya kita lebih baik dari orang lain tetapi ada saatnya kita mempunyai ruang yang terbatas buat sesama.

Ada seorang guru yang setiap harinya berdiri dengan sedih berpegangan pada pagar besi lapangan basket. Suatu ketika ketika Barthes mendekati, ia menanyakan kabar guru tersebut. Guru tersebut merasa terkejut karena ia telah dilihat dan diperhatikan. Meredith, murid Barthes berkata kepada Barthes, “Ketika engkau melihat saya, saya merasakan engkau benar-benar melihat saya.” Kesibukan dan kompleksitas membuat manusia menjadi buta, tidak melihat. Hari-hari pertemuan dan interaksi terjadi tetapi “tidak melihat”. Barthes berkata, “I am a nonperson. You shouldn’t be here, I am not here. You may see me but I am hollow.” Mungkin kita nampak, tetapi kita tidak melihat. Mungkin kita melihat tetapi kita tidak memperhatikan. Di zaman yang sangat mementingkan komoditas, manusia menjadikan dirinya seperti barang dengan daftar spesifikasi. Sehingga manusia berhenti melihat sesama manusia melainkan manusia melihat manusia sebagai barang atau komoditas. Dengan kata lain, “we see but not see”, kita melihat tetapi tidak melihat. Tony Kaye, sutradara film melukiskan hubungan manusia yang sudah semakin renggang (menjauh dari sesama) tetapi tetap rindu untuk tetap terhubung. Erich Fromm di dalam bukunya The Art of Being menulis modern man is a mass man, he is highly “socialized,” but he is very lonely.”[1]

Barthes mengajarkan murid-muridnya tentang “ubiquitous assimilation” yakni manusia menerima apa saja dari setiap tempat setiap saat. Salah satu pemikiran yang manusia pegang adalah tetap mempercayai kebohongan walaupun menyadari ketidakbenarannya misalnya, “I need to be pretty to be happy, I need to have surgery to be pretty, I need to be thin, famous, fashionable and successful”. Serangan iklan-iklan pemasaran seperti ini, disebut Barthes sebagai “the marketing holocaust”. Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam hidup ini manusia terikat akan banyak hal dan kemudian terpisah dengan dirinya sendiri – “we attach ourselves to many things and eventually we are detached from ourselves.” Film ini diawali dengan mengutip dari Albert Camus, “and never have I felt so deeply at one and the same time so detach from myself and so present in the world”. Plot utama film ini mengisahkan Barthes yang harus menghadapi murid-murid bermasalah, guru-guru bermasalah, kepala sekolah bermasalah, seorang yang baru dia kenal di bus yang juga bermasalah, serta masih dihantui oleh trauma masa kecilnya yang menyangkut ibu dan kakeknya. Film ini memaparkan “life is full of problems”.






[1] Fromm, Erich, The Art of Being. (USA: Continuum, 2008), p.22

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12