Monday 20 February 2012

KETERBATASAN DAN KEABADIAN


2 Raja-raja 2.1-12 & Markus 9.2-9

Kedua perikop ini menunjukkan kesinambungan antara keterbatasan dan keabadian bahwa sebagai manusia, kita tidak akan diam di dalam kediaman di bumi selamanya melainkan kita akan bergerak menuju kediaman yang kekal (baca 2 Kor 5.1). Manusia lahiriah mungkin akan merosot akan tetapi manusia batiniah akan dibaharui dari sehari ke sehari (2 Kor 4.16) sebab TUHAN mengaruniakan Roh di dalam diri kita (2 Kor 5.5) untuk mengerjakan kemuliaan kekal di dalam diri kita (2 Kor 4.17). Untuk itu kita mesti memperhatikan yang tidak kelihatan sebab yang tidak kelihatan adalah kekal (2 Kor 4.18).

TUHAN bukan sebuah ilusi akan tetapi Ia adalah “realita prima” (prime reality) di dalam hidup ini. Ia bukan kuasa kosmos yang tidak berkepribadian melainkan Ia adalah Pribadi yang berpikir dan bertindak. Ia bersifat transcendental dan immanen. Melampaui diri kita dan sekaligus bersedia untuk diam di dalam diri kita dan secara aktif bekerja di tengah-tengah kita. Ia Maha Tahu, Maha Kuasa dan Maha Baik. Kasih adalah substansi Diri-Nya. Ia menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada atau ex nihilo. Ciptaan-Nya teratur dengan sistem terbuka. Ia memberikan kebebasan bagi manusia untuk mengurusi alam dan menjalani hidup.

Nah, sebagai manusia kita juga menyandang sebagian dari kepribadian, transendensi dan inteligensi ilahi. Pemazmur menanyakan, “Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama dengan Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (Mzm 8.5-6).


Paulus berkata, Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat.
1 Korintus 1.26-27

Dengan kata lain, harga diri kita berasal dari Allah. Kita berharga sama sekali bukan karena perbuatan kita melainkan semata-mata oleh karena perbuatan-Nya. Masalah dunia ini adalah manusia berjuang dan berlomba-lomba untuk menjadi signifikan. Kepercayaan diri dipoles secara lahiriah. Kompetensi dan kapabilitas menjadi standar penilaian. Produktivitas dan pencapaian menjadi alat ukur kelayakan seseorang. Akibatnya manusia dikuasai oleh arogansi dan ego pribadi. Daripada dipermuliakan Allah manusia memilih untuk mempermuliakan diri sendiri. Daripada dimahkotai, manusia mencari mahkota sendiri. Padahal semestinya kita menjadi tidak signifikan sehingga Allah yang bekerja di dalam diri kita dan melalui diri kita. Semestinya kita bertanya Apa gunanya apabila seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya? (Mark 8.36).

Manusia ingin menempatkan dirinya di atas panggung, disoroti lampu penerang. Manusia mencari publikasi diri untuk memperoleh dukungan dan keyakinan diri. Bukankah keyakinan diri seperti ini sangat palsu dan ilusional? Bukankah pencapaian seperti ini sangat sia-sia dan tidak berarti? Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes ke atas gunung yang tinggi. Tidak ada lampu sorot dan keramaian di sana. Tidak ada pujian (kecuali pujian dari Allah), tidak ada publikasi bahkan publikasi dilarang (kecuali setelah kebangkitan untuk pemberitaan Injil). Ketika berada di dalam kondisi tidak signifikan, Yesus berupa rupa (transformasi) – pakaian-Nya menjadi sangat putih berkilau dan Ia mengadakan pertemuan dengan Musa dan Elia. Transendensi kekekalan terjadi. Begitu juga dengan pengalaman Elisa. Setiap kali para nabi yang lain menyebut tentang pengangkatan Elia, Elisa menjawab “Diamlah!” atau “jangan dipublikasikan”. Jangan dicetak dibuku, jangan dipasang di spanduk, jangan di post di facebook atau twitter, jangan dikorankan tetapi “diamlah”.

