Wednesday 2 July 2014

DOA SIAPA YANG DIBENARKAN?

Tadkala manusia merasa dirinya benar atau bahkan paling benar. Dan tidak jarang ketika seseorang merasa dirinya paling benar dia akan cenderung merendahkan semua orang. Dia akan memandang segala sesuatu yang dilakukan orang lain itu tidak baik. Segala sesuatu yang dilakukan orang lain itu salah. Seorang yang merasa dirinya paling benar akan selalu mengomentari sikap dan perbuatan orang lain, menjelekkan orang lain seolah-olah dirinya sendiri paling berpengetahuan, paling berhikmat, paling pintar dan lain sebagainya. Khusus orang-orang yang berkaliber seperti ini atau orang yang paling hebat ini, Yesus memberikan sebuah cerita yang dicatat oleh dokter Lukas.

Ada dua orang datang menghadap TUHAN. Yang seorang adalah Farisi, seorang pemimpin spiritual yang menaati hukum Taurat. Seorang yang hidup kudus dan memelihara kekayaan tradisi dan ajaran Musa. Seorang yang saleh dan sangat dihormati oleh masyarakat. Dia adalah seorang yang menggali dan mendalami firman TUHAN, seorang yang taat kepada firman TUHAN. Seorang yang mempraktekkan hidup kudus. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang pemungut cukai. Seorang petugas pajak, seorang pajabat pemerintah yang korup. Seorang yang sering menindas yang lemah, mendenda orang lain demi meraup keuntungan pribadi. Singkat kata, yang satu adalah seorang yang mulia, teladan bagi masyarakat sedangkan yang satu lagi adalah sampah masyarakat atau virus masyarakat.

Sejujurnya kita pasti memilih orang Farisi yang saleh daripada si pemungut cukai. Namun cerita yang disampaikan oleh Yesus selalu berakhir dengan sebuah kejutan atau dalam bahasa perfilman cerita Yesus memiliki ending dengan twist yang mengejutkan. Sebab “ending” cerita Yesus berada di luar logika, pemahaman dan bahkan norma sosial masyarakat. Sekarang pertanyaan kita adalah apa yang membedakan dua orang tersebut? Kenapa doa pemungut cukai diterima sedangkan doa orang Farisi hanya bagaikan uap saja?

Yang dilakukan orang Farisi adalah “pembenaran diri”. Dia seolah-olah sedang memuji TUHAN tetapi sebenarnya dia sedang memuji dirinya sendiri. Ia berdoa, “Aku mengucap syukur pada-Mu ya TUHAN, aku rajin berdoa, rajin membaca firman, banyak menghafal ayat-ayat Alkitab, rajin berpuasa, banyak memberi persembahan, hebat berkhotbah, pintar menulis, jago mengajar, memiliki gelar Ph.D, TIDAK SEPERTI PEMUNGUT CUKAI INI, saya sangat berhikmat, serba tahu, serba bisa, tidak berzinah, tidak merokok, tidak melakukan kejahatan, tidak mengintip ke dalam rok mini perempuan dan jujur mengelola uang”. Sebenarnya, memuji TUHAN dan memuji diri sendiri kerapkali hanya berbeda tipis. Orang Farisi ini merasa baik pada dirinya sendiri, ia merasa sudah melakukan banyak, sudah melayani dengan baik, sudah hidup benar. Dia menaruh percaya pada keselamatan atas hasil perbuatan baiknya. Tidak hanya itu, dia memandang rendah pemungut cukai, menurut dia, dirinya jauh lebih baik daripada pemungut cukai. Bukankah kita juga sering menganggap diri kita sendiri lebih baik dari orang lain?

Sebaliknya, pemungut cukai tidak merasa dirinya lebih baik dari orang Farisi. Ia merasa sudah tidak memiliki pengharapan. Dia merasa sebagai seorang yang sangat berdosa, ia tidak berani menengadah ke atas, ia memukul dirinya sendiri. Ia berdoa, “ya TUHAN, aku telah menindas, mengeksploitasi, mencuri, menipu, mencurangi, merampas, serba tidak mampu, serba tidak bisa, serba tidak tahu, memiliki motivasi jahat, tidak berhikmat, bodoh, berpikiran kotor, YA TUHAN, KASIHANILAH AKU ORANG BERDOSA INI”. Dia hanya mengharapkan belas kasihan TUHAN. Dia tidak berani menuntut apa-apa dari TUHAN, dia merasa tidak layak, tidak pantas, tidak berkompetensi. Dia hanya berharap, kiranya TUHAN berbelas kasihan pada dirinya.

Yesus menegaskan, pemungut cukai pulang ke rumah sebagai orang yang dibenarkan Allah. Kisah yang diceritakan Yesus ini menegur setiap kita. Kita diundang untuk mengevaluasi diri, apakah kita dimotivasi oleh pembenaran diri, mencari pengakuan dan gila hormat. Apakah setiap kali kita memuji TUHAN sebenarnya kita sedang memuji kehebatan dan pencapaian diri? Apakah setiap kali ketika kita memuliakan TUHAN sebenarnya kita sedang memuliakan keharuman reputasi diri? Setiap kali ketika kita mengomentari, menjelekkan dan meremehkan orang lain, apakah kita sedang membuktikan kompetensi, pengetahuan, kecerdasan dan kehebatan diri? Apakah kehidupan rohani kita dijadikan sebagai panggung pertunjukkan? Kita diingatkan Yesus untuk tidak mengagungkan diri, tidak membenarkan diri dan tidak meremehkan orang lain. Kiranya TUHAN menolong kita!

 Batam, 2 Juli 2014










Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12