Sunday 16 September 2012

PERABOT YANG MULIA


2 Timotius 2.14-26
Andaikata Saudara hendak memulai sebuah rumah tangga baru dengan budget yang terbatas, kira-kira perabot atau perlengkapan elektronik apa yang akan Anda prioritaskan?  Saya yakin kursi santai tidak bakal menjadi pilihan utama, bukan? Atau akankah Anda membeli jam dinding seharga 700 ribu rupiah? Saya yakin tidak. Suatu kali saya diajak untuk makan di sebuah warung soto, dan yang menakjubkan adalah ternyata ada banyak jam dinding di ruangan yang hanya berukuran sekitar 3,5 meter x 5 meter. Saya coba menghitung jumlah jam dinding 1,2,3,4…7.  Ada 7 jam dinding yang terpajang dan yang lebih menakjubkan adalah seluruh jam dinding menunjukkan waktu yang sama yakni Waktu Indonesia bagian Barat.

Jam mekanikal berasal dari sekolah teologia di abad 12 dan 13 “Benedictine Monasteries”. [1] Hal ini dikarenakan kebutuhan untuk mengatur “saat teduh”. Pada abad ke 14, jam sudah digunakan di luar sekolah teologia dan kemudian mengatur jam kerja, jam makan dan lain sebagainya. Teknologi diciptakan demi kemudahan hidup sehari-hari dan juga mengubah kebiasaan sehari-hari. Kehadiran korek api mengubah kebiasaan seksual bagi salah satu suku Afrika. Masyarakat komunitas ini percaya bahwa penting bagi mereka untuk menyalakan api setiap kali setelah berhubungan seksual.  Setiap kali setelah seseorang melakukan hubungan intim, ia mesti mengambil bara api dari rumah tetangga dan menyalakan api baru. Dengan kata lain, tidak ada hubungan intim yang terselubung. Kemudian, setelah diperkenalkan korek api, seseorang dapat menyalakan api di rumahnya sendiri tanpa harus mengambil bara api dari rumah tetangga. Singkat kata, sebuah penemuan baru telah mengubah kebiasaan hidup masyarakat desa tersebut.[2]

Perabot bisa berupa perlengkapan yang digunakan secara fungsional yakni yang penting bisa dipakai sesuai fungsi tidak peduli desain, warna maupun bahan pembuatannya. Perabot juga bisa mengekspresikan citarasa atau kepribadian seseorang melalui pilihan warna, desain dan pemajangan. Perabot juga dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan status seseorang sekaligus menambah kepercayaan diri apabila dikunjungi tamu. Apabila seseorang menyandang filsafat hidup, “I have therefore I exist”, (aku memiliki maka aku ada), maka ia akan mendefinisi hidupnya berdasarkan apa yang ia miliki.

Baiklah, kita kesampingkan topik perabot sebagai benda pemilikkan. Bagaimana apabila kita sendiri merupakan perabot di Rumah TUHAN? Paulus menggunakan ilustrasi “perabot” untuk menggambarkan kondisi jemaat di Efesus yang sedang digembalakan oleh Timotius. Kericuhan dan perselisihan terjadi di dalam jemaat ini. Siapakah dalang di balik keribuatan ini? Himeneus dan Filetus, mereka telah merusak iman sebagian orang. Perkataan mereka menjalar seperti kanker (2 Tim 2.17). Mereka mengajarkan bahwa kebangkitan orang percaya telah terjadi. Bisa dikatakan bahwa Himeneus adalah orang yang berpengaruh buruk. Sebelumnya ia dan dan Alexander menolak iman dan hati nurani yang murni sehingga Paulus menegaskan bahwa ia telah menyerahkan mereka kepada iblis, supaya jera meraka menghujat (1 Tim 1.20). Perkataan yang destruksif bagaikan ‘tumor” di tengah jemaat. Semangat melayani menurun, tidak ada dorongan untuk beribadah, hidup menjadi semakin 5 L (Lelet Lemot Lemah Letih Lesu). Tumor seperti ini bakal menciptakan “kultur suka clash” yakni sulit untuk bekerja sama, tidak adanya semangat kekompakan maupun kolegalitas.