Menyadari akan kepergian guru spiritualnya, Elisa memohon warisan (2 Raj 2.9 & Ul 21.17). Ia mengetahui bahwa ia mesti melanjutkan pelayanan gurunya sehingga ia butuh penyertaan TUHAN dan karunia TUHAN untuk melanjutkan misi dari TUHAN. Saya tertarik untuk memperhatikan perpindahan tempat (perjalanan yang ditunjukkan Allah kepada Elia) yakni Gilgal, Betel, Yeriko dan Yordan. Apa sich signifikansi dari keempat kota tersebut? Di Gilgal terdapat monument 12 batu (Yosua 4.19-24). Gilgal merupakan tempat pertama ketika bangsa Israel memasuki Tanah Perjanjian. Gilgal merupakan tempat mereka meninggalkan kehidupan lama dan memulai kehidupan baru. Betel (rumah Allah) melambangkan kehadiran Allah atau tempat pertemuan dengan Allah (Kej 28.10-19). Di zaman hakim-hakim Betel merupakan tempat Tabut Perjanjian disimpan. Di Yeriko (Yosua 6.2-5) TUHAN menyatakan supremasi Diri-Nya ketika merobohkan benteng Yeriko yang kokoh. TUHAN bekerja, manusia beriman! Yeriko berkaitan erat dengan “perjalanan iman”. Dan yang terakhir sungai Yordan (Yosua 3). Sungai Yordan adalah tempat penyeberangan dari padang gurun menuju Tanah Perjaniian. Yordan sarat dengan sunat dan baptisan, kematian dan kebangkitan. Secara implisit, keempat tempat tersebut menunjukkan sebuah perjalanan hidup – Gilgal (meninggalkan hidup lama), Betel (diam di dalam kehadiran Allah), Yeriko (beriman kepada Allah) dan Yordan (pembaharuan hidup).

Perhatikanlah yang tidak kelihatan sebab yang tidak kelihatan bersifat kekal. Jadikan hidup kita bagian dari Drama TUHAN. Dan hidup kita sebagai salah satu bab di dalam drama TUHAN yang terinterkoneksi dengan bab-bab milik orang lain. Sehingga hidup kita bukanlah sebuah keterpisahan melainkan bagian dari Drama Allah. Pertemuan Musa, Elia dan Yesus telah menunjukkan akan adanya interkoneksi kehidupan manusia apabila manusia hidup di dalam keabadian. Kekekalan dimulai saat ini!

Wednesday 15 February 2012

Transendensi Diri

2 Korintus 4.3-6, 18, 5:1-7
Lao Tzu mengatakan bahwa kebenaran selalu bersifat paradoksikal. Suka atau tidak suka, kebenaran seringkali berada dalam bentuk paradoks. Misteri Kristus sendiri adalah sebuah paradoks bahwa Dia adalah Allah dan Anak Manusia. Paulus menegaskan bahwa sebagai manusia kita mempunyai dua tempat kediaman – di bumi dan di sorga (2 Kor 5.1). Ia melanjutkan bahwa selama tinggal di kemah ini (kediaman di bumi), ia merindukan kediaman di sorga dan mengeluh karena beratnya tekanan. Dan ketika masih mendiami tubuh ini, kita masih jauh dari TUHAN (2 Kor 5.6). Kita tertekan karena kita tidak mau menanggalkan pakaian yang lama (persepsi / program lama). Kita hanya melapisi pakaian lama dengan pakaian baru sehingga kita merasa gatal dan tidak nyaman. Sepertinya kita terjebak di dalam dua dimensi yang saling bertentangan yakni antara keterbatasan dan keabadian. Pengkhotbah mengatakan, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pengkhotbah 3.11).

