Tuesday, 30 October 2012

PREMIUM RUSH (2012)

Pertemuan saya dengan seorang remaja yang mengendarai sepeda tanpa gigi, tanpa rem menginspirasi saya untuk menonton Premium Rush. Mungkin remaja tersebut membeli sepeda ini setelah menonton Premium Rush dan saya menemukan remaja tersebut mempunyai potongan rambut yang mirip dengan pemeran utama di Premium Rush. Film ini tentang para pengantar paket bersepeda di kota New York yang padat. Bagi saya film ini bertemakan “keperluan” dan “motivasi”.

Wilee berkeperluan untuk menjalani panggilannya untuk mengerjakan apa yang ia cintai dengan penuh tanggungjawab. Ia tidak menyukai pekerjaan yang mengenakan stelan jas. Oleh karena hobi bersepeda maka ia sangat mencintai pekerjaan “mengantar paket”.

Tuan Monday, seorang polisi New York yang suka judi dan bermasalah dengan hutangnya. Diperparah karena telah membunuh seorang pemukul sehingga ia mesti membereskan permasalahannya dan melunasi hutangnya maka ia menerima tawaran untuk merampas sebuah amplop yang berisikan sebuah tanda terima.

Manny, juga seorang kurir bersepeda berkeperluan menandingi Wille dengan berbagai cara karena merasa terkalahkan. Oleh karena ia mencintai mantan pacar Wille membuat kemenangan mengalahkan Wille menjadi keperluan yang diprioritaskan.

Seorang polisi bersepeda New York berkeperluan untuk menangkap Wille yang telah membahayakan pejalan kaki. Keperluannya adalah menegakkan hukum dengan menangkap Wille.

Pacar Wilee, yang sebenarnya masih mencintai Wille berkeperluan untuk memberikan pertolongan kepada Wille. Sebab ia yang memperkenalkan Wille kepada Nima untuk mengantar paketnya.

Nima berkeperluan untuk bersatu kembali dengan anaknya dengan mengimpor anaknya ke Amerika.

Anak Nima berkeperluan untuk bertemu dengan ibunya.

Film ini mendemonstrasikan bagaimana “keperluan” menciptakan “motivasi” dan kemudian mendesak tindakan seseorang. Seseorang bisa menggunakan jabatannya untuk mengeksploitasi orang lain demi memenuhi keperluannya. Seseorang bisa bersembunyi dibalik hukum dan aturan demi keuntungan pribadinya. Seseorang bisa memanipulasi aturan dan manusia demi keperluan pribadinya. Seseorang juga bisa melanggar hukum demi keperluan pribadinya. Seseorang juga bisa bekerja keras demi memenuhi keperluannya untuk menerapkan nilai-nilai luhur yang ia anut. Maka “keperluan” menjadi sangat penting sehingga kita perlu bertanya, “apa yang menjadi keperluan kita?” Apakah kita menjadikan taat kepada Allah sebagai keperluan prima? Apakah ketulusan hati, kerendahan hati dan kebersediaan untuk melayani termasuk keperluan prima? Keperluan prima kita akan menjadi energi pendorong kita “our driving force”. Our primary needs matter!


Saturday, 27 October 2012

DETACHMENT (2011)





Adrien Brody, pemenang Academy Awards berperan sebagai seorang guru pengganti yang bernama Henry Barthes, untuk menghindari keterikatan emosi atau kedekatan dengan kolega maupun dengan murid-muridnya ia menghindari mengajar di satu sekolah terlalu lama. Film ini memenangkan beberapa penghargaan di antaranya, Best Artistic Contribution Award di Jepang, Audience Award for Best Foreign Language Film di Brazil dan Best Picture di Belgium.

