A Glimpse at Spirituality
Quiet Reflection: Toward Human Flourishing by Lan Yong Xing
Sunday 30 August 2020
Friday 28 August 2020
Saturday 22 August 2020
Friday 21 August 2020
Saturday 15 August 2020
Thursday 13 August 2020
Wednesday 12 August 2020
HIKMAT! APAKAH ANDA MENCINTAINYA?
Hujan gerimis merintik! Bapa mengajak Tiffany dan Juvenus mendaki bukit yang berada di belakang kampung mereka. Mereka berjalan memgikuti jalan setapak yang sempit dan berkelok-kelok. Tibalah mereka di puncak bukit. Sang bapak mengambil sepotong kayu dan menuliskan kata, “Paham.” Kedua anaknya tidak memahami dan segan bertanya.
Juve dan Fany bertaya, “Papa, bolehkah kami bermain air hujan?” Sang Bapa tersenyum. Maka mereka berdua asyik bermain air hujan gerimis sambil senyum bahagia.
Kemudian Sang bapa memanggil Juve dan Fany ke dalam pondok kayu kecil. Di meja makan bundar berbahan kayu sudah tersedia Cheese Cake yang sudah dipotong-potong. Setelah makan, Sang Bapa berkata, “Jika kalian terjerat oleh perkataan kalian, sesegera mungkin lepaskan diri darinya (Amsal 6:1-5). Sang Bapa melanjutkan, “Jangan bermalas-malasan dan tidur-tiduran terus di kasur (Amsal 6:9-10), tetapi belajarlah dari semut yang bekerja dengan rajin (Amsal 6:6-8). Hindarilah tipu muslihat dan lidah yang jahat (Amsal 6:12-15) sebab dusta termasuk salah satu hal yang dibenci TUHAN, selain kesombongan, penumpahan darah orang tidak bersalah, kejahatan, saksi dusta dan kebohongan (Amsal 6:16-19).
Bapa mengatakan, “Nak, tahukah kalian bahwa menulis jurnal rohani itu sangat penting?” Manusia belum benar-benar merenungkan sesuatu jika dia belum menuliskannya. Mengapa? Menulis memaksa kita menata pikiran kita. Menulis memaksa kita berpikir secara mendalam dan sistematis. Sang Bapa mengatakan, “Tambahkanlah semuanya itu pada JARIMU, dan tulislah itu pada loh hatimu” (Amsal 7:3).
Banyak orang Kristen mengatakan mereka tidak belajar apa-apa selama 10 tahun kehidupan iman mereka. Ketika didorong untuk membimbing orang lain, mereka mengatakan bahwa mereka tidak sanggup. Seandainya mereka mencatat setiap khotbah maupun renungan yang mereka dengar, sudah berapa banyak bahan yang mereka pelajari dan dapat dibagikan? Seandainya mereka menulis jurnal rohani dari SAAT TEDUH mereka, sudah berapa banyak bekal yang dapat mereka gunakan untuk membimbing orang lain? Terlebih lagi, jurnal mempermudah mereka melihat pekerjaan TUHAN dalam hidup mereka dengan lebih jelas. Untuk memperoleh hikmat, kita mesti merindukannya, mencintainya, mencarinya, dan berjuang demi mendapatkannya.
Kecuali kita mencintai dan mencari hikmat, kita tidak akan mendapatkannya (Amsal 8:17). Kecuali seseorang menghargai hikmat sebagai harta yang sangat berharga, dia tidak akan memeliharanya dengan erat (Amsal. 18:21). Firman TUHAN mengajarkan, “Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah…hendaklah ia meminta dengan iman” (Yak. 1:5-6).
Juve dan Fany bertaya, “Papa, bolehkah kami bermain air hujan?” Sang Bapa tersenyum. Maka mereka berdua asyik bermain air hujan gerimis sambil senyum bahagia.
Kemudian Sang bapa memanggil Juve dan Fany ke dalam pondok kayu kecil. Di meja makan bundar berbahan kayu sudah tersedia Cheese Cake yang sudah dipotong-potong. Setelah makan, Sang Bapa berkata, “Jika kalian terjerat oleh perkataan kalian, sesegera mungkin lepaskan diri darinya (Amsal 6:1-5). Sang Bapa melanjutkan, “Jangan bermalas-malasan dan tidur-tiduran terus di kasur (Amsal 6:9-10), tetapi belajarlah dari semut yang bekerja dengan rajin (Amsal 6:6-8). Hindarilah tipu muslihat dan lidah yang jahat (Amsal 6:12-15) sebab dusta termasuk salah satu hal yang dibenci TUHAN, selain kesombongan, penumpahan darah orang tidak bersalah, kejahatan, saksi dusta dan kebohongan (Amsal 6:16-19).
