Monday 30 October 2017

MENGASIHI DIRI SENDIRI

Im. 19:1-2; 15-18; Mazmur 1; 1 Tes. 2:1-8; Mat. 22:34-46

Dalam cerita The Lord of the Rings, ada seorang bernama Smeagol. Smeagol dan temannya yang sedang memancing menemukan cincin kekuasaan milik Sauran (simbol iblis dalam cerita tersebut). Karena hasrat untuk memperoleh cincin tersebut, Smeagol membunuh temannya. Sebab cincin tersebut mempunyai kekuatan untuk menggoda manusia untuk menginginkannya. Cinta Smeagol terhadap cincin tersebut kemudian merusak dirinya. Kondisi fisiknya pun berubah dari hari ke hari sehingga akhirnya dia menjadi makhluk yang menjijikkan. Namanya pun berubah menjadi Gollum. Inilah yang dimaksud dengan kasih yang salah atau kasih yang mengalami distorsi yang merusak kehidupan manusia.

Ego-sentrisitas dan narsisme bukan mengasihi diri yang sebenarnya. Meskipun terkesan mengasihi diri sendiri tetapi kasih yang bersifat ego-sentris bukanlah kasih yang sesungguhnya. Kasih yang didorong oleh orientasi narsisme bukanlah kasih yang sesunggunya.

Menurut definisi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders III – Revised..
Seorang yang narsis menampilkan fitur grandiosity (kebesaran atau sifat muluk) dalam berfantasi dan bersikap.
Hypersensitif terhadap kritikan dan evaluasi orang lain
Menjadikan diri sangat istimewa dan penting secara berlebihan untuk menutupi perasaan tidak berharga.
Asyik dengan kesuksesan (fantasi), kecerdasan, kecantikan dan kemampuan diri
Merasa diri sendiri lebih berhasil dari orang lain
Cemburu, iri hati dan marah apabila ada orang yang lebih berhasil dari dirinya
Suka pamer
Tidak peduli pada sesama (hanya peduli pada diri sendiri)
Suka memancing pujian
Senang dikagumi
Memanipulasi dan mengeksploitasi sahabat (bersahabat demi tujuan pribadi).
Suka berpura-pura dan senang mengesankan orang lain.
Tidak mampu memahami kompleksitas emosi orang lain
Tidak mempercayai dan tidak menghargai orang lain
Menjalin hubungan secara superfisial (permukaan saja)

Ketika membaca pemaparan tentang orang-orang Farisi, saya cenderung mendapatkan kesan bahwa mereka mirip dengan gejala orang yang menderita masalah kejiwaan narsis. Nah, setelah mendengar bahwa orang-orang Saduki bungkam, orang-orang Farisi berkumpul dan berdiskusi, “kita lebih baik dari orang-orang Saduki, mari kita buktikan kehebatan kita. Kita gunakan bidang keahlian kita, bidang hukum Taurat dan kita utus ahli hukum dari tim kita”. Mereka mengutus profesor, atau orang Farisi dengan gelar Ph.D untuk mencobai Yesus dengan pertanyaan, “hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Mereka berpikir, “Apapun jawabannya, pasti salah. Mana mungkin dia pilih salah satu dari sekian banyak hukum Taurat”. Karena merasa akan berhasil menjebak Yesus dengan pertanyaan jitu mereka, mereka pun tersenyum cikaka-cikiki.

Mereka dikuasai oleh kedengkian (Mat. 27:18; Mar. 15:10). Iri hati dan arogansi memenuhi hati mereka. Ketika muncul Yesus yang mengajar secara berbeda dari kebiasaan dan pemahaman mereka, mereka pun merasa terancam. Daripada berdialog untuk memahami, mereka membangun benteng dan berulangkali menyerang Yesus dengan berbagai pertanyaan jitu.

Apabila kita tidak dapat mengasihi diri kita sendiri dengan benar, kita tidak akan mampu mengasihi orang lain dengan benar juga. Mengasihi diri sendiri merupakan kunci untuk mengasihi orang lain. Untuk bisa mengasihi diri sendiri dengan baik, kita membutuhkan tzintzum, yakni menyediakan ruang buat diri sendiri dan sesama. Ketika Allah memutuskan untuk menciptakan manusia dan menempatkan manusia di alam semesta, Allah sedang melakukan tzintzum yakni menyediakan ruang bagi manusia.

