Tadkala manusia merasa dirinya benar atau bahkan
paling benar. Dan tidak jarang ketika seseorang merasa dirinya paling benar dia
akan cenderung merendahkan semua orang. Dia akan memandang segala sesuatu yang
dilakukan orang lain itu tidak baik. Segala sesuatu yang dilakukan orang lain
itu salah. Seorang yang merasa dirinya paling benar akan selalu mengomentari
sikap dan perbuatan orang lain, menjelekkan orang lain seolah-olah dirinya
sendiri paling berpengetahuan, paling berhikmat, paling pintar dan lain
sebagainya. Khusus orang-orang yang berkaliber seperti ini atau orang yang
paling hebat ini, Yesus memberikan sebuah cerita yang dicatat oleh dokter
Lukas.
Ada dua orang datang menghadap TUHAN. Yang seorang adalah Farisi,
seorang pemimpin spiritual yang menaati hukum Taurat. Seorang yang hidup kudus
dan memelihara kekayaan tradisi dan ajaran Musa. Seorang yang saleh dan sangat
dihormati oleh masyarakat. Dia adalah seorang yang menggali dan mendalami firman
TUHAN, seorang yang taat kepada firman TUHAN. Seorang yang mempraktekkan hidup
kudus. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang pemungut cukai. Seorang
petugas pajak, seorang pajabat pemerintah yang korup. Seorang yang sering
menindas yang lemah, mendenda orang lain demi meraup keuntungan pribadi. Singkat
kata, yang satu adalah seorang yang mulia, teladan bagi masyarakat sedangkan
yang satu lagi adalah sampah masyarakat atau virus masyarakat.
Sejujurnya kita pasti memilih orang Farisi yang saleh daripada si
pemungut cukai. Namun cerita yang disampaikan oleh Yesus selalu berakhir dengan
sebuah kejutan atau dalam bahasa perfilman cerita Yesus memiliki ending
dengan twist yang mengejutkan. Sebab “ending” cerita Yesus berada di
luar logika, pemahaman dan bahkan norma sosial masyarakat. Sekarang pertanyaan
kita adalah apa yang membedakan dua orang tersebut? Kenapa doa pemungut cukai
diterima sedangkan doa orang Farisi hanya bagaikan uap saja?
Yang dilakukan orang Farisi adalah “pembenaran diri”. Dia seolah-olah
sedang memuji TUHAN tetapi sebenarnya dia sedang memuji dirinya sendiri. Ia
berdoa, “Aku mengucap syukur pada-Mu ya TUHAN, aku rajin berdoa, rajin membaca
firman, banyak menghafal ayat-ayat Alkitab, rajin berpuasa, banyak memberi
persembahan, hebat berkhotbah, pintar menulis, jago mengajar, memiliki gelar
Ph.D, TIDAK SEPERTI PEMUNGUT CUKAI INI, saya sangat berhikmat, serba tahu,
serba bisa, tidak berzinah, tidak merokok, tidak melakukan kejahatan, tidak
mengintip ke dalam rok mini perempuan dan jujur mengelola uang”. Sebenarnya,
memuji TUHAN dan memuji diri sendiri kerapkali hanya berbeda tipis. Orang
Farisi ini merasa baik pada dirinya sendiri, ia merasa sudah melakukan banyak,
sudah melayani dengan baik, sudah hidup benar. Dia menaruh percaya pada keselamatan
atas hasil perbuatan baiknya. Tidak hanya itu, dia memandang rendah pemungut
cukai, menurut dia, dirinya jauh lebih baik daripada pemungut cukai. Bukankah
kita juga sering menganggap diri kita sendiri lebih baik dari orang lain?
Sebaliknya, pemungut cukai tidak merasa dirinya lebih baik dari orang
Farisi. Ia merasa sudah tidak memiliki pengharapan. Dia merasa sebagai seorang
yang sangat berdosa, ia tidak berani menengadah ke atas, ia memukul dirinya
sendiri. Ia berdoa, “ya TUHAN, aku telah menindas, mengeksploitasi, mencuri,
menipu, mencurangi, merampas, serba tidak mampu, serba tidak bisa, serba tidak
tahu, memiliki motivasi jahat, tidak berhikmat, bodoh, berpikiran kotor, YA
TUHAN, KASIHANILAH AKU ORANG BERDOSA INI”. Dia hanya mengharapkan belas kasihan
TUHAN. Dia tidak berani menuntut apa-apa dari TUHAN, dia merasa tidak layak,
tidak pantas, tidak berkompetensi. Dia hanya berharap, kiranya TUHAN berbelas
kasihan pada dirinya.
Yesus menegaskan, pemungut cukai pulang ke rumah sebagai orang yang
dibenarkan Allah. Kisah yang diceritakan Yesus ini menegur setiap kita. Kita
diundang untuk mengevaluasi diri, apakah kita dimotivasi oleh pembenaran diri,
mencari pengakuan dan gila hormat. Apakah setiap kali kita memuji TUHAN
sebenarnya kita sedang memuji kehebatan dan pencapaian diri? Apakah setiap kali
ketika kita memuliakan TUHAN sebenarnya kita sedang memuliakan keharuman
reputasi diri? Setiap kali ketika kita mengomentari, menjelekkan dan meremehkan
orang lain, apakah kita sedang membuktikan kompetensi, pengetahuan, kecerdasan
dan kehebatan diri? Apakah kehidupan rohani kita dijadikan sebagai panggung
pertunjukkan? Kita diingatkan Yesus untuk tidak mengagungkan diri, tidak membenarkan
diri dan tidak meremehkan orang lain. Kiranya TUHAN menolong kita!
Batam, 2 Juli 2014