Bapa mengatakan, “Nak, tahukah kalian bahwa menulis jurnal rohani itu sangat penting?” Manusia belum benar-benar merenungkan sesuatu jika dia belum menuliskannya. Mengapa? Menulis memaksa kita menata pikiran kita. Menulis memaksa kita berpikir secara mendalam dan sistematis. Sang Bapa mengatakan, “Tambahkanlah semuanya itu pada JARIMU, dan tulislah itu pada loh hatimu” (Amsal 7:3).
Banyak orang Kristen mengatakan mereka tidak belajar apa-apa selama 10 tahun kehidupan iman mereka. Ketika didorong untuk membimbing orang lain, mereka mengatakan bahwa mereka tidak sanggup. Seandainya mereka mencatat setiap khotbah maupun renungan yang mereka dengar, sudah berapa banyak bahan yang mereka pelajari dan dapat dibagikan? Seandainya mereka menulis jurnal rohani dari SAAT TEDUH mereka, sudah berapa banyak bekal yang dapat mereka gunakan untuk membimbing orang lain? Terlebih lagi, jurnal mempermudah mereka melihat pekerjaan TUHAN dalam hidup mereka dengan lebih jelas. Untuk memperoleh hikmat, kita mesti merindukannya, mencintainya, mencarinya, dan berjuang demi mendapatkannya.
Kecuali kita mencintai dan mencari hikmat, kita tidak akan mendapatkannya (Amsal 8:17). Kecuali seseorang menghargai hikmat sebagai harta yang sangat berharga, dia tidak akan memeliharanya dengan erat (Amsal. 18:21). Firman TUHAN mengajarkan, “Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah…hendaklah ia meminta dengan iman” (Yak. 1:5-6).
SETIA DALAM SITUASI SULIT
Mungkin mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa “Allah itu baik!” dalam kondisi baik dan segala sesuatu berjalan dengan lancar. Namun untuk. tetap berpegang pada iman dan mempercayai “TUHAN itu baik” di tengah situasi sulit adalah sebuah tantangan besar. Badai kehidupan menguji fondasi iman kita. Pandemi COVID-19 menguji fondasi iman kita.
Daniel dan tiga orang sahabatnya berada dalam situasi yang sulit, baik bagi mereka sendiri, maupun bagi orangtua mereka. Mereka ditangkap dan dibawa ke Babel pada tahun 605 SM.
Nah, bayangkan dirimu sebagai seorang remaja usia 14-15 tahun ditangkap dan dibawa ke sebuah negeri yang asing bagimu. Saudara dipaksa menerima pendidikan untuk bekerja bagi raja yang telah menghancurkan kotamu dan menawanmu. Saudara harus mengadaptasi dengan budaya asing dan gaya hidup asing. Saudara dipaksa untuk bekerja bagi raja yang menangkap dirimu. Daniel dan ketiga sahabatnya menolak mengompromi iman mereka.
Namamu pun diganti oleh raja Babel yang menawanmu menjadi nama dengan nuansa budaya lokal. Raj Nebukadnezzar bisa mengganti nama mereka, tetapi tidak dapat menggantikan identitas mereka. Ketika ditawarkan hidangan makanan yang lezat dan menggiurkan, Daniel dan ketiga sahabatnya menolak. Padahal mereka dapat berpikir, “Toh, TUHAN sudah melupakan kami. Rumah TUHAN juga sudah dibakar. Kami juga sudah dibuang ke negeri asing. Nama kami juga sudah diganti, belum lagi harus beradaptasi dengan budaya dan bahasa baru. Kini hidangan makanan lezat di depan mata. Mengapa tidak kita makan saja?” Meskipun menolak hidangan raja yang lezat (yummy), Daniel dan ketiga temannya menerima sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian dan kemungkinan juga termasuk roti.
Alkitab mencatat bahwa mereka tidak ingin menajiskan diri mereka. Mungkin juga Daniel dan ketiga temannya tidak ingin terlalu nyaman dan lupa diri. Babel termasuk kota metropolitan pada saat itu. Sebuah kota ramai dan maju. Sebuah kota yang penuh godaan. Keputusan ini berkenan bagi TUHAN sehingga firman TUHAN mengatakan, “Maka Allah mengaruniakan kepada Daniel kasih dan sayang dari pemimpin pegawai istana itu” (Dan. 1:9).