Secara melankolis film ini menggambarkan setiap orang mempunyai masalah. Masing-masing murid, Kepala Sekolah, guru dan keluarga mereka mempunyai permasalahan yang rumit. Ketika pihak sekolah mengadakan “Malam Orangtua”, tidak ada satupun orangtua murid yang hadir. Dingin dan sangat menyedihkan. Setiap karakter didepiksi dalam kondisi depresi, burn-out, kekeringan, kehilangan, stress, lelah, letih, lesu, merasa tidak ada yang peduli, tidak ada yang memperhatikan. Atau sebut saja jiwa-jiwa yang hilang dan lelah di dunia yang rumit. “A lost and tired soul in a complex world”.

Film ini juga menggambarkan bagaimana ingatan masa lalu meningkatkan intensitas amarah dan menimbulkan ledakan emosi pada seseorang. Dalam narasinya, Barthes mengatakan, “We all have problems. Someday we are better than others. Someday we have limited space for others”. Setiap kita mempunyai masalah. Ada saatnya kita lebih baik dari orang lain tetapi ada saatnya kita mempunyai ruang yang terbatas buat sesama.

Ada seorang guru yang setiap harinya berdiri dengan sedih berpegangan pada pagar besi lapangan basket. Suatu ketika ketika Barthes mendekati, ia menanyakan kabar guru tersebut. Guru tersebut merasa terkejut karena ia telah dilihat dan diperhatikan. Meredith, murid Barthes berkata kepada Barthes, “Ketika engkau melihat saya, saya merasakan engkau benar-benar melihat saya.” Kesibukan dan kompleksitas membuat manusia menjadi buta, tidak melihat. Hari-hari pertemuan dan interaksi terjadi tetapi “tidak melihat”. Barthes berkata, “I am a nonperson. You shouldn’t be here, I am not here. You may see me but I am hollow.” Mungkin kita nampak, tetapi kita tidak melihat. Mungkin kita melihat tetapi kita tidak memperhatikan. Di zaman yang sangat mementingkan komoditas, manusia menjadikan dirinya seperti barang dengan daftar spesifikasi. Sehingga manusia berhenti melihat sesama manusia melainkan manusia melihat manusia sebagai barang atau komoditas. Dengan kata lain, “we see but not see”, kita melihat tetapi tidak melihat. Tony Kaye, sutradara film melukiskan hubungan manusia yang sudah semakin renggang (menjauh dari sesama) tetapi tetap rindu untuk tetap terhubung. Erich Fromm di dalam bukunya The Art of Being menulis modern man is a mass man, he is highly “socialized,” but he is very lonely.”[1]

Barthes mengajarkan murid-muridnya tentang “ubiquitous assimilation” yakni manusia menerima apa saja dari setiap tempat setiap saat. Salah satu pemikiran yang manusia pegang adalah tetap mempercayai kebohongan walaupun menyadari ketidakbenarannya misalnya, “I need to be pretty to be happy, I need to have surgery to be pretty, I need to be thin, famous, fashionable and successful”. Serangan iklan-iklan pemasaran seperti ini, disebut Barthes sebagai “the marketing holocaust”. Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam hidup ini manusia terikat akan banyak hal dan kemudian terpisah dengan dirinya sendiri – “we attach ourselves to many things and eventually we are detached from ourselves.” Film ini diawali dengan mengutip dari Albert Camus, “and never have I felt so deeply at one and the same time so detach from myself and so present in the world”. Plot utama film ini mengisahkan Barthes yang harus menghadapi murid-murid bermasalah, guru-guru bermasalah, kepala sekolah bermasalah, seorang yang baru dia kenal di bus yang juga bermasalah, serta masih dihantui oleh trauma masa kecilnya yang menyangkut ibu dan kakeknya. Film ini memaparkan “life is full of problems”.






[1] Fromm, Erich, The Art of Being. (USA: Continuum, 2008), p.22

APAKAH ANDA TAKUT TUA?