Pikiran manusia dibutakan oleh ilah zaman (2 Kor 4.4) yang mempengaruhi kita secara sadar ataupun tidak sadar. Pandangan dunia “worldview” atau pengkondisian cultural berpengaruh secara signifikan baik secara eksplisit maupun implisit pada persepsi dan gaya hidup seseorang. Sebagai contoh, pesatnya perkembangan Informasi Teknologi telah mendorong pendominasian dunia periklanan. Demi pertahanan hidup, perusahaan-perusahaan media harus mengingkorporasi iklan-iklan ke dalam media mereka dan bahkan ikut mengatur kebijakan media. Tidak heran apabila perusahaan media mengorbankan “kebenaran” demi meraup keuntungan. Seperti yang kita ketahui bahwa percetakkan koran maupun majalah tidak akan mendatangkan keuntungan apabila tidak didukung penghasilan periklanan. Ben Bagdikian, seorang kritikus media ternama menulis, “media akan mengubah konten berita dan mendesainnya sesuai dengan kebutuhan pembaca”. Tujuannya adalah untuk membidik konsumen dan membangun “semangat berbelanja”.

Manusia yang ditempatkan di tengah-tengah alam diberikan tanggungjawab dan tugas untuk mengelola alam ini. Namun manusia mendominasi alam dengan mengeksploitasi habis-habisan. Sebagai bagian dari alam, manusia sedang menciptakan kehancuran diri mereka sendiri. Eksploitasi alam akan menyebabkan pemanasan global yang semakin parah, krisis energi, krisis makanan dan krisis air yang akan sangat berdampak pada kehidupan manusia. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh para ahli di Inggris, pada 30 tahun mendatang setidaknya 3 miliyar penduduk dunia akan jatuh di bawah garis kemiskinan akibat krisis pangan. Informasi seperti ini tidak untuk menjadikan kita lebih pesimis melainkan juga mengingatkan kita akan tugas dan tanggungjawab kita sebagai manusia ciptaaan Allah.

Keterpisahan manusia dengan keabadian menimbulkan daya rusak terhadap alam. Hal ini diakibatkan oleh kerusakan manusia dengan dirinya sendiri atau “quarrel with the self”. Manusia adalah mahkluk yang diciptakan untuk suatu tujuan yang abadi sehingga apabila essensi keabadian di dalam diri manusia dirusak maka manusia akan mengalami konflik diri “inner-conflict”. Ini merupakan kerusakan utama di dalam struktur keberadaan manusia. Konflik diri terjadi di dalam diri “Aku & Diriku” oleh karena manusia dikendalikan oleh “keinginan hati” (Roma 1.24) dan keinginan hati tersebut membangkitkan “rupa-rupa keinginan” (Roma 7.8). Rupa-rupa keinginan menghasilkan berbagai ketamakan dan juga arogansi di dalam diri manusia sehingga manusia memusuhi Allah. Manusia menciptakan ilah-ilah atau memanfaatkan TUHAN demi memperoleh jaminan kenikmatan harta kekayaan. Tidak heran jika ada yang disebut “menang kalah”, “banyak sedikit”, “tersohor terlupakan”. Manusia yang kehilangan keabadian memilih untuk hidup dengan perspektif temporil dan mengadopsi naluri binatang sehingga manusia saling menerkam dan saling menelan (a dog eats dog-world). Manusia menjadikan dirinya sendiri sebagai fondasi sehingga hidup manusia melelahkan dan tidak berarti. Manusia kehilangan diri mereka yang sejati.

Di dalam bukunya The Sickness Unto Death (1848) (terj. Sakit hingga mati), Kierkegaard menulis bahwa manusia adalah sintesis keabadian dengan keterbatasan. Apa yang Kierkegaard tulis di sini sama dengan fenomena yang kita pahami di zaman kini sebagai “transendensi diri”. Dengan kata lain, manusia adalah mahkluk yang terbatas dengan potensi untuk melampaui atau mencapai keabadian (transendensi). Hal ini terjadi apabila Roh Allah diam di dalam diri manusia (Roma 8.9-10) dan menjadi anak-anak Allah (Roma 8.14). Oleh karena Allah adalah abadi maka anak-anak-Nya juga mendapat bagian di dalam keabadian. Justru untuk itu, TUHAN mengaruniakan Roh kepada kita (2 Kor 5.5) untuk menolong kita mencapai transendensi diri –kepenuhan di dalam Roh.

