Wednesday 15 February 2012

Transendensi Diri

2 Korintus 4.3-6, 18, 5:1-7
Lao Tzu mengatakan bahwa kebenaran selalu bersifat paradoksikal. Suka atau tidak suka, kebenaran seringkali berada dalam bentuk paradoks. Misteri Kristus sendiri adalah sebuah paradoks bahwa Dia adalah Allah dan Anak Manusia. Paulus menegaskan bahwa sebagai manusia kita mempunyai dua tempat kediaman – di bumi dan di sorga (2 Kor 5.1). Ia melanjutkan bahwa selama tinggal di kemah ini (kediaman di bumi), ia merindukan kediaman di sorga dan mengeluh karena beratnya tekanan. Dan ketika masih mendiami tubuh ini, kita masih jauh dari TUHAN (2 Kor 5.6). Kita tertekan karena kita tidak mau menanggalkan pakaian yang lama (persepsi / program lama). Kita hanya melapisi pakaian lama dengan pakaian baru sehingga kita merasa gatal dan tidak nyaman. Sepertinya kita terjebak di dalam dua dimensi yang saling bertentangan yakni antara keterbatasan dan keabadian. Pengkhotbah mengatakan, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pengkhotbah 3.11).

Pikiran manusia dibutakan oleh ilah zaman (2 Kor 4.4) yang mempengaruhi kita secara sadar ataupun tidak sadar. Pandangan dunia “worldview” atau pengkondisian cultural berpengaruh secara signifikan baik secara eksplisit maupun implisit pada persepsi dan gaya hidup seseorang. Sebagai contoh, pesatnya perkembangan Informasi Teknologi telah mendorong pendominasian dunia periklanan. Demi pertahanan hidup, perusahaan-perusahaan media harus mengingkorporasi iklan-iklan ke dalam media mereka dan bahkan ikut mengatur kebijakan media. Tidak heran apabila perusahaan media mengorbankan “kebenaran” demi meraup keuntungan. Seperti yang kita ketahui bahwa percetakkan koran maupun majalah tidak akan mendatangkan keuntungan apabila tidak didukung penghasilan periklanan. Ben Bagdikian, seorang kritikus media ternama menulis, “media akan mengubah konten berita dan mendesainnya sesuai dengan kebutuhan pembaca”. Tujuannya adalah untuk membidik konsumen dan membangun “semangat berbelanja”.

Manusia yang ditempatkan di tengah-tengah alam diberikan tanggungjawab dan tugas untuk mengelola alam ini. Namun manusia mendominasi alam dengan mengeksploitasi habis-habisan. Sebagai bagian dari alam, manusia sedang menciptakan kehancuran diri mereka sendiri. Eksploitasi alam akan menyebabkan pemanasan global yang semakin parah, krisis energi, krisis makanan dan krisis air yang akan sangat berdampak pada kehidupan manusia. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh para ahli di Inggris, pada 30 tahun mendatang setidaknya 3 miliyar penduduk dunia akan jatuh di bawah garis kemiskinan akibat krisis pangan. Informasi seperti ini tidak untuk menjadikan kita lebih pesimis melainkan juga mengingatkan kita akan tugas dan tanggungjawab kita sebagai manusia ciptaaan Allah.

Keterpisahan manusia dengan keabadian menimbulkan daya rusak terhadap alam. Hal ini diakibatkan oleh kerusakan manusia dengan dirinya sendiri atau “quarrel with the self”. Manusia adalah mahkluk yang diciptakan untuk suatu tujuan yang abadi sehingga apabila essensi keabadian di dalam diri manusia dirusak maka manusia akan mengalami konflik diri “inner-conflict”. Ini merupakan kerusakan utama di dalam struktur keberadaan manusia. Konflik diri terjadi di dalam diri “Aku & Diriku” oleh karena manusia dikendalikan oleh “keinginan hati” (Roma 1.24) dan keinginan hati tersebut membangkitkan “rupa-rupa keinginan” (Roma 7.8). Rupa-rupa keinginan menghasilkan berbagai ketamakan dan juga arogansi di dalam diri manusia sehingga manusia memusuhi Allah. Manusia menciptakan ilah-ilah atau memanfaatkan TUHAN demi memperoleh jaminan kenikmatan harta kekayaan. Tidak heran jika ada yang disebut “menang kalah”, “banyak sedikit”, “tersohor terlupakan”. Manusia yang kehilangan keabadian memilih untuk hidup dengan perspektif temporil dan mengadopsi naluri binatang sehingga manusia saling menerkam dan saling menelan (a dog eats dog-world). Manusia menjadikan dirinya sendiri sebagai fondasi sehingga hidup manusia melelahkan dan tidak berarti. Manusia kehilangan diri mereka yang sejati.

Di dalam bukunya The Sickness Unto Death (1848) (terj. Sakit hingga mati), Kierkegaard menulis bahwa manusia adalah sintesis keabadian dengan keterbatasan. Apa yang Kierkegaard tulis di sini sama dengan fenomena yang kita pahami di zaman kini sebagai “transendensi diri”. Dengan kata lain, manusia adalah mahkluk yang terbatas dengan potensi untuk melampaui atau mencapai keabadian (transendensi). Hal ini terjadi apabila Roh Allah diam di dalam diri manusia (Roma 8.9-10) dan menjadi anak-anak Allah (Roma 8.14). Oleh karena Allah adalah abadi maka anak-anak-Nya juga mendapat bagian di dalam keabadian. Justru untuk itu, TUHAN mengaruniakan Roh kepada kita (2 Kor 5.5) untuk menolong kita mencapai transendensi diri –kepenuhan di dalam Roh.

Mentransendensi diri artinya menyadari “harta” yang ada di dalam diri kita (2 Kor 4.7). Keistimewaan tersebut tidak semestinya menjadikan kita manusia melainkan kita mesti ingat bahwa kita masih bejana tanah liat.Transendensi diri berarti mempercayai dan bukan melihat (2 Kor 5.7), tidak memuji-muji diri sendiri (2 Kor 5.12), tidak menilai orang lain menurut ukuran manusia (2 Kor 5.16). Transendensi diri berarti hidup di dalam damai dan sebagai agen pendamaian (2 Kor 5.19), menjadi manusia rohani (1 Kor 2.15) dan memperhatikan yang tidak kelihatan sebab yang tak kelihatan adalah kekal (2 Kor 4.18).




Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12