Firman TUHAN menegaskan, “Kepada keempat orang muda itu Allah memberikan pengetahuan dan kepandaian tentang berbagai-bagai tulisan dan hikmat, sedang Daniel juga mempunyai pengertian tentang berbagai-bagi penglihatan dan mimpi” (Dan. 1:17).
Kita tidak boleh menyerahkan suasana hati kita kepada kondisi yang diperhadapkan kepada kita. Kiranya kita berakar di dalam relasi kita yang akrab dengan TUHAN. Kiranya hikmat dan kasih sayang TUHAN besertamu!
Daniel dan tiga orang sahabatnya berada dalam situasi yang sulit, baik bagi mereka sendiri, maupun bagi orangtua mereka. Mereka ditangkap dan dibawa ke Babel pada tahun 605 SM.
Nah, bayangkan dirimu sebagai seorang remaja usia 14-15 tahun ditangkap dan dibawa ke sebuah negeri yang asing bagimu. Saudara dipaksa menerima pendidikan untuk bekerja bagi raja yang telah menghancurkan kotamu dan menawanmu. Saudara harus mengadaptasi dengan budaya asing dan gaya hidup asing. Saudara dipaksa untuk bekerja bagi raja yang menangkap dirimu. Daniel dan ketiga sahabatnya menolak mengompromi iman mereka.
Namamu pun diganti oleh raja Babel yang menawanmu menjadi nama dengan nuansa budaya lokal. Raj Nebukadnezzar bisa mengganti nama mereka, tetapi tidak dapat menggantikan identitas mereka. Ketika ditawarkan hidangan makanan yang lezat dan menggiurkan, Daniel dan ketiga sahabatnya menolak. Padahal mereka dapat berpikir, “Toh, TUHAN sudah melupakan kami. Rumah TUHAN juga sudah dibakar. Kami juga sudah dibuang ke negeri asing. Nama kami juga sudah diganti, belum lagi harus beradaptasi dengan budaya dan bahasa baru. Kini hidangan makanan lezat di depan mata. Mengapa tidak kita makan saja?” Meskipun menolak hidangan raja yang lezat (yummy), Daniel dan ketiga temannya menerima sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian dan kemungkinan juga termasuk roti.
Alkitab mencatat bahwa mereka tidak ingin menajiskan diri mereka. Mungkin juga Daniel dan ketiga temannya tidak ingin terlalu nyaman dan lupa diri. Babel termasuk kota metropolitan pada saat itu. Sebuah kota ramai dan maju. Sebuah kota yang penuh godaan. Keputusan ini berkenan bagi TUHAN sehingga firman TUHAN mengatakan, “Maka Allah mengaruniakan kepada Daniel kasih dan sayang dari pemimpin pegawai istana itu” (Dan. 1:9).
Firman TUHAN menegaskan, “Kepada keempat orang muda itu Allah memberikan pengetahuan dan kepandaian tentang berbagai-bagai tulisan dan hikmat, sedang Daniel juga mempunyai pengertian tentang berbagai-bagi penglihatan dan mimpi” (Dan. 1:17).
Kita tidak boleh menyerahkan suasana hati kita kepada kondisi yang diperhadapkan kepada kita. Kiranya kita berakar di dalam relasi kita yang akrab dengan TUHAN. Kiranya hikmat dan kasih sayang TUHAN besertamu!
Tuesday 11 August 2020
Monday 10 August 2020
WANITA YANG MEMIMPIN
Beberapa waktu lalu media tertarik dengan para pemimpin wanita beberapa negara dikarenakan negara-negara tersebut ternyata menangani krisis pandemi COVID-19 dengan lebih baik. Dalam artikel berjudul “Why women leaders are excelling during the coronavirus pandemic” membahas keunikan para pemimpin wanita dalam menangangi krisis seperti Jerman, New Zealand dan Taiwan. Pada tanggal 1 April 2020, Perdana Menteri Sint Maarten, Silveria Jacobs yang memimpin sebuah negara kecil dengan hanya 2 tempat tidur ICU mengatakan, “Simply Stop Moving. If you don’t have bread you like in your house, eat crackers. Eat cereal. Eat Oats. Eat…sardines.”