Mentransendensi diri artinya menyadari “harta” yang ada di dalam diri kita (2 Kor 4.7). Keistimewaan tersebut tidak semestinya menjadikan kita manusia melainkan kita mesti ingat bahwa kita masih bejana tanah liat.Transendensi diri berarti mempercayai dan bukan melihat (2 Kor 5.7), tidak memuji-muji diri sendiri (2 Kor 5.12), tidak menilai orang lain menurut ukuran manusia (2 Kor 5.16). Transendensi diri berarti hidup di dalam damai dan sebagai agen pendamaian (2 Kor 5.19), menjadi manusia rohani (1 Kor 2.15) dan memperhatikan yang tidak kelihatan sebab yang tak kelihatan adalah kekal (2 Kor 4.18).




Sunday 12 February 2012

Belas Kasihan Yang Menyembuhkan

Seorang pelayan perempuan dari negeri Israel tergerak oleh belas kasihan untuk tuannya yang menderita sakit kusta. Ia menyarankan kepada nyonyanya bahwa seorang nabi di Israel dapat menyembuhkan penyakit kusta tuannya. Bagaimana apabila nabi Elisa tidak bersedia menyembuhkan dia? Bagaimana apabila ternyata Naaman tidak berhasil disembuhkan? Mengapa gadis perempuan tersebut bersedia mengambil resiko demikian? Bukankah Naaman adalah panglima yang mengalahkan Israel sehingga ia menjadi seorang tawanan (budak)? Namun gadis tersebut tidak dikuasai oleh dendam dan amarah. Hatinya berbelas kasihan kepada tuannya. Begitu juga ketika seorang pasien kusta memohon kesembuhan Yesus, hati Yesus “tergerak” oleh belas kasihan.

Dosa merupakan penyakit inheren manusia yang mesti disembuhkan dan untuk itulah Yesus datang - “memberitakan Injil” (Markus 1.38). Oleh karena kematian-Nya kita disembuhkan (1 Petrus 2.24). Sejak kejatuhan di dalam dosa manusia berada di dalam kondisi “sakit” yakni sakit rohani akibat keterpisahan dengan Sang Kehidupan. Soren Kierkegaard pernah menulis tentang “sakit hingga kematian” atau Sickness Unto Death (1848). Buku Kierkegaard adalah anti-klimaks dari Yohanes 11.4. Kierkegaard menyebut bahwa “keputusasaan” atau despair adalah penyakit yang diderita manusia hingga kematian. Agar tidak mengalami sakit hingga kematian manusia mesti mencapai rekonsiliasi antara keterbatasan dengan ketidakterbatasan atau mengalami transendensi diri.

Yang menjadi prioritas penyembuhan Elisa kepada Naaman bukanlah penyakit fisik melainkan penyakit batin Naaman – arogansi pejabat tinggi. Naaman adalah seorang panglima, terpandang, disayangi raja dan memiliki karier yang penuh kemenangan. Kata dasar nama Naaman di dalam bahasa Ibrani adalah name yang berarti “indah, cantik”.  Apabila Naaman hidup di zaman kini, maka fotonya akan berada di poster-poster di setiap jalan. Rumahnya bagaikan istana full AC. Setiap anggota keluargnya dilindungi bodyguards dan disertai kendaraan anti peluru dan supir pribadi. Keamanan Naaman juga termasuk sebagai bagian dari keamanan nasional. Kecemerlangan hidupnya diliputi awan gelap yakni penyakit kustanya. Penyakti kusta adalah penyakit yang paling ditakuti pada zaman itu. Naaman digambarkan sebagai seorang yang hebat, sukses luar biasa tetapi sedang berurusan dengan penyakit yang sangat menyebalkan.