Apakah Anda takut tua? Apa yang kita takuti tentang penuaan? Rambut berubanan, wajah semakin keriput, gerakan fisik semakin lambat, penglihatan semakin kabur, langkah semakin pelan dan harus mengandalkan bantuan orang lain. Penuaan menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Kultur Image menekankan bahwa kita harus selalu tampak muda alias “forever young”.  Penuaan menjadi sesuatu yang harus ditolak dan dilawan sehingga bermunculan berbagai metode “anti aging” atau anti penuaan.

Di zaman yang berkarakteristikan efektivitas dan efisiensi setiap waktu harus diisi dengan kegiatan produktif yang mendatangkan keuntungan keuangan dan kemudian mesti diisi dengan mengkonsumsikan waktunya untuk bersenang-senang. Seringkali ketika mengunjungi orangtua yang menghabiskan kebanyakan waktu mereka duduk di depan televisi (entah mereka menonton atau ditonton TV) saya sering bertanya kepada mereka, “Apakah Saudara bosan?” Dan biasanya jawaban yang saya terima adalah mereka tidak merasa bosan. Saya baru menyadari ternyata saya merupakan “generasi cepat bosan” sehinggga harus mengisi waktu dengan berbagai aktivitas. Nah, kepadatan waktu kita mempercepat berlalunya waktu sebab kita akan berteriak bosan apabila waktu berlalu dengan lamban. Namun dengan cepatnya waktu berlalu maka hidup kita pun cepat menua. Jadi apakah kita semestinya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa agar waktu berlalu dengan lambat? Tentu saja tidak. Persoalan diri kita adalah kita mengisi diri kita sendiri dengan banyak aktivitas tetapi kehilangan diri kita sendiri. Kita dekat dengan banyak hal kecuali dengan diri kita sendiri. “We attach ourselves to too many things but yet we are very detached from ourselves.”

Ironisnya, manusia selalu terjebak dalam dua extrems yakni orang-orang tua ingin tampil muda dan remaja ingin tampil dewasa. Kadangkala, manusia lebih cepat tua dari fisiknya yakni hatinya tua lebih dulu. Merasa sudah terlalu tua untuk mengerjakan ini dan itu. Berhenti belajar dan menghindari hal-hal baru dan lebih menyukai hal yang bersifat, “biasanya, lazimnya, umumnya”. Mulai menghabiskan banyak waktu untuk mengenang masa lalu dan mendengarkan lagu-lagu lama. Secara fisik seseorang mungkin tampil muda tetapi jiwanya menjadi tua dan bahkan sangat tua. Di sisi lain, jiwa yang takut tua menjadikan seseorang merasa sangat tertekan apabila mendengarkan komentar, “kamu sudah kelihatan tua” dan menemukan uban bertambah, wajah semakin keriput, kulit semakin kasar. Takut tua menjadi beban psikis yang sangat menekan manusia modern di tengah kultur image.

Pada masa kanak-kanak kita dipersiapkan untuk remaja, dan pada masa remaja dan dewasa kita dimotivasi untuk menjadi sukses. Tetapi sangat jarang dan bahkan hampir tidak pernah kita dididik untuk mempersiapkan diri buat mempersiapkan penuaan diri kita. Penuaan kita hanya disoroti dari segi jaminan ekonomi dan jaminan kesehatan. Telepon-telepon menyebalkan dari agen asuransi yang terus mempresentasikan (dengan sedikit memaksa) dan memberikan iming-iming biaya penggantian yang besar mulai dari 1 miliar rupiah hingga 100 miliar rupiah. Persiapan masa tua hanya disoroti dari sisi tabungan dan kesehatan. Bagaimana dengan persiapan jiwa?