Saudari, sebagai kaum hawa Saudara mungkin merasa lebih lemah dan merasa tidak sebaik para pria. Mari kita belajar dari Hakim-hakim 4-5 yang mengisahkan peran dua orang wanita dalam sejarah Israel. Hakim-hakim adalah kitab yang mengisahkan sebuah zaman yang gelap, yakni setelah menempati tanah perjanjian, orang-orang Israel berbuat sesuka hati mereka. Mereka meninggalkan TUHAN dan sibuk dengan membangun rumah, membuka ladang baru, kandang domba baru (Hak. 5:16), menikmati perahu dan perikanan (Hak. 5:17) dan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Mereka melupakan perintah TUHAN (Hak. 2:1-3).
Yabin, raja Kanaan mengirim Sisera, Panglima tentaranya untuk menyerang Israel. Mendapatkan berita tersebut, orang Israel berseru memohon kepada TUHAN. Saat itu, Israel dipimpin oleh seorang wanita bernama Debora. Dia memanggil Barak, pemimpin militer Israel untuk maju menghadapi Sisera. Ironisnya, Barak berkata, “Jika engkau turut maju, aku pun maju” (Hak. 4:8). Seorang pemimpin militer minta ditemanin seorang wanita di medan perang, seriously? Barak tidak percaya pada penyertaan TUHAN. Dia mau memastikan penyertaan TUHAN dengan kehadiran Debora. Hal tersebut menunjukkan Barak tidak mempunyai persahabatan yang dekat dengan TUHAN.
Debora berkata kepada Barak, “Engkau tidak akan mendapat kehormatan…sebab TUHAN akan menyerahkan Sisera ke dalam tangan seorang PEREMPUAN” (Hak. 4:9). Bagi seorang pemimpin militer, ini merupakan hal yang sangat memalukan. Dalam pelariannya, Sisera yang tadinya memimpin 900 kereta besi meminta air, Yael memberi dia susu. Sisera meminta Yael menjaga di pintu kemah, dia malah mengambil patok kemah dan membunuh sang panglima. Sisera mati di tangan seorang wanita sederhana. Apa yang seharusnya menjadi kehormatan Barak menjadi kehormatan Yael (Hak. 5:24). Dalam peristiwa tersebut, dua pemimpin militer dipermalukan (Sisera dan Barak) dan dua wanita (Debora dan Yael) ditinggikan. Yesus mengatakan, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan DIHORMATI Bapa” (Yoh. 12:26). Dalam melaksanakan rancangan-Nya, TUHAN dapat menggunakan siapa saja yang Dia kehendaki.
Saudara, terlepas dari soal gender, kita mungkin memandang rendah diri sendiri atau orang lain. Atau kita seperti Barak yang menyandarkan imannya pada orang lain. Debora dan Yael merupakan contoh wanita biasa yang dipakai TUHAN dalam melaksanakan rancangan-Nya.
Saudara, konteks masa itu tidak bisa dilihat dari kacamata sekarang yah, karena itu memang pada zaman perang. TUHAN memang berkehendak melenyapkan orang-orang Kanaan karena kejahatan mereka.
Saudari, sebagai kaum hawa Saudara mungkin merasa lebih lemah dan merasa tidak sebaik para pria. Mari kita belajar dari Hakim-hakim 4-5 yang mengisahkan peran dua orang wanita dalam sejarah Israel. Hakim-hakim adalah kitab yang mengisahkan sebuah zaman yang gelap, yakni setelah menempati tanah perjanjian, orang-orang Israel berbuat sesuka hati mereka. Mereka meninggalkan TUHAN dan sibuk dengan membangun rumah, membuka ladang baru, kandang domba baru (Hak. 5:16), menikmati perahu dan perikanan (Hak. 5:17) dan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Mereka melupakan perintah TUHAN (Hak. 2:1-3).
Yabin, raja Kanaan mengirim Sisera, Panglima tentaranya untuk menyerang Israel. Mendapatkan berita tersebut, orang Israel berseru memohon kepada TUHAN. Saat itu, Israel dipimpin oleh seorang wanita bernama Debora. Dia memanggil Barak, pemimpin militer Israel untuk maju menghadapi Sisera. Ironisnya, Barak berkata, “Jika engkau turut maju, aku pun maju” (Hak. 4:8). Seorang pemimpin militer minta ditemanin seorang wanita di medan perang, seriously? Barak tidak percaya pada penyertaan TUHAN. Dia mau memastikan penyertaan TUHAN dengan kehadiran Debora. Hal tersebut menunjukkan Barak tidak mempunyai persahabatan yang dekat dengan TUHAN.