Ironisnya dirinya dikontraskan dengan gadis perempuan yang bahkan namanya pun tidak disebut di Alkitab – anak perempuan, tertawan, pelayan. Perbudakkan dirinya tidak menjadikan dirinya sebagai budak di dalam batinnya. Perbuatannya mencerminkan bahwa ia sedang melakukan “kepemimpinan ke atas”. Penyembuhan penyakit kusta Naaman bersifat sekunder bagi Elisa. Yang menjadi perhatian bagi Elisa adalah penyembuhkan penyakit ego dan batin panglima Naaman. Kesalahan persepsi Naaman perlu disembuhkan. Ego Naaman perlu disembuhkanNaaman mengharapkan penyembuhan yang bersifat spektakuler akan tetapi ia malah mendapat perintah dari seorang suruhan untuk mandi di sungai Yordan. Perbuatan Elisa terkesan sangat tidak sopan. Perlakuan Elisa terhadap tamu negara yang tidak hormat berpotensi menimbulkan perang besar. Padahal Elisa bisa menyembuhkan secara spektakuler, menakut-nakuti Naaman bahwa di Israel ada TUHAN yang hebat yang bisa meremukkan dia dan memerintahkan Naaman untuk membuat perjanjian damai dan membayarkan tribute kepada Israel. Perbuatan Elisa membuat Naaman sangat gusar. Akan tetapi para pegawai Naaman menasihati Naaman untuk mencoba, toh itu tidak susah. Ternyata Naaman dikelilingi dengan orang-orang bijak. Dan Naaman juga adalah orang yang mendengar dan menerima masukan bahkan dari orang kecil. Egonya tidak menuntun dia jauh di dalam amarah. Ia tidak terjebak di dalam arogansi pejabat tinggi.

Setelah menjadi tahir, Naaman kembali menghadap Elisa. Kali ini Elisa tidak lagi mengutus orang suruhan melainkan bertemu dengan Naaman secara pribadi. Naaman berkomitmen untuk menyembah TUHAN yang disembah oleh Elisa. Iman Naaman yang baru percaya sangat luar biasa. Ia langsung mengetahui bahwa tidak ada allah lain selain Allah Elisa sehingga ia berkata, “Kiranya TUHAN mengampuni hambamu ini dalam perkara yang berikut: Apabila tuanku masuk ke kuil Rimon untuk sujud menyembah di sana dan aku menjadi pengapitnya, sehingga aku harus ikut sujud menyembah dalam kuil Rimon itu, kiranya TUHAN mengampuni hambamu ini dalam hal itu” (2 Raj 5.18). Iman Naaman benar-benar patut dikagumi maka berkatalah Elisa, “Pergilah dengan selamat!”

Paulus menegaskan bahwa dirinya bukanlah petinju yang sembarangan meninju. Orientasi hidupnya adalah mengejar “mahkota abadi”. Ia menjaga “well-being” dirinya agar sesudah memberitakan Injil dirinya sendiri tidak ditolak. Manusia menderita penyakit seperti kekhawatiran berlebihan, kegelisahan, keegoisan, kepicikan, perasaan tidak aman, ketamakan, kesepian serta konflik diri atau inner quarrel. TUHAN adalah Penolong (Mzm 30.11) yang sanggup menyembuhkan (Mzm 30.3) dan mengubah ratapan kita menjadi tarian (Mzm 30.12). Mari kita menjaga “well-being” diri kita sendiri dan kiranya hati kita tidak dikendalikan oleh penyakit dosa melainkan digerakan oleh “belas kasihan” untuk menyembuhkan sesama. Let’s Heal the world with loving kindness!

Nasi Campur & Lontong di Jalan Bintan

Suka nasi campur atau lontong? Apabila Anda berjalan-jalan ke Tanjungpinang, silahkan mencoba nasi campur yang berada di Jalan Bintan. Lokasinya agak sedikit tersembunyi. Apabila Anda memasuki jalan Bintan (tepat di sebelah Bank BII), Anda terlebih dahulu melewati agen koran/majalah yang berada di sebelah kiri. Setelah melewati kedai kopi, terdapat gang kecil di sebelah kiri maka masuklah ke dalam. Setelah berjalan sekitar 10 meter, masuklah ke dalam kedai kopi yang berada di sebelah kiri Anda. Di situ terdapat nasi campur yang disukai cukup banyak orang. Mereka mulai berjualan sekitar jam 07.00 pagi. Tidak jarang juga bahwa antriannya cukup lumayan. Good to try!




