Saturday 24 November 2012

PERSPEKTIF ABADI



Filipi 1.18-26
Pada suatu ketika di China, seorang istri menyuruh suaminya untuk membeli sebuah sisir rambut. Suaminya pun berangkat berbelanja di kota dan pulang membawa sebuah cermin. Ketika istrinya melihat ke dalam cermin, istrinya langsung menangis sambil membawa cermin itu ke rumah ibunya dan berkata, “Suamiku menyukai perempuan lain”. Ketika ibunya melihat ke dalam cermin itu ia berkata, “Astaga, menantuku jatuh cinta sama seorang nenek tua.” Keributan di rumah pun terjadi hingga sampai ke pengadilan. Ketika hakim melihat ke dalam cermin tersebut, sang hakim langsung marah dan berkata, “penghinaan, mengapa kalian membawa seorang yang mengenakan topi dan jubah hakim, menghadap aku?”

Kisah di atas mengingatkan kita akan kecenderungan manusia melihat segala sesuatu dari perspektif diri sendiri. Setiap kita menyimpan data di dalam ingatan kita dari waktu ke waktu. Dan setiap kali mendengarkan atau melihat sesuatu kita akan mengakses data yang tersimpan di dalam ingatan kita. Apabila kita tidak menemukan asosiasi di dalam ingatan kita maka kita tidak mampu mengenal apa yang kita lihat atau dengarkan. Hal ini penting untuk disadari agar kita dapat membaca pikiran kita sendiri sebab manusia memang cenderung ego-sentris. Tetapi persoalannya adalah ego-sentrisitas dapat memperberat tanggungan dan beban stress seseorang oleh karena orientasi pikiran yang kuat pada diri sendiri terutama pada masa-masa sulit. Apalagi jika pengalaman peristiwa buruk terus di-replay oleh korban yang akan memperberat beban pikiran dan psikis seseorang. Beban pikiran dan psikis berpotensi melelahkan kondisi jiwa seseorang kecuali ia mengubah perspektifnya dari perpektif diri kepada perspektif Kristus. Perspektif yang bersifat holistic, intergrated dan abadi membuka wawasan seseorang.

Paulus mengatakan bahwa jauh lebih baik apabila ia dapat pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus (baca mati), namun ia juga berharap dapat tetap hidup untuk menolong orang-orang percaya agar tetap maju (1 Filipi 1.23-26). Paulus mengekspresikan bahwa ia didesak oleh dua pihak – keinginan untuk mati dan keinginan untuk tetap hidup. Paulus ingin “pergi” tetapi ia juga ingin “tinggal”. Tampaknya Paulus mengalami gejolak jiwa yang dilematis. Mengapa sampai demikian? Benar, dia sedang dipenjara. Tetapi apakah kondisinya yang sedang dipenjara merupakan alasan utama ia mengingini kematian? Saya yakin tidak. Dia membicarakan soal berbagai motivasi pemberitaan tentang Kristus, ada yang karena dengki dan perselisihan ada yang karena kasih. Ada juga yang dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas. Justru inilah yang memperberat beban Paulus dalam penjara (Baca Filipi 1.15-17). Kompetisi pelayanan, iri hati, dengki dan orang-orang yang tidak menyukai Paulus membuat Paulus sangat tertekan ditambah ia tidak dapat keluar dari penjara untuk menyelesaikan persoalan di tengah jemaat.

Walapun demikian, sewaktu dipenjara, Paulus tidak meratapi kondisinya. Ia tidak mengasihani dirinya sendiri. Pengasihan diri hanya akan memperparah kondisi psikis seseorang. Ia memperbaharui perspektif. Walaupun ada banyak orang-orang Kristen yang mengabarkan Injil dengan berbagai motivasi tersembunyi, dengan pandangan terbuka Paulus berkata, “Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita.” (Filipi 1.16).

