Kej 1:2 Bumi
belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah
melayang-layang di atas permukaan air.
Bumi (erets) belum berbentuk
dan kosong. Wenham (1987, 15) dan Waltke (2007, 179) berpendapat bahwa langit
(shamayim) dan bumi (erets) di ayat pertama berarti “alam semesta”
dalam ayat yang pertama dan “erets” berarti “bumi” dalam ayat kedua (1987, 15).
Belum berbentuk (tohu - nothingness)
(Yes 29:21) bisa berarti kekacauan total (total chaos) atau padang belantara (Ul
32:10; Ayub 6:18) (Wenham, 15). Dan ketika kedua kata tersebut “tidak
berbentuk” dan “kosong” (tohu wabohu) disatukan maka artinya adalah “kehampaan
dalam keadaan menyeramkan” (Yes 34:11; Yer 4:23). “Gelap gulita” (khosek) bisa berarti
“jalan orang jahat” (Ams 2:13), “penghakiman” (Kel 10:21) atau “kematian” (Mzm
88:13) (Wenham, 16). “Samudera raya” (tehom) berarti “dalam” (deep) atau air
yang dalam (deep waters). Jadi ketika kita memadukan semua kata tersebut “belum
berbentuk, kosong, gelap gulita dan samudera raya” maka kita memperoleh sebuah
gambaran “kekacauan dan kehampaan yang menyeramkan” : Void (kehampaan), Eerie (menyeramkan), Chaotic (kekacauan), Desolation (reruntuhan), Zombie-ness (tanpa kehidupan)
Dalam keadaan yang kacau,
hampa, gelap gulita yang menyeramkan ini, Roh Allah melayang-layang di atas
permukaan air (mayim: air yang dalam). Roh Allah melayang-layang di atas
permukaan air mendemonstrasikan bahwa Allah berada di atas kekacauan. Allah
yang melihat dari atas bagaikan burung rajawali. Allah yang mengetahui keadaan
yang hampa, gelap dan kacau. Allah yang mengetahui persoalan dan pergumulan
Anda dan saya. Roh Allah melayang-layang di atas air merupakan momen di mana
Allah berpikir, berencana dan menciptakan atau dalam bahasa Bonhoeffer “God
is thinking, planning and bringing forth form” (Bonhoeffer, 38). Jadi, Roh
Allah (juga dapat diterjemahkan dengan kata “Angin Allah”) yang melayang-layang
merupakan gambaran Allah yang berproaktif merencanakan, berkreasi dan
memelihara ciptaan-Nya. Allah bergerak dengan dinamis dan secara terus-menerus
berkuasa atas kekacauan.
Roh TUHAN melayang-layang
(rahap)[1] di atas kekacauan, kehampaan
dan gelap gulita dan Ia dengan rapi dan teratur menata alam semesta dan bumi.
Keteraturan di dalam sebuah sistem yang tidak kelihatan merupakan karakteristik
penciptaan. TUHAN menciptakan alam yang memiliki kemampuan untuk mengimbangi. Namun
manusia yang dipercayakan untuk mengurus dan mengelola alam malah telah merusak
alam ini dengan serius. Dulu ketika berada di atas pesawat, pulau Batam masih
kelihatan hijau, akan tetapi jika kita melihat Batam dari jendela pesawat saat
ini kita akan menemukan Batam yang semakin tandus. Di saat pesawat mendekati
langit Jakarta sebelum mendarat, kita dapat menyaksikan lapisan tebal berwarna
abu-abu melapisi langit ibu kota Indonesia.
Dari sudut pandang penebusan
dan restorasi ciptaan-Nya, Roh Allah yang melayang-layang di atas kekacauan dan
gelap gulita yang menyeramkan secara proaktif
memikirkan dan merencanakan karya-Nya secara progresif yang terlihat apabila
kita membandingkannya dengan pemulihan ciptaan yang didepiksi di dalam kitab
Wahyu.
|
Kejadian 1-3
|
Wahyu 21-22
|
Kekacauan
|
Samudera
raya
|
Tiada lautan
|
Sumber
terang
|
Cahaya
matahari
|
Cahaya Allah
Sendiri
|
Pembagian
terang
|
Siang dan
Malam
|
Tiada malam
|
Penciptaan
|
Berada di dalam
kutukan
|
Kutukan
diangkat
|
Keadaan
moralitas manusia
|
Berpotensi
jatuh ke dalam dosa
(able to sin
dan not able not to sin)
|
Tidak
dikuasai dosa (unable to sin)
|
Keadaan
fisik manusia
|
Terbatas dan
penuh penderitaan
|
Abadi dan
tidak menderita
|
Keadaan
politis manusia
|
Terbagi-bagi
|
Secara
menyuruh tunduk pada Allah, Raja atas segala raja
|
Keadaan
spiritual manusia
|
Diusir dari
hadapan Allah
|
Bersama
dengan Allah
|
Pengudusan
|
Hari ketujuh
|
Universal
|
Allah
|
Tidak
kelihatan
|
Kelihatan
|
Anak Allah
|
Tersembunyi
|
Menyatakan
Diri
|
Air
|
Memenuhi
kebutuhan fisik
|
Memenuhi kebutuhan
spiritual
|
Dari sudut pandang spiritual,
tanpa perjumpaan dengan Tuhan dan kehadiran-Nya dalam hidup kita maka hidup
kita berada dalam kondisi “kosong” dan “gelap gulita” yang artinya hidup kita
dalam keadaan hampa. Kehampaan spiritual bagaikan lubang hitam yang menyedot
segala sesuatu untuk mengisinya tetapi tetap saja merasa hampa. Bagi saya,
kehampaan (void) yang memicu hasrat (longing) tidak selalu berkonotasi negatif.
