MARKUS 10.35-45
Dikagumi memberikan perasaan eksis sehingga tidak
heran manusia suka merasa dikagumi. Orang-orang yang mengagumi diri sendiri
cenderung melihat diri sendiri lebih superior dari orang-orang lain. Keinginan
untuk merasa istimewa dan diperhatikan menjadi pendorong utama untuk memperoleh
kekaguman dari orang-orang. Sehingga tidak heran mottonya menjadi “Look at me for I am very special”.
Didorong oleh hasrat yang kuat untuk dikagumi manusia pun menjadikan dirinya
sebagai manusia pajangan “the
displayed-self”. Kerinduan untuk dikagumi merupakan akibat dari kehampaan
diri (self-emptiness) yang secara
konstan mencari pengisian. Penekanan yang berlebihan pada keistimewaan diri
menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian sehingga memanipulasi dan
mengeksploitasi orang lain sebagai alat untuk merasa baik (to feel good). Cornelius Platinga menulis…
“People hungry for
love, people want to ‘connect,” will often open up a sequence of shallow,
self-seeking relationships with other shallow, self-seeking persons and find
that at the end of the day they are emptier than when they began.”[1]
Keinginan untuk dikagumi menjadi kompetisi yang kemudian
menimbulkan kecemburuan dan iri hati. Semangat “takut kalah” atau “kiasuism”
menjadi pendorong yang kemudian menghasilkan amarah, ketidakpuasan dan sikap
menghakimi. Keinginan untuk menjadi besar merupakan sikap “mentuhankan diri” oleh karena hasrat yang kuat untuk mendominasi
sesama. Mendominasi memberikan perasaan superior dan berkuasa (in power). Mentalitas menyaingi dan
mengalahkan berkuasa di dalam diri. Kekalahan dianggap sebagai kegagalan yang
kemudian menimbulkan amarah, ketidakpuasan, luapan emosi negatif yang mencari
kepuasan dengan menghina, mengecilkan dan meremehkan.
Manusia tidak menyadari realita
akan betapa kecil dirinya. Tidak ada yang bisa dibanggakan oleh karena
terbatasan manusia. Bahkan manusia tidak sanggup menjamin nasib (destiny) dirinya sendiri. Mungkin hari ini kita menjadi pelari tercepat,
berpenghasilan terbesar, tetapi berapa lama itu akan bertahan? Mungkin hari ini
kita dapat mengalahkan 10 orang sekaligus dalam sebuah pertarungan. Bukankah
nantinya ketika umur bertambah kekuatan kita juga berkurang? TUHAN
bertanya, “Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar
bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!” (Ayub 38.4). Siapa sich kita ini? Seberapa kompeten, seberapa
hebat sich kita?
Ketika manusia berjuang untuk mendaki tangga
kehidupan, Yesus mengajarkan pergerakkan menurun. Ia tidak mengambil kehormatan
bagi dirinya (baca Ibrani 5.4). Ia
tidak memuliakan Diri-Nya Sendiri (baca
Ibrani 5.5). Ketika orang-orang bergerak ke atas Yesus mengajarkan “Pergerakkan Menurun” atau “Downward Mobility”. Ia berkata,
"Kamu
tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya
dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras
atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar
di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi
yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.
(Markus 10.42-44)
Karena
Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mark 10.45)
[1]
Platinga,
Cornelius Jr, Not the Way It is Supposed
to Be: A Breviary of Sin, (UK:
William B. Eermands Publishing Company, 1995), p.123