Konflik diri pada diri Paulus terselesaikan ketika ia meng-akomodir kedua pihak – hidup atau mati. Ia siap untuk pergi dan siap untuk tinggal. “Pergi”(ἀναλύω baca analuo – kata dasar ύω baca luo melonggarkan, membongkar tenda, mengendorkan tali pengikat, mengangkat jangkar atau memecahkan persoalan). Melalui kata “pergi” dan “diam” Paulus sedang mengekspresikan keinginannya untuk mati dan diam bersama Kristus, keinginan agar hidupnya di dunia dapat segera berakhir dan hidup bersama Krisus di dalam keabadian. Namun Paulus juga mengatakan bahwa ia ingin “tinggal” (ἐπιμένω baca epimeno kata dasar mένω baca meno – tinggal, diam, bertahan, tinggal bersama atau berada di samping). Ia tidak berangkat dari perspektif ego-sentris, ia berharap hidup orang-orang percaya dapat terus mengalami improvisasi apabila ia tinggal/diam bersama mereka.

Paulus memandang sisi positif dari kedua pihak – “Bagiku, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1.21). Inilah yang saya maksud dari perspektif abadi yang terlihat dari sikap hidup Paulus. Perspektif Abadi menembus waktu dan tempat sehingga ia dapat mengatakan bahwa keduanya sama-sama baik – Hidup maupun Mati. Perspektif abadi menolong kita melihat kesementaraan dari apa yang sedang kita alami dan memfokuskan pikiran kita kembali pada Kristus. Ketika hidup melelahkanmu, ingatlah akan perspektif abadi!

Friday 23 November 2012

SKYFALL (2012)




 
Pertama kali membaca judul film ini saya pikir “Skyfall” merupakan nama program ataupun kode misi M16. Ternyata Skyfall merupakan nama sebuah tempat di Skotlandia, tempat kelahiran James Bond. Film ini dimulai dengan aksi pengejaran teroris yang mendapatkan harddisk berisikan nama-nama agen rahasia. Bond atau 007 harus mendapatkan harddisk tersebut kalau tidak akan ada banyak yang bakal menjadi korban. Bond mengejar teroris yang membawa lari harddisk dan berkelahi di atas kereta api yang sedang bergerak cepat. Atas perintah M untuk menembaki teroris yang sedang bertarung dengan Bond berebutan harddisk, Bond tertembak dan jatuh dari kereta api. Tembakan tersebut tidak hanya melukai fisik Bond tetapi juga melukai hati Bond.

Silva mantan M16 yang luka batin telah menjadi teroris dunia maya yang mengancam dunia dengan computer super yang telah ia rakit. Hatinya dipenuhi dengan dendam untuk membunuh M. Berbeda dengan Silva, Bond yang terluka atas perintah penembakan oleh M malah berjuang melindungi M. Batin setiap orang berpotensi terluka, namun persoalannya adalah bagaimana seseorang menghadapi luka yang ia alami. Bond memilih kembali ke Skyfall, tempat kelahirannya untuk menghadapi dan mengedit luka masa lalunya. Kita tidak bisa menghapus pengalaman kita yang sudah berada di dalam database (otak) kita. Tetapi kita dapat memilih agar database itu menjadi virus yang terus menyerang kita atau kita mengeditnya sehingga menjadi kekuatan dan hikmat di dalam diri kita.

Skyfall (2012) yang diperankan oleh Daniel Craig dan disyuting di Inggris, China dan Turki menjadi film James Bond dengan penghasilan tertinggi di antara seluruh film James Bond.
 


THE WOMAN KNIGHT OF MIRROR LAKE (2011)



The Woman Knight of Mirror Lake (2011) merupakan film biografi yang mengisahkan tentang kehidupan revolusioner feminis yang bernama Qiu Jin. Qiu Jin lahir pada tanggal 18 November 1875 dan meninggal pada tanggal 15 Juli 1907 pada usia 31 tahun. Sutradara Herman Yao (juga yang menyutradai Ip Man), mengisahkan kisah hidup Qiu Jin dengan metode “maju-mundur” yakni dia memaparkan plot dimana Qiu Jin (diperankan oleh Huang Yi) mengenang kembali pengalaman hidupnya alias “flashback”. 