Persiapan jiwa untuk menghadapi masa tua dilupakan dan ditinggalkan seolah-olah tidak penting atau tidak diperlukan. Diasumsikan bahwa setiap orang dapat menua dengan baik. Benar bahwa penuaan secara fisik ternyata begitu saja tetapi proses penuaan dari sisi jiwa tidak terjadi begitu saja. Ada orang-orang tua yang semakin tua semakin menyebalkan. Mereka menghabisi hidupnya untuk menggosipi dan menjelek-jelekkan orang lain. Mereka mempublikasikan persoalan rumah tangga mereka, bercerita tentang anak, menantu bahkan hingga ke cucu. Anjing tetangga pun tidak luput dari topic gossip mereka. Inilah akibatnya apabila seseorang tidak bertumbuh di dalam hikmatnya. Alkitab mencatat bahwa Yesus bertumbuh besar dalam fisik dan hikmat (Baca Lukas 2.52). Dengan kata lain “growing old” harus dibarengi dengan “growing up”. Ayub menegaskan bahwa “Konon hikmat ada pada orang yang tua, dan pengertian pada orang yang lanjut umurnya.” (Ayub 12.12) Apabila seseorang bertambah hikmat di dalam masa tuanya maka hidupya akan menjadi berkat bagi banyak orang. Perkataan, nasihat, motivasi, berkat dan doa mereka menjadi pemberian yang terindah bagi banyak orang. Hidup mereka menjadi bagaikan “hadiah” bagi banyak orang. Inilah yang dialami oleh Timotius sebab neneknya adalah seorang tua yang berhikmat yang sangat berdampak pada diri Timotius. Dalam suratnya, Paulus menulis “Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu” (2 Tim 2.5).

Yahweh tidak bertambah tua seiring dengan bertambahnya usia kita. Yahweh yang menyelamatkan dan memimpin hidup kita tetap sama baik pada saat kita masih bayi, menjadi dewasa maupun pada masa tua. Yahweh bersabda, "Dengarkanlah Aku, hai kaum keturunan Yakub, hai semua orang yang masih tinggal dari keturunan Israel, hai orang-orang yang Kudukung sejak dari kandungan, hai orang-orang yang Kujunjung sejak dari rahim. Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.” (Yesaya 46.3-4). Bersedia mempersiapkan diri untuk menghadapi penuaan? Bersedia menjadi seorang tua yang berhikmat, yang disayang Yahweh dan dihormati sesama manusia?

APAKAH ENGKAU MELIHAT SAYA?


Markus 10.46-52

I am blind but I see with my heart
Mungkin kita merasa takjub menyaksikan orang buta yang bisa membaca, menyeberangi jalan dengan mengandalkan sebuah tongkat dan bahkan bisa berbelanja di mini market. Tidak dipungkiri bahwa tuna netra sangat mengandalkan pendengaran dan ingatan mereka. Mereka mengingat baik posisi barang-barang mereka dan mengingat jumlah langkah yang diperlukan untuk menuju ke kamar mandi, ruang makan, ruang tamu dan kamar tidur. Oleh karena sering mengandalkan pendengarkan, lama kelamaan pendengaran mereka menjadi semakin tajam sehingga mereka dapat mengidentifikasi berbagai suara. Mereka melihat dengan mendengar, melihat dengan merasakan.

Bartimus
Hari-hari Bartimus duduk di pinggir jalan di dekat gerbang Yeriko tempat lalu lalang banyak orang. Pintu gerbang bagaikan “warung informasi” di zaman itu sebab berita-berita terkini dapat didengarkan di sana. Mungkin secara fisik Bartimus adalah seorang tuna netra tetapi ia dapat melihat (mengetahui) banyak hanya dengan duduk di pinggir jalan. Walaupun buta, ia dapat mendengar (mengetahui) harga sebuah semangka, penjual roti yang menjual habis seluruh dagangannya, penjual perfume dengan racikan perfume terbarunya maupun pedagang anggur yang terlambat datang berjualan. Ia mengetahui dagangan siapa lebih laku, pertengkaran keluarga A dengan keluarga B, harga rumah dan harga tanah terkini, siapa yang jatuh cinta sama siapa dan siapa yang baru saja putus cinta. Bartimus yang walaupun tidak melihat namun ia banyak melihat. 