Wednesday 8 February 2012

What is "love"?

What is your definition of “love”? The word “love” significantly means a lot to everyone. People who hate “love” are those who are deeply hurt by it. Fairy tales or fantasized love is the most talked-about among the teenagers. What is your perspective on “love”? Being loved, being pampered, receiving a rose, a teddy bear, a love-card, candle light dinner, romantic music? Unfortunately, most people talk about love in terms of to be loved and to be loveable. Our consumerist culture motivates people to be thingtified meaning to dehumanize oneself to a product and one’s purpose is to be marketable or to be sellable. So someone has to be packaged nicely in order to be “attractive”. This act is poignantly expressed in contemporary narcissistic culture. Therefore, when two persons meet and fall in love with each other, they think as if they have found the best product available on the market. This kind of love merely lasts for there will be always a better product available on the market. They will soon find the expiry date on their partner and opt to find another. This quest for love is often characterized and motivated by loneliness and lack of love. Someone would say, “I feel so lonely, I need love to enhance my life”. “I will be happy if I can have him or her as my life-partner”. Our contemporary culture has indeed reduces love to thing for us to own and to keep.

Do you really comprehend “love”? We cannot discuss love apart from the essence of God. God is love (1 John 4.18). Love is not something to be hoarded for. Love is an active being. Love is giving and by giving it will not impoverish the giver. Love is a power which produces love. It creates life and joy.  Meister Eckhart succinctly explained on self-love, “If you love yourself, you love everybody else as you do yourself.” (Erich Fromm, The Art of Love, p. 58). Our major problem in the matter of love is we tend to idolize the person we love. When we fall for someone, we are attracted to idolize the person and to look at the person in our own fantasy. This is the reason why most lovers will eventually plunge into disappointment. The definition of “love” is greatly described by Paul in 1 Corinthians 13.4-7. The definition of love by Paul denotes the “activeness of love”. Love is supposed to be an active act. Love is not about “trade”. Trading mindset will eventually wear love away. When someone regards love as a trade, their purpose to love is to gain more love. Hence, love is understood as an act of exchange “I give love in order to receive more love”.

We can only love when are one or in union with God. Since the fall, humanity has become separated from God. The desire to seek oneness is strong and vividly expression in human’s effort to overcome loneliness and misery. Therefore, it is of paramount important to be reunited with our Creator. Our Lord Jesus Christ says, “Father, just as You are in Me and I am in You. May they also be in us... I in them and You in Me. May they be brought to complete unity to let the world know that You sent me and have loved them even as You have loved me” (John 17.21-23). To love is to share and to create inner joy and liveliness. Love is not merely about romantic talk or enchanting gift but it is beyond that. True love is peaceful, serene and tranquil. A true love is a transformative love that builds life.

Doa Bapa Kami


“Doa Bapa kami” merupakan doa yang diajarkan Yesus tentang apa yang essensial di dalam kehidupan doa. Yesus mengajarkan murid-murid-Nya agar tidak berdoa seperti orang-orang yang narsis dan suka pamer yang memanjatkan doanya agar dilihat orang (di lorong-lorong, di persimpangan jalan, dengan bahasa tubuh dan ekspresi yang berlebihan). Apabila seseorang berdoa demi dilihat orang ataupun demi didengar orang maka ia tidak benar-benar doa, ia hanya sedang mengucapkan kata-kata kosong tidak berarti kepada udara. Ia tidak sedang berdoa kepada TUHAN melainkan sedang berdoa kepada udara. Sikap doa yang paling dasar adalah berdoa kepada TUHAN yang tidak kelihatan. Doa adalah sebuah interkoneksi antara yang kelihatan dan yang tidak kelihatan atau kontak jiwa dan roh kita kepada TUHAN yang tidak kelihatan. Doa adalah kontak spiritual diri kita dengan TUHAN baik dilakukan secara pribadi maupun di dalam komunitas. Jadi ketika hendak berdoa, kita diajarkan untuk masuk ke dalam kamar, menutup pintu dan berdoa kepada Bapa yang ada di tempat yang tersembunyi - “bersolitusi” dan “berkonsentrasi”.