Sejak kecil Qiu Jin sudah bersikeras menolak tradisi yang merugikan wanita misalnya ia menolak pengikatan kaki. Dalam tradisi China pada zaman dinasti Qing, setiap perempuan harus memiliki kaki yang kecil. Semakin kecil kaki seseorang wanita, semakin cantik dirinya. Walaupun sebagai seorang perempuan, ia minta disekolahkan, hal demikian tidak lazim di zamannya. Ia juga belajar kungfu dan bahkan ingin memilih suaminya sendiri. Ia melanjutkan studi di Jepang dan bergabung dengan organisasi revolusiner melawan pemerintah China yang sangat korup di zaman itu. Pengurbanan yang ia bayar sangat mahal, demi keselamatan keluarganya ia harus memilih untuk meninggalkan suami dan anak-anaknya. Ia menjabat sebagai kepala sekolah di Datong dan berjuang membela hak wanita. Ia ditangkap dan dihukum pancung oleh pemerintahan dinasti Qing.

Berikut ini, salah satu puisi karya Qiu Jin

秋瑾〈日人石井君索和即用原韻〉
漫云女子不英雄,萬里乘風獨向東。

詩思一帆海空闊,夢魂三島月玲瓏。

銅駝已陷悲回首,汗馬終慚未有功。

如許傷心家國恨,那堪客裡度春風。

 








Don't tell me women
are not the stuff of heroes,
I alone rode over the East Sea's
winds for ten thousand leagues.
My poetic thoughts ever expand,
like a sail between ocean and heaven.
I dreamed of your three islands,
all gems, all dazzling with moonlight.
I grieve to think of the bronze camels,
guardians of China, lost in thorns.
Ashamed, I have done nothing;
not one victory to my name.
I simply make my war horse sweat.
Grieving over my native land
hurts my heart. So tell me;
how can I spend these days here?
A guest enjoying your spring winds?

 

Sunday 4 November 2012

HAI UMAT, DENGARLAH!

Ulangan 6.1-9, Mazmur 119.1-8, Ibrani 9.11-14 & Markus 12.28-34


“Pak, nasi ayam gulai satu bungkus. Tidak pake kuah santan, tidak pake lalapan. Pake cabe ijo”. Kemudian penjual berespon, “Siap bos!”. Karena tidak memperhatikan saat dibungkus, setiba di rumah pembeli menemukan, nasi ayam gulainya disirami kuah santan hingga sangat basah, disertai lalapan dan berisi cabe merah. Mendengarkan memang terkesan mudah tetapi sebenarnya tidak mudah. ("hearing" is different from "listening"). Seringkali kita terlalu sibuk untuk mendengarkan (we are too occupied to listen). Mendengarkan membutuhkan kerendahan hati. Mendengarkan membutuhkan keheningan hati. Sulit sekali bagi seorang yang sombong untuk mendengarkan. Tanpa keheningan hati, seseorang akan cenderung salah mendengar (baca salah mengerti) apabila tidak mendengarkan dengan saksama. Mendengar itu penting sebab mendengarkan (listen & heed) merupakan langkah awal untuk memahami dan menaati. Musa memanggil, “Dengarlah saudara-saudara, lakukanlah itu dengan setia supaya kamu sejahtera dan menjadi bangsa yang besar di negeri yang kaya, dan subur, seperti dijanjikan TUHAN Allah leluhur kita” (Ul 6.3). Yesus juga menekankan, “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel! TUHAN Allah kita, TUHAN itu esa.” (Mar 12.29).

שְׁמַע יִשְׂרָאֵל(Baca Shema Yisrael). “Dengarlah, hai orang Israel” merupakan kata pembuka penyampaikan hukum terutama yang mengindikasikan betapa pentingnya hukum terutama sehingga perlu diperhatikan dengan sepenuh hati. Ketika mendaki hingga ke puncak gunung kita dapat mendengarkan suara gunung yakni suara keheningan gunung. Hati yang tenang akan dapat mendengarkan dengan jauh lebih baik. Hai umat, dengarlah!

