Tuesday 1 July 2014

MENGAPA ROH ALLAH MELAYANG-LAYANG DI ATAS AIR?

Kej 1:2  Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.

Bumi (erets) belum berbentuk dan kosong. Wenham (1987, 15) dan Waltke (2007, 179) berpendapat bahwa langit (shamayim) dan bumi (erets) di ayat pertama berarti “alam semesta” dalam ayat yang pertama dan “erets” berarti “bumi” dalam ayat kedua (1987, 15).

Belum berbentuk (tohu - nothingness) (Yes 29:21) bisa berarti kekacauan total (total chaos) atau padang belantara (Ul 32:10; Ayub 6:18) (Wenham, 15). Dan ketika kedua kata tersebut “tidak berbentuk” dan “kosong” (tohu wabohu) disatukan maka artinya adalah “kehampaan dalam keadaan menyeramkan” (Yes 34:11; Yer 4:23). “Gelap gulita” (khosek) bisa berarti “jalan orang jahat” (Ams 2:13), “penghakiman” (Kel 10:21) atau “kematian” (Mzm 88:13) (Wenham, 16). “Samudera raya” (tehom) berarti “dalam” (deep) atau air yang dalam (deep waters). Jadi ketika kita memadukan semua kata tersebut “belum berbentuk, kosong, gelap gulita dan samudera raya” maka kita memperoleh sebuah gambaran “kekacauan dan kehampaan yang menyeramkan”Void (kehampaan), Eerie (menyeramkan), Chaotic (kekacauan), Desolation (reruntuhan), Zombie-ness (tanpa kehidupan)

Dalam keadaan yang kacau, hampa, gelap gulita yang menyeramkan ini, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (mayim: air yang dalam). Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air mendemonstrasikan bahwa Allah berada di atas kekacauan. Allah yang melihat dari atas bagaikan burung rajawali. Allah yang mengetahui keadaan yang hampa, gelap dan kacau. Allah yang mengetahui persoalan dan pergumulan Anda dan saya. Roh Allah melayang-layang di atas air merupakan momen di mana Allah berpikir, berencana dan menciptakan atau dalam bahasa Bonhoeffer “God is thinking, planning and bringing forth form” (Bonhoeffer, 38). Jadi, Roh Allah (juga dapat diterjemahkan dengan kata “Angin Allah”) yang melayang-layang merupakan gambaran Allah yang berproaktif merencanakan, berkreasi dan memelihara ciptaan-Nya. Allah bergerak dengan dinamis dan secara terus-menerus berkuasa atas kekacauan.

Roh TUHAN melayang-layang (rahap)[1] di atas kekacauan, kehampaan dan gelap gulita dan Ia dengan rapi dan teratur menata alam semesta dan bumi. Keteraturan di dalam sebuah sistem yang tidak kelihatan merupakan karakteristik penciptaan. TUHAN menciptakan alam yang memiliki kemampuan untuk mengimbangi. Namun manusia yang dipercayakan untuk mengurus dan mengelola alam malah telah merusak alam ini dengan serius. Dulu ketika berada di atas pesawat, pulau Batam masih kelihatan hijau, akan tetapi jika kita melihat Batam dari jendela pesawat saat ini kita akan menemukan Batam yang semakin tandus. Di saat pesawat mendekati langit Jakarta sebelum mendarat, kita dapat menyaksikan lapisan tebal berwarna abu-abu melapisi langit ibu kota Indonesia.

Dari sudut pandang penebusan dan restorasi ciptaan-Nya, Roh Allah yang melayang-layang di atas kekacauan dan gelap gulita yang menyeramkan secara proaktif memikirkan dan merencanakan karya-Nya secara progresif yang terlihat apabila kita membandingkannya dengan pemulihan ciptaan yang didepiksi di dalam kitab Wahyu.


Kejadian 1-3
Wahyu 21-22
Kekacauan
Samudera raya
Tiada lautan
Sumber terang
Cahaya matahari
Cahaya Allah Sendiri
Pembagian terang
Siang dan Malam
Tiada malam
Penciptaan
Berada di dalam kutukan
Kutukan diangkat
Keadaan moralitas manusia
Berpotensi jatuh ke dalam dosa
(able to sin dan not able not to sin)
Tidak dikuasai dosa (unable to sin)
Keadaan fisik manusia
Terbatas dan penuh penderitaan
Abadi dan tidak menderita
Keadaan politis manusia
Terbagi-bagi
Secara menyuruh tunduk pada Allah, Raja atas segala raja
Keadaan spiritual manusia
Diusir dari hadapan Allah
Bersama dengan Allah
Pengudusan
Hari ketujuh
Universal
Allah
Tidak kelihatan
Kelihatan
Anak Allah
Tersembunyi
Menyatakan Diri
Air
Memenuhi kebutuhan fisik
Memenuhi kebutuhan spiritual



Dari sudut pandang spiritual, tanpa perjumpaan dengan Tuhan dan kehadiran-Nya dalam hidup kita maka hidup kita berada dalam kondisi “kosong” dan “gelap gulita” yang artinya hidup kita dalam keadaan hampa. Kehampaan spiritual bagaikan lubang hitam yang menyedot segala sesuatu untuk mengisinya tetapi tetap saja merasa hampa. Bagi saya, kehampaan (void) yang memicu hasrat (longing) tidak selalu berkonotasi negatif. Kehampaan dapat menjadi motivasi dan dorongan (driving force) yang mendorong manusia untuk terus mengingini (longings) yang kemudian tercurah dalam berbagai karya manusia seperti membangun kota, mengembangkan musik, lukisan, teknologi yang kemudian melahirkan peradaban dan budaya (civilizations and cultures).