Hubungan TUHAN dengan kita adalah hubungan Bapa dan anak (Roma 8.15), hubungan yang akrab. Sebagai anak, seharusnya hidup kita juga berfokus dan berorientasi pada apa yang menjadi perhatian utama Bapa di Sorga yakni “kekudusan nama Bapa” dan “kedatangan Kerajaan-Nya. Hidup kita semestinya menjadi bagian dari rencana Agung Sang Bapa sehingga kita mesti mengagendakan hidup kita untuk berperan di dalam Kerajaan-Nya.

Melalui doa kita juga memohon kebutuhan dasar kita yakni kebutuhan fisik “makanan, minuman dan pakaian yang secukupnya”. Kita diingatkan akan kebutuhan “sehari” dan bukan kebutuhan untuk “berabad-abad”. Dan meminta untuk dipenuhi “secukupnya” bukan “berlebih-lebih”. Kebutuhan kita sehari-hari sangat sederhana tetapi kita selalu mengingini lebih. Dan keinginan lebih inilah yang seringkali meraup kebahagian kita. Kita mengingini makanan sampah atau junk food yang banyak, kita juga mengingini apa yang terlihat di etalase dan apa yang terlihat dimiliki oleh tetangga dan teman-teman kita. Padahal yang kita butuhkan hanyalah kebutuhan dasar yang essensial. Selain kebutuhan fisik kita juga mempunyai kebutuhan spiritual. Kita membutuhkan pengampunan dosa sehingga hidup kita secara terus-menerus diperbaharui dan disegarkan. Sebagai anak, karena kita sudah diampuni maka mari belajar untuk mengampuni sesama. Pengampunan membebaskan diri dari amarah, kebencian, irihati dan mendatangkan kebahagiaan.  Kebutuhan ketiga adalah kebutuhan dilindungi dari pencobaan. Kita perlu berdiam diri di dalam TUHAN agar kita dilindungi dari berbagai pencobaan.

'Doa Bapa Kami" diakhir dengan pengakuan akan "absolutisme kuasa Bapa". Doa yang disertai dengan sebuah keyakinan akan kuasa TUHAN yang mutlak dan tidak terkalahkan. Keselamatan dan hidup terjamin karena kuasa-Nya. Berbagai beban berat dalam hidup ini dapat kita tanggung karena iman atas kuasa-Nya bahwa Dia tetap memerintah hingga kekekalan.

Friday 3 February 2012

Ketamakan

Lukas 12.13-21

Ketika Yesus sedang mengajar orang banyak, tiba-tiba salah seorang yang hadir mengajukan pertanyaan yang sangat mengusik. Sebab saudara orang ini tidak mau berbagi warisan dengan dirinya. Mungkin dia sudah melakukan berbagai upaya agar bisa mendapat jatah pembagian warisan tetapi tetap saja gagal. Maka ia berharap agar Yesus dapat menolong dia dengan cara memberikan perintah kepada saudaranya yang kemungkinan besar juga hadir di sana. Permintaan naïf orang ini bagaikan meminta Yesus untuk menegur teman yang nakal, anak yang pemboros, atau ayah penjudi. Yesus berespon, “Siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu? Orang ini tidak salah sebab ia sedang menuntut haknya akan tetapi dia tidak mengenal siapa Yesus. Dia meminta Yesus untuk mengurus haknya untuk memperoleh warisan. Dia sedang menuntut campur tangun Yesus agar ia bisa memperoleh warisannya.

