The Flowers of Wars (2011) atau 金陵十三钗 (Jīnlíng Shísān Chāi)merupakan film yang disutradarai oleh Zhang
Yi Mou dengan Christian Bale (pemeran
Batman) sebagai pemeran utama. Zhang Yi Mou merupakan salah satu sutradara
terkenal di China yang juga menyutradarai banyak film, diantaranya seperti Hero
(2002) dan House of Flying Daggers (2004). Beliau jugalah yang menyutradarai
acara pembukaan dan penutupan Olimpiade 2008 yang diadakan di Beijing, China. Dalam
filmnya The Flowers of Wars, penonton dapat mendengarkan dialek Nanking di
dalam dialog yang digunakan film ini. (Dialek
Nanking agak berbeda dengan bahasa Mandarin). Seperti biasanya, film-film
Zhang Yi Mou selalu memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri.
Film ini mengisahkan serangan tentara Jepang pada tahun 1937 yang
kemudian berhasil menduduki Nanking. Peristiwa 1937 di Nanking merupakan
peristiwa yang sangat menyakitkan yang juga dikenal dengan istilah “The Nanking Massacre” atau “The Rape of Nanking”. Dilatarbelakangi
dengan peristiwa holocaust yang
sangat menyedihkan, film ini menceritakan perjuangan anak-anak remaja di
Cathedral setelah kematian pastor mereka yang meninggal dunia akibat dibom
tentara Jepang. Bagi yang tertarik untuk
mengetahui lebih banyak dari sejarah yang sangat menyakitkan ini dapat membaca
buku karya Iris Chang yang diberi judul “The
Rape of Nanking”.
Saya menyukai film-film yang menggunakan “sejarah” sebagai latar
belakang untuk menyampaikan sebuah “pesan” secara eksplisit maupun implisit. The
Flowers of Wars mempresentasikan karakter-karakter di dalam film dengan sangat
jelas. John Miller (Christian Bale), seorang yang mengurus pemakaman yang juga
pemabuk. Para pelacur juga dihadirkan untuk dikontraskan dengan anak-anak
remaja yang polos di Cathedral. Shu yang diperankan oleh Zhang Xin Yi yang juga
sebagai narrator dalam film ini didepiksikan bahwa dia tidak menyukai ayahnya
yang bekerja bagi orang Jepang, tidak menyukai Miller dan tidak menyukai Yu Mo,
si pelacur. Walaupun tidak menyukai para pelacur, Shu tidak membongkar
persembunyikan mereka kepada tentara Jepang pada saat beberapa tentara Jepang mendobrak masuk ke dalam gereja.
Insiden pemerkosaan terhadap anak-anak remaja di dalam gereja oleh
beberapa tentara Jepang yang kemudian berhasil dihentikan oleh Kolonel Hasegawa
mengubah Miller yang pada mulanya bersikap acuh tak acuh sehingga ia kemudian
mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan anak-anak remaja tersebut.
Kolonel Hasegawa digambarkan sebagai seorang tentara yang sepertinya
peduli pada anak-anak remaja tetapi ia memilih untuk menjalani tugas ketimbang
menyelamatkan anak-anak. Ia memerintahkan bawahannya untuk melindungi anak-anak
dengan berjaga-jaga di sekitar Cathedral. Dan ternyata anak-anak diminta untuk
mempersembahkan pujian di acara perayaan tentara Jepang. Karakternya
digambarkan dengan ambigu yakni apakah ia melakukannya demi tugas, demi
kenaikan pangkat atau demi menyelamatkan anak-anak. Sepertinya ia mengalami inner-conflict antara mendengarkan suara
hati nurani dan menunaikan tugas sebagai seorang tentara.
Pada mulanya, putri-putri remaja tersebut tidak menyukai para pelacur
yang dianggap bahwa kehadiran mereka telah menodai bait suci. Yu Mo tersentuh
oleh tindakan Shu yang tidak membongkar persembunyian mereka kepada tentara
Jepang sehingga mereka terlindung. Melihat para remaja yang hendak membunuh
diri bersama, Yu Mo menawarkan diri untuk menggantikan mereka bernyanyi bagi
tentara Jepang dalam rangka merayakan kemenangan angkatan bersenjata Jepang
menguasai Nanking. Kemudian Miller menggunakan keterampilannya mendandani
penampilan para pelacur sehingga mereka kelihatan seperti anak-anak remaja. Kemudian Miller menggunakan surat izin dari Mr. Meng untuk mengeluarkan anak-anak remaja dari Nanking (menyembunyikan mereka di dalam truk yang diisi penuh dengan botol anggur).
Pengorbanan (self-sacrifice)
menjadi tema penting dalam film tersebut. Film tersebut diawali dengan
pengorbanan para tentara China demi menyelamatkan anak-anak remaja dan kemudian
dilanjutkan dengan pengorbanan para tentara demi menghancurkan tank tentara
Jepang. Dan dilanjutkan dengan pengorbanan Major Lee, pengorbanan Miller,
pengorbanan Mr. Meng, ayah Shu, pengorbanan para pelacur, pengorbanan George
Chen demi menyelamatkan putri-putri remaja. George Chen (anak yatim piatu)
sebenarnya bisa menyelamatkan dirinya sendiri akan tetapi ia memilih untuk
mengorbankan dirinya demi melindungi anak-anak remaja seperti yang telah
dipesankan oleh pastornya. Sutradara tidak memaparkan apa yang terjadi pada
para pelacur dan George di acara perayaan tentara Jepang. Tetapi bisa
diprediksi mereka semua akan diperkosa massal dan kemudian dibunuh.
Selain pengorbanan, penilaian orang juga menjadi tema penting dalam
film ini. Shu meminta maaf pada Miller dan Yu Mo dan berkata bahwa sebelumnya
ia menganggap mereka tidak baik tapi kemudian persepsinya berubah. Manusia dapat
berubah menjadi baik oleh sebab itu berikanlah kesempatan bagi seseorang untuk
berubah. Mari kita tidak memojokkan seseorang dengan sikap penghakiman kita
melainkan bersikap terbuka dan menerima. Memahami “alasan” seseorang penting
bagi kita untuk tidak langsung mengambil kesimpulan dan bersikap menghakimi. Seringkali
“telinga Farisi” kita menolak
mendengarkan dan “hati ahli Taurat”
kita menolak untuk memahami. Oleh sebab itu, jangan menilai seseorang dari
tampak luarnya atau don’t judge a book by
its cover dan tidak menyimpulkan seseorang dengan cepat atau don’t quickly jump into conclusion on
anyone.
Karakter-karakter di dalam The Flowers of War didepiksi secara tajam
oleh Zhang Yi Mou. Pergumulan, nilai-nilai dan karakteristik setiap karakter
digambarkan dengan jelas oleh Zhang Yi Mou.