Kehampaan dapat menjadi motivasi dan dorongan (driving force) yang mendorong
manusia untuk terus mengingini (longings) yang kemudian tercurah dalam berbagai
karya manusia seperti membangun kota, mengembangkan musik, lukisan, teknologi
yang kemudian melahirkan peradaban dan budaya (civilizations and cultures).
Namun tanpa Perintis sejarah
umat manusia, Sang Sumber Kehidupan, kehidupan manusia menjadi tidak berarti,
hampa, sepi dan melelahkan. Dinamisme kehidupan terblokir dan kreativitas tidak
berkembang. Kehampaan tersebut menjadi dorongan negatif - “rasa tidak aman dan
rasa takut”. Misalnya, kiasuisme (kiasu
adalah bahasa Hokkien untuk takut kalah) menggerogoti hati manusia.
Kehampaan (deep emptiness) dan
kerinduan (deep longings) yang mendalam tersebut juga mendorong manusia untuk
berjumpa dengan yang transenden (Higher Power) yang kerapkali diinterpretasikan
ke dalam berbagai hal seperti supernatural power, kekuatan magis,
takhyul dan lain sebagainya. Tidak heran apabila manusia selalu merasa hampa
dan tidak terpenuhi. Sebab kehampaan di dalam diri manusia hanya bisa dipenuhi
dengan terpenuhinya kebutuhan spiritual dari Sang Pencipta jika tidak manusia
akan selalu berada dalam keadaan tidak terpuaskan.
Jika kita mengkontraskan “belum
berbentuk, kosong dan gelap gulita” dengan perkataan Yesus, “Aku adalah Jalan,
Kebenaran dan Kehidupan kita akan menemukan bahwa jika kehidupan didorong oleh
motivasi yang salah dan memiliki tujuan yang salah maka hidup ini hanya menjadi
tidak berarti dan sangat melelahkan. Perkataan Yesus telah diurut sedemikian
rupa yaitu “Jalan, Kebenaran dan tujuan akhir “Hidup”. Langkah pertama adalah “Jalan”, Yesus adalah
Jalan sehingga kita harus menempuh jalan tersebut dengan iman. Sebab kita hanya
bisa menempuh sebuah perjalanan ketika kita percaya akan destinasi akhir dari
perjalanan yang kita tempuh. Banyak yang gagal di tahap pertama dan kemudian
beralih ke jalan yang lain. Tetapi permasalahannya adalah tidak ada jalan lain
menuju Bapa. Dan yang kedua adalah “Kebenaran”. Kebenaran perlu digali,
didalami dan direnungkan. Pemahaman firman TUHAN sangat penting karena firman
TUHAN adalah kunci kehidupan (Baca Roma 10:1-3). Jadi untuk memperoleh
kehidupan yang berkelimpahan di dalam TUHAN kita harus menempuh Jalan dengan
iman dan mendalami Kebenaran dengan hikmat.
Peristiwa-peristiwa yang
terjadi di dalam kehidupan sehari-hari dapat dipandang dari sudut kebenaran
firman TUHAN. Roh TUHAN melayang-layang di atas permukaan air menunjukkan bahwa Roh TUHAN selalu siap untuk
menolong manusia yang bersedia berseru kepada nama TUHAN (Roma 10:13). Karena TUHANlah
yang memulai kehidupan manusia, sehingga manusia tidak mungkin bisa menjalani
hidup yang berkelimpahan terpisah dari Sang Pencipta. Interelasi manusia dan
TUHAN merupakan kunci kehidupan. Iman memampukan kita untuk tetap yakin bahwa
TUHAN mengasihi kita di dalam kondisi apa pun. Kondisi terberat di dalam
kehidupan sekalipun tidak memisahkan kita dari kasih-Nya. Pengharapan
memampukan kita untuk bertahan hingga akhir mengingat destinasi yang mulia
dalam hidup ini – Kehidupan Sorgawi. Dan kasih mengisi kehidupan yang gelap
gulita, kosong dan tidak berarti ini dengan terang dan kehangatan.
Roh Allah yang juga dikenal
dengan Roh Kebenaran dan Roh Hikmat ini senantiasa secara proaktif memulihkan
kondisi yang rusak (eerie chaos) menjadi kondisi yang penuh damai yang nantinya
berpuncak pada Kota Damai seperti yang digambarkan di dalam kitab Wahyu. Gereja
Tuhan dipanggil untuk menjadi agen pembaruan yang berperan sebagai “Repairers
of the broken walls” and the “Restorers of streets with dwellings” (Yes
48:12).
Referensi
Bonhoeffer,
Dietrich. 2004. Creation and Fall: A Theological Exposition of Genesis 1-3.
Fortress Press: Minneapolis.
Waltke,
Bruce K. 2007. An Old Testament Theology: an exegetical, canonical and
thematic approach. Grand Rapids; Michigan: Zondervan.
Wenham,
Gordon J. 1987. Genesis 1-15. In Word Biblical Commentary Vol. 1. Waco,
Texas: Word Books.
Wolters, Albert M. 2010. Pemulihaan Ciptaan.
Surabaya: Momentum.
Batam, 1 Juli 2014
[1] Kata
melayang-layang (rahap) berarti gemetar/goyah (Yer 23:9) yang juga bisa berarti
bergerak dengan tenang.