Jawaban Yesus memiliki double impact, secara implisit Yesus menegur orang ini beserta saudaranya. Yesus berkata, “Berjaga-jagalah dan wasapadalah terhadap segala ketamakan sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung dari pada kekayaannya.” Poin Yesus sudah sangat tajam dan jelas bahwa kualitas hidup seseorang tidak ditentukan oleh kuantitas kekayaan. Perumpamaan Yesus menunjukkan kepuasan diri manusia yang dibangun dengan cara menimbun. Manusia merasa dengan menimbun yang banyak, ia memiliki kecukupan untuk seumur hidupnya maka ia akan merasa bahagia. Apa yang salah dengan menabung dan membeli asuransi? Tidak ada salahnya apabila seseorang menabung dan membeli asuransi karena ini bagian dari pengeloaan harta kekayaan yang diberikan dari TUHAN. Inti persoalannya adalah apabila seseorang mengandalkan tabungan dan asuransinya.

Asumsi atau kepercayaan umum adalah hidup ini akan tenang apabila seseorang mempunyai harta yang banyak, ia dapat berisitirahat, makan, minum dan bersenang-senang. “Apakah arti hidup manusia? Hidup itu sama seperti uang yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yak 4.14). Hidup ini memang sebuah paradoks. Perkembangan peradaban dan teknologi mempermudah dan sekaligus juga memperumit kehidupan manusia. Sebelumnya, manusia hidup secara berpindah-pindah dengan bertenda (rumah temporer). Perlengkapan yang dibutuhkan juga tidak banyak seperti palu, paku, pisau, tombak, panah, beberapa helai pakaian, kendi air, alat masak. Mereka tidak mempunyai lemari untuk penyimpanan bahkan makanan yang didapat harus dikonsumsi dengan cepat karena masalah pengawatan (tidak mempunyai kulkas). Mereka mempunyai beberapa peliharaan seperti kuda, sapi, kambing, domba atau ayam. Ketika peradaban manusia berkembang, perlengkapan pun kian bertambah. Penambahan ruang atau penambahan lemari selalu sama dengan penambahan barang simpanan sehingga sebesar apa pun atau sebanyak apa pun lemari tetap saja tidak mencukupi. Roda ekonomi didorong oleh kemampuan mengkonsumsi. Supermarket, malls, bioskop terus bertambah. Maka pemasaran juga harus semakin giat untuk memikat hati konsumen. Persoalan penyimpanan memicu kreativitas untuk membuka bank penyimpanan berbagai barang. Manusia terjebak oleh karena ketamakan diri sendiri ~ memproduksi dan mengkonsumsi.

Ketamakan adalah keingingan untuk memperoleh lebih. Orang yang tamak adalah orang yang selalu mengingini dan selalu merasa tidak puas. Apa pun ingin diambil dan disimpan, mulai dari tissue, sendok, garpu, kotak, makanan dan masih banyak lagi. Sifat ketamakan yang kurang terdeteksi adalah dengan cara “mengasihani diri” demi memperoleh “belas kasihan” sehingga bisa mendapatkan keuntungan. Dengan berbagai upaya memposisikan diri dalam keadaan kasihan atau kurang beruntung demi memenangkan belaskasihan serta “bantuan/dukungan” yang umumnya bersifat materil maupun moril.

Keinginan dijadikan kebutuhan yakni kebutuhan untuk dipuaskan, kebutuhan untuk memperoleh keyakinan diri, kebutuhan untuk menambah nilai diri. Pada dasarnya kebutuhan bersifat fungsional oleh sebab itu sebaiknya kita memandang “kebutuhan” dari dua sisi yakni kebutuhan fungsional dan kebutuhan non-fungsional. Kebutuhan fungsional adalah kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi. Paulus mengingatkan, karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. (1 Tim 6.10). Kaya menurut dunia sekuler adalah dengan cara menumpuk harta di dunia sedangkan kaya menurut Allah adalah dengan cara berbagi. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya. (1 Tim 6.18-19).

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12