Di dalam ilustrasinya, Paulus mengekspresikan bahwa ada dua jenis perabot yakni  perabot yang dipakai untuk maksud yang mulia (noble purpose) dan perabot yang dipakai untuk maksud yang kurang mulia (ignoble purpose). Paulus membedakan perabot dari bahannya yakni ada yang terbuat dari emas dan perak dan ada yang terbuat dari kayu dan tanah. Apabila seseorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, dikuduskan dan dipandang layak untuk dipakai tuannya, dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia (2 Tim 2.21). Nah, apakah kita memilih untuk menjadi perabot yang mulia atau menjadi perabot yang kurang mulia? Indahnya dari perumpamaan Paulus tentang perabot adalah semuanya berada di dalam rumah yang sama. Yang membedakan adalah apakah kita menjadi perabot yang dipakai oleh TUHAN untuk pekerjaan yang mulia atau tidak. Paulus juga menasihati kita untuk meninggalkan nafsu orang muda (hasrat atau dalam bahasa Augustine conscupiscence) yang juga bisa berarti hasrat ego dan arogansi, mengejar keadilan, kesetiaan, kasih dan damai serta membangun hati yang murni (2 Tim 2.22).

Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah mengapa perabot atau perlengkapan yang kurang mulia tetap dipertahankan? Apa manfaat dari orang-orang yang merusak iman dan menyebalkan? Mereka bagaikan suara tik tok tik tok ataupun bagaikan jam yang berbunyi setiap 15 menit. Apa fungsinya? Mereka berfungsi untuk melatih kesabaran, mengasah kasih dan pengampunan. Orang yang menyebalkan adalah orang yang paling jujur di dalam menunjukkan kesalahan (atau mencari-cari kesalahan). Orang-orang demikian berfungsi untuk mengecek dan melatih spiritualitas.

Paulus mengingatkan bahwa TUHAN mengenal siapa kepunyaan-Nya sehingga tidak perlu bertengkar. Sebab pertengkaran adalah kebodohan. Paulus menasihatkan kita untuk dengan lemah lembut menuntun orang-orang yang suka melawan sebab mungkin Tuhan memberikan mereka kesempatan kedua. Bersikap terbukalah terhadap orang-orang yang menyebalkan, memberikan kesempatan bagi mereka sambil menyadari pengaruh buruk mereka.

Apa tujuan hidup kita? Apa yang membuat hidup kita berarti? Apakah menjadi perabot untuk fungsi yang mulia? Sebagai perabot yang berfungsi, seseorang akan berfungsi dengan baik dalam relasinya dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan dengan sesama manusia. Platinga menyebutnya dengan “spiritual hygiene”[3] yakni seseorang yang merindukan keindahan TUHAN, menyadari kebaikan TUHAN dan menyakini kebaikan bahwa TUHAN baik pada dirinya. TUHAN menjadi Sumber yang secara konstan memperbaharui dirinya. Ia juga akan membangun karakter dan nilai-nilai yang excellent. Ia akan menolak makanan sampah religi atau religious junk food. Ia akan memproyeksikan hidupnya untuk memuliakan TUHAN, dengan kata lain ia akan menjadi perabot yang mulia di dalam Rumah TUHAN.   

Mari kita tidak menjadi radio penyiar gossip atau televisi pengkomen kesalahan melainkan menjadi lampu baca yang menerangi firman TUHAN kepada sesama (Roh Kudus sebagai Inspirator). Atau kita dapat menjadi coffee-maker yang menyeduh kopi penghargaan kepada setiap orang. Atau kita menjadi vase bunga penyegar hati yang sedih dan jiwa yang lesu. Atau menjadi sofa persahabatan, blender jus buah sukacita, album foto kenangan indah, cangkir motivasi…





[1] Postman, Neil, Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. (NY: Vintage Books, 1993, p.14)
[2] Ibid, pp. 27-8
[3] Plantinga Jr, Cornelius, Not the Way It’s Supposed to Be: A Breviary of Sin. (UK: Eerdmans, 1995), p.34.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12