Wednesday 12 September 2012

DANIEL 5 - RAJA YANG TIDAK BELAJAR


Siapakah Belsyazar? Belsyazzar adalah anak Nabonidus. Ibu Nabonidus, Adadguppi adalah putri Nebukadnezzar. Nabonidus menyerahkan pemerintahan kepada Belsyazzar pada saat ia berangkat ke Mesir untuk mengkonsolidasi kekuasaan kerajaan Babel yang sudah mulai merosot setelah Nebukadnezzar. Belsyazar adalah seorang yang tidak belajar, ia tidak belajar dari sejarah. Padahal ia pasti mengetahui peristiwa-peristiwa besar yang dialami oleh Nebukadnezzar. Akan tetapi arogansi yang tinggi telah menutupi pandangan hatinya sehingga ia lupa diri. Ia bahkan lupa bahwa kebesaran Babel bukanlah hasil kerjanya melainkan ia hanya mewarisinya.

Pada suatu malam, Belsyazzar berpesta pora. Dia memerintah bawahannya untuk mengambil perkakas emas dan perak yang ayahnya rampas dari Yerusalem. Mereka mabuk-mabukkan menggunakan perkakas dari Bait Allah. Tindakannya mengirimkan pesan bahwa dia adalah raja yang hebat yang telah menjatuhkan TUHAN, dan bahkan TUHAN tidak dapat bertahan menghadapi dia. Terlihat tidak ada toleransi beragama melainkan yang tampak adalah suatu penghinaan terhadap iman kepercayaan yang lain. Pada saat mereka sedang mabuk-mabukkan dan memuji-muji dewa dari emas dan perak, tampaklah jari-jari tangan manusia yang menulis di dinding istana. Raja menjadi pucat dan sangat ketakutan. Kemudian dipanggilah Daniel untuk membaca dan mengartikan tulisan di dinding. Raja menawarkan hadiah dan posisi sebagai orang ketiga dalam kerajaannya, namun Daniel menolak akan tetapi raja tetap memberikannya kepada Daniel.  Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah mengapa sebagai “orang nomor tiga” dan bukan sebagai “orang nomor dua”? Hal ini menjelaskan bahwa Belsyazzar bukan raja sebenarnya, tetapi ia sedang menggantikan ayahnya Nabonidus untuk sementara. Daniel menegaskan bahwa Belsyazzar tidak menghormati TUHAN yang Mahatinggi sehingga TUHAN menulis mene, mene, tekel, ufarsin yang artinya adalah masa pemerintahan raja sudah dihitung oleh Allah dan telah diakhiri. Dan pada malam itu juga ia mati dibunuh.

Apa yang menjadikan seseorang arogan? Apakah keberhasilan keberhasilan, pencapaian dan kuasa? Menurut saya “hasrat untuk pamer” merupakan dorongan utama arogansi. Apa gunanya apabila kehebatan saya tidak diketahui orang? Hasrat atau dalam bahasa Augustine “concupiscence”. Mungkin Augustine lebih menekannya dari sisi hasrat birahi “lust” atau dalam bahasa Freud “dorongan genital”.  Namun thesis Augustine menekankan hasrat manusia yang korup tetapi ia juga menyadari bahwa “hasrat” juga ada sisi positifnya seperti hasrat untuk memperoleh hikmat. (Pannenberg, Anthropology in Theological Perspective, 91).

Hasrat untuk menjadi superior dan hasrat supremasi sebenarnya berakar pada rasa takut dan rasa tidak aman. Hasrat seperti ini dapat disebut sebagai “kanker spiritual” (C. S. Lewis).  Meninggikan diri dan merendahkan yang lain menganggap yang lain tidak layak, tidak pantas, tidak se-level. Sikap seperti ini merupakan sikap “anti Tuhan” dan “anti orang lain”. David K. Naugle menulis, “If we are too big, then others must be small. If others are made small, then we can be big”

It was pride that changed angels into devils;
 it is humility that makes men into angels (St. Augustine)

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12