Sebuah mobil mewah berkecepatan maksimum 300 km per jam, memiliki desain interior yang nyaman dan ekslusif, dilengkapi dengan wifi berkecepatan tinggi, HD LCD video player dan GPS namun mobil tersebut tidak dilengkapi dengan lampu depan dan rem. Apakah Saudara bersedia mengendarai mobil tersebut? Hukum bagaikan lampu dan rem di mobil yang menerangi jalan yang gelap dan berfungsi untuk melindungi. Hukum diberikan untuk ditaati agar “baik keadaan kita” (Baca Ul 6.3). Karena begitu pentingnya hukum sehingga hukum harus diajarkan secara terus menerus, terjemahan NIV menggunakan kata “to impress” atau mengesankan. Mengesankan (to impress) anak-anak akan betapa pentingnya hukum. Hukum harus dibicarakan (talk), disampaikan dan kemudian diikat (tie) yang artinya disimbolkan sebagai peringatan (Baca Ul. 6.7-8). Hukum terutama diberikan atas dasar “Yahweh is one!” (TUHAN itu esa). Karena TUHAN itu satu maka kasih hukum menjadi jelas dan pasti.


Yang menakutkan adalah ketika hukum, aturan dan ritual kehilangan “spirit” atau fondasi dasarnya yakni “kasih” sehingga hukum, aturan dan ritual hanya menjadi alat untuk merasa baik, merasa teratur dan merasa sudah memenuhi tanggungjawab agama. Hukum, aturan dan ritual juga dapat diperalat untuk mengekang, memanipulasi, mengeskploitasi, meremehkan, merendahkan orang lain. Untuk itu, hukum tidak pernah boleh terpisah dengan kasih sebab kasih adalah dasar hukum yang diberikan TUHAN kepada umat-Nya. TUHAN adalah Kasih. Dia adalah Designer Kasih yang mendesain alam semesta ini dengan kasih sehingga kasih merupakan software alam semesta atau “the operating system” of this universe.

Kasih bagaikan tenaga yang menggerakkan mobil. Kasih tidak bersifat konsumtif tetapi kasih itu bersukacita memberi dan bersedia berkurban. Seseorang pria yang mengasihi bersedia membeli sebuah hadiah yang istimewa yang dipilih dengan penuh cinta kasih dengan harapan hadiahnya disukai oleh wanita yang ia cintai. Seorang perempuan bersedia dengan penuh sukacita memasakkan nasi goreng, mie goreng bagi orang yang ia kasihi dengan sepenuh hati dan berlompat-lompat kegirangan. Seorang ibu bersedia memberikan kue yang paling ia sukai ketika hanya tersisa satu kepada anaknya atau kepada suaminya. Dunia menjadi tempat yang indah ketika manusia saling mengasihi dengan tulus dan penuh pergurbanan. Oleh karena kasih Yesus mempersembahkan Diri-Nya sebagai persembahan yang tak bercacat untuk menyucikan hati nurani manusia dari perbuatan yang sia-sia agar manusia dapat beribadah kepada Allah yang hidup (Baca Ibr. 9.14).

Kasih itu bersifat relasional. Interaksi kasih dimulai dari kasih Allah kepada kita. Oleh karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita maka kita mengasihi Dia. Maka, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul 6.5 & Mar 12.30). Yesus menambahkan “akal budi” ke dalam hukum pertama yang disampaikan Musa. Hal ini mungkin dikarena worldview yang berbeda antara orang Ibrani dan Yunani.  Bagi orang Yahudi segenap jiwa sudah termaksud akal budi sedangkan worldview Yunani yang dualis cenderung memisahkan jiwa dengan akal budi. Kemudian “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mar 12.32.). Kasih Allah kepada kita merupakan dasar untuk mengasihi diri kita sendiri dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Sebab orang yang tidak mampu mengasihi diri sendiri tidak akan mampu mengasihi sesama. Seorang yang tidak mengasihi TUHAN tidak akan mengasihi diri sendiri (kecuali kasih yang egoistic yang cenderung merusak diri sendiri, disadari atau tidak disadari), dan seseorang yang tidak mengasihi diri sendiri tidak mampu mengasihi sesama.

Dengarlah dan ingatlah akan 3 L (Law, Love dan Life). Hukum bagaikan lampu depan dan rem mobil yang berfungsi untuk mengamankan. Dan Love bagaikan tenaga yang menggerakkan mobil dalam perjalanan kepada tujuan (Life). Paulus mengingatkan “orang yang mengasihi sesama manusia, sudah memenuhi semua hukum Musa.” (Roma 13.8). Yohanes menegaskan, “Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1 Yoh. 4.20). Barangsiapa mempunyai hati, hendaklah ia mendengar!


Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12