Namun tanpa Perintis sejarah umat manusia, Sang Sumber Kehidupan, kehidupan manusia menjadi tidak berarti, hampa, sepi dan melelahkan. Dinamisme kehidupan terblokir dan kreativitas tidak berkembang. Kehampaan tersebut menjadi dorongan negatif - “rasa tidak aman dan rasa takut”. Misalnya, kiasuisme (kiasu adalah bahasa Hokkien untuk takut kalah) menggerogoti hati manusia.

Kehampaan (deep emptiness) dan kerinduan (deep longings) yang mendalam tersebut juga mendorong manusia untuk berjumpa dengan yang transenden (Higher Power) yang kerapkali diinterpretasikan ke dalam berbagai hal seperti supernatural power, kekuatan magis, takhyul dan lain sebagainya. Tidak heran apabila manusia selalu merasa hampa dan tidak terpenuhi. Sebab kehampaan di dalam diri manusia hanya bisa dipenuhi dengan terpenuhinya kebutuhan spiritual dari Sang Pencipta jika tidak manusia akan selalu berada dalam keadaan tidak terpuaskan.

Jika kita mengkontraskan “belum berbentuk, kosong dan gelap gulita” dengan perkataan Yesus, “Aku adalah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan kita akan menemukan bahwa jika kehidupan didorong oleh motivasi yang salah dan memiliki tujuan yang salah maka hidup ini hanya menjadi tidak berarti dan sangat melelahkan. Perkataan Yesus telah diurut sedemikian rupa yaitu “Jalan, Kebenaran dan tujuan akhir “Hidup”.  Langkah pertama adalah “Jalan”, Yesus adalah Jalan sehingga kita harus menempuh jalan tersebut dengan iman. Sebab kita hanya bisa menempuh sebuah perjalanan ketika kita percaya akan destinasi akhir dari perjalanan yang kita tempuh. Banyak yang gagal di tahap pertama dan kemudian beralih ke jalan yang lain. Tetapi permasalahannya adalah tidak ada jalan lain menuju Bapa. Dan yang kedua adalah “Kebenaran”. Kebenaran perlu digali, didalami dan direnungkan. Pemahaman firman TUHAN sangat penting karena firman TUHAN adalah kunci kehidupan (Baca Roma 10:1-3). Jadi untuk memperoleh kehidupan yang berkelimpahan di dalam TUHAN kita harus menempuh Jalan dengan iman dan mendalami Kebenaran dengan hikmat.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari dapat dipandang dari sudut kebenaran firman TUHAN. Roh TUHAN melayang-layang di atas permukaan air  menunjukkan bahwa Roh TUHAN selalu siap untuk menolong manusia yang bersedia berseru kepada nama TUHAN (Roma 10:13). Karena TUHANlah yang memulai kehidupan manusia, sehingga manusia tidak mungkin bisa menjalani hidup yang berkelimpahan terpisah dari Sang Pencipta. Interelasi manusia dan TUHAN merupakan kunci kehidupan. Iman memampukan kita untuk tetap yakin bahwa TUHAN mengasihi kita di dalam kondisi apa pun. Kondisi terberat di dalam kehidupan sekalipun tidak memisahkan kita dari kasih-Nya. Pengharapan memampukan kita untuk bertahan hingga akhir mengingat destinasi yang mulia dalam hidup ini – Kehidupan Sorgawi. Dan kasih mengisi kehidupan yang gelap gulita, kosong dan tidak berarti ini dengan terang dan kehangatan.

Roh Allah yang juga dikenal dengan Roh Kebenaran dan Roh Hikmat ini senantiasa secara proaktif memulihkan kondisi yang rusak (eerie chaos) menjadi kondisi yang penuh damai yang nantinya berpuncak pada Kota Damai seperti yang digambarkan di dalam kitab Wahyu. Gereja Tuhan dipanggil untuk menjadi agen pembaruan yang berperan sebagai “Repairers of the broken walls” and the “Restorers of streets with dwellings” (Yes 48:12).

Referensi
Bonhoeffer, Dietrich. 2004. Creation and Fall: A Theological Exposition of Genesis 1-3. Fortress Press: Minneapolis.
Waltke, Bruce K. 2007. An Old Testament Theology: an exegetical, canonical and thematic approach. Grand Rapids; Michigan: Zondervan.
Wenham, Gordon J. 1987. Genesis 1-15. In Word Biblical Commentary Vol. 1. Waco, Texas: Word Books.
Wolters, Albert M. 2010. Pemulihaan Ciptaan. Surabaya: Momentum.

Batam, 1 Juli 2014

[1] Kata melayang-layang (rahap) berarti gemetar/goyah (Yer 23:9) yang juga bisa berarti bergerak dengan tenang.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12