Bartimus pasti juga sudah mendengar kabar tentang Yesus orang Nazaret, ia mendengarkan tentang perbuatan Yesus orang Nazaret serta pengajaran-pengajarannya yang baru, yang menghibur dan menguatkan banyak orang tetapi tidak sedikit juga yang tersinggung dan marah. Ia mengenal Yesus Anak Daud, ben Daud yang artinya anak atau keturunan Daud. Keturunan Daud atau “the Son of David” merupakan janji tentang Sang Juruselamat seperti yang dikenal oleh orang-orang beriman (Mat 15:22, 20:30 dan Mark 10:47). Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat juga mengerti maksud dari “Anak Daud” namun mereka terlalu buta untuk dapat melihat sehingga mereka mempertanyakan kemesiasan Yesus (baca Markus 12:35-37). Bartimus melihat Yesus dalam kebutaannya (Ia melihat Yesus sebagai Mesias, Anak Daud). Ia melihat Yesus yang sanggup memulihkan dirinya. 

Bartimus melihat di dalam kebutaan akan tetapi sebagian orang tidak melihat karena kebutaan. Mereka tidak melihat Bartimus (mereka melihat tetapi tidak melihat), mereka menganggap Bartimus sebagai “gangguan”. Gangguan yang perlu disingkirkan. Gangguan yang menyebalkan. Pandangan mereka terhadap Bartimus pasti dipenuhi dengan amarah dan menghakimi (judgemental). Bartimus dapat melihat emosi mereka, kejengkelan mereka, amarah mereka tetapi mereka tidak dapat melihat harapan Bartimus, kerinduan Bartimus, tekad Bartimus, iman Bartimus. Hati mereka terlalu buta untuk melihat.

Walaupun banyak yang berpotensi mengalihkan perhatian Yesus, Ia dapat melihat Bartimus dengan jelas. Ketenangan hati Yesus memampukan Diri-Nya melihat di tengah banyaknya pengalihan perhatian. Yesus melihat iman, kerinduan, ketulusan, harapan Bartimus. Orang-orang tidak melihat Bartimus tetapi Yesus melihat Bartimus.
Do you notice me?
Seringkali kita melihat tetapi tidak melihat atau kita nampak tetapi tidak melihat. Hati kita berkabut, ditutupi awan badai sehingga kita tidak melihat. Mungkin saja penglihatan kita 20/20 tetapi apabila hati kita ditutupi kabut kegelisahan, ketakutan, kegalauan maka kita tidak dapat melihat orang-orang di sekitar kita. Penglihatan 20/20 merupakan definisi yang digunakan untuk pandangan mata normal yakni ketka seseorang berdiri di jarak 20 kaki (6 meter) dapat melihat apa yang dapat dipandang dengan mata normal pada jarak 20 kaki. Padangan elang berkisar antara 20/5 atau 20/4 yang artinya seekor elang dapat melihat seekor semut yang sedang merangkak di tanah dari jarak ketinggian gedung 10 lantai. Tetapi penglihatan tidak hanya bersifat fisik, tetapi menilik, mengenal dan memahami. Nah, penglihatan di bagian inilah yang semakin melemah dari diri manusia.

Mengapa kita bisa kehilangan kemampuan melihat (baca: memahami) sesama manusia? Kita dikondisikan oleh budaya kita untuk tidak melihat. Kita dikondisikan untuk menjadi semakin egosentris. Kita terlalu galau untuk dapat melihat. Kita dikondisikan untuk skimming dan browsing (menjelajah) but not reading. Kita kehilangan kemampuan membaca orang karena kita memilih untuk hanya skimming through. Oleh karena terlalu banyak yang harus dibaca, didengar, ditonton dan diketahui sehingga penekanan pada pemahaman pun kian memudar.

Do you see me?
 Orang-orang rindu dilihat, rindu diperhatikan sehingga “apakah engkau melihat saya?” menjadi pertanyaan yang mengusik hati. Orang banyak tidak melihat Yesus, mereka juga tidak melihat Bartimus tetapi Bartimus melihat Yesus dan Yesus melihat Bartimus.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12