Suatu kali, ada dua orang calon gubernur sedang berkompetisi untuk mendapatkan dukungan suara. Seorang wanita mendapatkan kesempatan untuk makan malam bersama dengan kedua calon gubernur pada dua malam yang berbeda. Setelah pertemuan dengan kedua calon gubernur tersebut, seorang wartawan mewawancarai wanita tersebut menanyakan perasaannya makan malam bersama kedua cagub. Wanita tersebut menjawab, “Pertemuan di malam pertama dengan cagub pertama saya mendapatkan kesan bahwa DIA merupakan orang yang paling hebat dan paling penting di dunia ini.” Bagaimana dengan pengalaman dengan cagub kedua? Perempuan tersebut dengan mata ceria dan antisias menjawab, “Pertemuan dengan cagub kedua membuat saya merasakan bahwa DIRI SAYA adalah orang yang paling penting di dunia ini. Saudara, dalam hal ini, cagub kedua telah mempraktekkan tzintzum.

Orang Farisi bertanya, “hukum manakah yang TERUTAMA dalam hukum Taurat.” Saya sangat tertarik dengan jawaban yang Yesus berikan, yakni “YANG TERUTAMA DAN YANG PERTAMA (megah)”. Yesus menambahkan kata megah, untuk menegaskan yang pertama, yakni yang menjadi prioritas, yang besar, yang penting dan menakjubkan.




KASIHILAH SESAMAMU MANUSIA SEPERTI DIRIMU SENDIRI;
AKULAH TUHAN (Im. 19:18)


Kemudian Yesus menambahkan hukum yang kedua, yang Yesus tegaskan dengan kata “yang SAMA dengan itu.” Dengan kata lain, hukum yang kedua ini tidak bersifat kurang penting (secondary) dibanding yang pertama tetapi tidak terpisahkan dengan yang pertama. Mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri tidak terpisahkan dengan mengasihi Allah. Dengan menyediakan ruang bagi Allah untuk memulihkan berbagai luka batin kita (primal wounds), ataupun rasa takut, kekuatiran, kegelisahan, gejolak emosi, dendam, kepahitan serta memulihkan diri kita sangatlah penting agar kita dapat sungguh-sungguh mengasihi diri. Sebab hanya orang yang mampu mengasihi diri sendiri dengan benar, dapat mengasihi sesamanya dengan benar.

Pengalaman-pengalaman kecil bisa menimbulkan luka yang sangat mendalam apalagi berkaitan dengan nilai diri (self-worth). Ketika seorang anak dimarahi oleh orangtuanya karena dia tidak bisa mengerjakan tugas sekolah atau tidak mampu memainkan tuts piano dengan benar, dan kemudian dia menangis, seringkali kita berpikir dia menangis karena dimarahi. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah dia menangisi dirinya sendiri, “Mengapa saya bodoh, mengapa untuk mengerjakan hal sedemikian sederhana pun saya tidak mampu, mengapa saya tidak berguna, mengapa saya selalu gagal, mengapa saya adalah seorang pecundang”. Tidak mengherankan apabila di dunia ini ada banyak orang-orang berhasil dengan prestasi luar biasa, tetapi selalu merasa gagal, merasa tidak berharga, merasa tidak berguna, merasa hidupnya tidak bermakna. Hal ini disebabkan oleh persepsi terhadap diri yang salah. We are often made believe that we are worthless. Kita selalu dibuat percaya bahwa kita tidak bernilai.

Yesus menyimpulkan bahwa kasih terhadap Allah dan kasih terhadap sesama seperti mengasihi diri merupakan fondasi tempat seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi bergantung (hang). Roma 13:8 mengatakan, “Barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat”. 