Debora berkata kepada Barak, “Engkau tidak akan mendapat kehormatan…sebab TUHAN akan menyerahkan Sisera ke dalam tangan seorang PEREMPUAN” (Hak. 4:9). Bagi seorang pemimpin militer, ini merupakan hal yang sangat memalukan. Dalam pelariannya, Sisera yang tadinya memimpin 900 kereta besi meminta air, Yael memberi dia susu. Sisera meminta Yael menjaga di pintu kemah, dia malah mengambil patok kemah dan membunuh sang panglima. Sisera mati di tangan seorang wanita sederhana. Apa yang seharusnya menjadi kehormatan Barak menjadi kehormatan Yael (Hak. 5:24). Dalam peristiwa tersebut, dua pemimpin militer dipermalukan (Sisera dan Barak) dan dua wanita (Debora dan Yael) ditinggikan. Yesus mengatakan, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan DIHORMATI Bapa” (Yoh. 12:26). Dalam melaksanakan rancangan-Nya, TUHAN dapat menggunakan siapa saja yang Dia kehendaki.
Saudara, terlepas dari soal gender, kita mungkin memandang rendah diri sendiri atau orang lain. Atau kita seperti Barak yang menyandarkan imannya pada orang lain. Debora dan Yael merupakan contoh wanita biasa yang dipakai TUHAN dalam melaksanakan rancangan-Nya.
Saudara, konteks masa itu tidak bisa dilihat dari kacamata sekarang yah, karena itu memang pada zaman perang. TUHAN memang berkehendak melenyapkan orang-orang Kanaan karena kejahatan mereka.
BUKAN KARENA JASA-JASAKU!
Outbreak virus corona yang sejak Maret 2020 menjadi pandemik menyebabkan banyak orang merenungkan kembali makna kesuksesan. Selama ini manusia menilai dirinya berdasarkan kemampuan memperoleh kekayaan (acquisition power) dan kemampuan mengonsumsi (consumptive ability).
Wabah COVID-19 kembali mendemonstrasikan hikmat Pengkhotbah yang menyerukan semua kesibukan manusia adalah sia-sia bagaikan menjaring angin (Pkh. 2:4-11). Gedung-gedung besar yang kita dirikan dan agungkan menjadi sepi. Tidak ada orang yang memuji-muji kehebatan dan kesuksesan yang kita capai. Raja Salomo menegur bahwa sebagian besar jerih payah dan peningkatan kemampuan manusia disebabkan oleh IRI HATI (Pkh. 4:4).
Pertemuan Ibadah sejak pertengahan Maret 2020 telah diubah menjadi Ibadah virtual. Hal tersebut seharusnya memaksa kita untuk memikirkan sikap dan tujuan kita beribadah selama ini. Pengkhotbah menyampaikan sebuah poin yang menarik untuk direnungkan. Dia mengatakan, “Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah! Menghampiri untuk MENDENGAR adalah lebih baik daripada mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, karena mereka tidak tahu bahwa mereka berbuat jahat.” (Pkh. 4:17).
Teguran Pengkhotbah sangat menusuk hati, bukan? Apa gunanya mempraktekkan ritus keagamaan, tetapi kita hidup dalam kejahatan? Mungkin Saudara berpikir, “Saya tidak terlibat dalam kejahatan.” Pernahkah Saudara bergosip? Pernahkah kita menyadari sebuah perbuatan baik, tetapi tidak kita lakukan? Pernahkah Saudara memandang remeh seseorang karena dia tidak sepintar dirimu? Bukankah kita juga berpartisipasi dalam merusak bumi ini? Itu juga kejahatan! Bukankah mendengarkan TUHAN dan menaati-Nya merupakan prioritas kehidupan kita? Sebab hidup ini bukan tentang kita, tetapi tentang Dia.
COVID-19 menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada yang dapat dibanggakan dalam kehidupan ini. Sebuah virus yang tidak kasat mata dapat mengganggu perputaran roda perekonomian global. Dunia ingin mempertahankan perenomian dan memerangi COVID-19 bersamaan. Bill Gates mengatakan, “It is very irresponsible for somebody to suggest that we can have the best of both worlds.” Menurut Gates, sebaiknya dunia memprioritaskan penanganan pandemi tersebut. Gates mengatakan bahwa memulihkan perekonomian jauh lebih mudah daripada menghidupkan orang dari kematian.