Mengapa kasih selalu harus mencakup keadilan primer? (Imamat 19:1-18). Kasih tanpa melakukan keadilan terhadap sesama bukanlah kasih yang sesungguhnya. Ketika kita mengasihi seseorang, kita akan menghargai dirinya sebagai pribadi yang berharga. Kita tidak akan melakukan hal yang membahayakan dirinya. Kita tidak akan memotong antrian. Kita tidak akan menyimpan foto seseorang yang kita sukai tanpa izin meskipun untuk dinikmati secara pribadi. Kita tidak akan menindas dan mengeksploitasi sesama.

Nah, persoalannya kita berada di masa di mana kesibukan menjadi hal yang membanggakan. Ketika seseseorang mengatakan dirinya sibuk, seolah-olah status dirinya menjadi jauh lebih berharga daripada orang yang tidak sibuk. Padahal orang yang sibuk adalah orang yang sangat kasihan. Kesibukan merupakan suasana hati. Dan ketika kehidupan seseorang dilanda oleh kesibukan, dirinya tidak lagi sungguh-sungguh hidup, melainkan mengalami dehumanisasi yakni dirinya menjadi mesin yang bekerja. Mesin yang beroperasi untuk memenuhi kebutuhan. Tidak heran, multi-tasking menjadi tren generasi kekinian. Apabila kita menggunakan istilah keren namanya multi-tasking namun bagi orang yang sedang berkomunikasi atau berelasi dengan kita, itu namanya ignoring (menghiraukan dirinya). Menyedihkan, bukan?

Kesibukan adalah penghalan besar untuk mengasihi sesama. Ketika kita sedang bekerja di malam hari, anak kita datang dan mengajak kita untuk membacakan cerita, bermain, mengerjakan tugas, atau menonton bersama dan kita menjawab, “Nak, kamu main sendiri ya, papa mama sedang sibuk.” Kira-kira apa yang didengar anak? Anak akan mendengar, “saya tidak penting, saya tidak berharga, pekerjaan papa mama lebih penting dan lebih berharga dari diriku”.

Ada sebuah program mencari pasangan hidup yang bernama Speed Dating yang terdiri dari 14 - 16 peserta. Setiap pasangan diberikan waktu 7 menit untuk saling berkenalan sebelum mereka berganti ke pasangan berikutnya. Dengan kata lain, tiap-tiap orang mendapatkan waktu 3,5 menit. Apabila Saudara mempunyai waktu 3,5 menit untuk mengenal seseorang, apa yang akan Saudara tanyakan? Saya percaya Saudara tidak akan menanyakan pekerjaannya, hobinya, film kesukaannya atau alamat rumahnya. Saya percaya kita akan menanyakan hal yang lebih penting seperti bagaimana dia menggunakan waktunya. How do you spend your time? Dari penggunaan waktu oleh seseorang kita dapat mengetahui apa yang ia sukai. The person you spend most of your time with, he or she is the person you love most. Siapakah orang yang Saudara habiskan banyak waktu bersama dia, memikirkan dia, atau hadir buat dia, dialah orang yang paling Saudara cintai dalam hidup ini.

Mengasihi Allah memberikan orientasi kepada kita agar kita melandaskan hidup kita pada fondasi yang tepat. Kehidupan dengan fokus yang tepat membebaskan kita dari kesibukan jiwa yang tidak menentu di dunia yang menjunjung tinggi nilai multi-tasking.

Sebuah restoran bir menjual berbagai produk bir tetapi tidak menjual makanan. Karena pemilik restoran memutuskan untuk berfokus pada produk bir yang berkualitas dan menolak untuk menjual makanan. Nah, yang menarik adalah, restorannya selalu ramai. Dia mengizinkan para pelayan restoran tetangga untuk masuk ke restorannya, menerima orderan dari tiap-tiap meja dan kemudian kembali dengan menu makanan dari restoran mereka masing-masing. Restoran tersebut bernama World of Beer.
Kehidupan kita merupakan sebuah perjalanan untuk mengenal diri. Dengan menyediakan ruang bagi Allah, kita telah mengubah kesepian menjadi solitusi di mana kita dapat selalu berjumpa dengan Allah. Perjumpaan dengan Allah dalam keseharian menolong kita untuk menata pikiran, perasaan dan pengalaman kita. Mengasihi dan merawat diri dengan baik menjadi dasar penting untuk mengasihi sesama. Kiranya TUHAN menolong kita!



Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12