Firman TUHAN mengajarkan bahwa jangan ada yang bermegah dengan kesuksesannya, tetapi jika ada yang ingin bermegah, bermegahlah karena persahabatan kita dengan TUHAN (Yer. 9:23-24). Firman TUHAN sudah mengingatkan, “Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan” (Ul. 8:18). Jangan sampai setelah kita memperoleh kekayaan, atau memperoleh kehidupan yang baik, kita kemudian berkata dalam hati kita, “Karena jasakulah!” (Ul. 9:4). Semestinya kita selalu mengingat, “Bukan karena jasa-jasamu TUHAN Allahmu, memberikan kepadamu” (Ul. 9:6).
Pandemi COVID-19 mengajarkan kita tidak “take things for granted.” Kita bahkan tidak seharusnya “take our success for granted.” Sebaliknya, syukurilah kehidupan kita dan ingatlah bahwa hidup ini bukan tentang kita, tetapi tentang Dia.
Wabah COVID-19 kembali mendemonstrasikan hikmat Pengkhotbah yang menyerukan semua kesibukan manusia adalah sia-sia bagaikan menjaring angin (Pkh. 2:4-11). Gedung-gedung besar yang kita dirikan dan agungkan menjadi sepi. Tidak ada orang yang memuji-muji kehebatan dan kesuksesan yang kita capai. Raja Salomo menegur bahwa sebagian besar jerih payah dan peningkatan kemampuan manusia disebabkan oleh IRI HATI (Pkh. 4:4).
Pertemuan Ibadah sejak pertengahan Maret 2020 telah diubah menjadi Ibadah virtual. Hal tersebut seharusnya memaksa kita untuk memikirkan sikap dan tujuan kita beribadah selama ini. Pengkhotbah menyampaikan sebuah poin yang menarik untuk direnungkan. Dia mengatakan, “Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah! Menghampiri untuk MENDENGAR adalah lebih baik daripada mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, karena mereka tidak tahu bahwa mereka berbuat jahat.” (Pkh. 4:17).
Teguran Pengkhotbah sangat menusuk hati, bukan? Apa gunanya mempraktekkan ritus keagamaan, tetapi kita hidup dalam kejahatan? Mungkin Saudara berpikir, “Saya tidak terlibat dalam kejahatan.” Pernahkah Saudara bergosip? Pernahkah kita menyadari sebuah perbuatan baik, tetapi tidak kita lakukan? Pernahkah Saudara memandang remeh seseorang karena dia tidak sepintar dirimu? Bukankah kita juga berpartisipasi dalam merusak bumi ini? Itu juga kejahatan! Bukankah mendengarkan TUHAN dan menaati-Nya merupakan prioritas kehidupan kita? Sebab hidup ini bukan tentang kita, tetapi tentang Dia.
COVID-19 menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada yang dapat dibanggakan dalam kehidupan ini. Sebuah virus yang tidak kasat mata dapat mengganggu perputaran roda perekonomian global. Dunia ingin mempertahankan perenomian dan memerangi COVID-19 bersamaan. Bill Gates mengatakan, “It is very irresponsible for somebody to suggest that we can have the best of both worlds.” Menurut Gates, sebaiknya dunia memprioritaskan penanganan pandemi tersebut. Gates mengatakan bahwa memulihkan perekonomian jauh lebih mudah daripada menghidupkan orang dari kematian.
Firman TUHAN mengajarkan bahwa jangan ada yang bermegah dengan kesuksesannya, tetapi jika ada yang ingin bermegah, bermegahlah karena persahabatan kita dengan TUHAN (Yer. 9:23-24). Firman TUHAN sudah mengingatkan, “Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan” (Ul. 8:18). Jangan sampai setelah kita memperoleh kekayaan, atau memperoleh kehidupan yang baik, kita kemudian berkata dalam hati kita, “Karena jasakulah!” (Ul. 9:4). Semestinya kita selalu mengingat, “Bukan karena jasa-jasamu TUHAN Allahmu, memberikan kepadamu” (Ul. 9:6).
Pandemi COVID-19 mengajarkan kita tidak “take things for granted.” Kita bahkan tidak seharusnya “take our success for granted.” Sebaliknya, syukurilah kehidupan kita dan ingatlah bahwa hidup ini bukan tentang kita, tetapi tentang Dia.
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Kej 1:2 Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Bu...
-
M anusia merupakan makhluk yang memiliki memori. Saudara pasti memiliki kenangan-kenangan indah berupa sebuah tempat pertama Anda berpaca...