Sunday 2 September 2012

HATI YANG SUCI


Ketika saya hendak membawa pulang anak saya yang baru lahir di rumah sakit, seperti bayi umumnya, matanya tertutup dan kelihatan sedang tidur. Menariknya, saya memanggilnya, “Mengyu, ayo kita pulang.” Dan ia memberi respon, “mmm, mmm, sambil menggerakan kepalanya”. Kakak saya yang berdiri di sisi saya merasa heran dan berkata, “dia berespon, lucu sekali”. Kemudian saya menggendong Mengyu dan membawanya pulang dari Rumah Sakit. Saya paling suka melihat anak yang berumur di bawah 1 tahun. Saya senang melihat kepolosan “purity” di dalam diri anak-anak bayi, hati mereka tidak merancang kejahatan. Mereka memiliki hati yang tulus dan polos. Yesus berkata, barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga” (Mat 18.4). Bagi saya, hati yang suci adalah hati yang tidak dinodai atau dikotori oleh motivasi-motivasi jahat. Hati yang suci adalah yang tulus dan tidak merancang kejahatan. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tidak menghakimi sesama. Tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak menggosipi sesama.

Hati yang suci atau hati yang tidak dikotori berarti hati yang tidak menampung “sampah” yang kemudian bakal mengalami pembusukkan yang menghasilkan “bakteri” dan kemudian “virus” yang pasti akan menyakiti tuannya “host”. Mengapa hati mesti dijaga agar tetap suci “pure”? Sebab TUHAN menyelidiki segala hati (1 Taw 28.9). Maka hati mesti “disunat” (Ul 10.16), bagian yang bisa menjadi sarang bakteri perlu dibuang.

Di dalam buku The Screwtape Letters, C. S. Lewis dengan kreatif mengimajinasikan surat paman iblis kepada keponakannya. Paman iblis menyarankan kepada keponakannya agar menanam “pikiran” pada orang yang hadir di dalam sebuah kebaktian untuk menghakimi seperti, “suara nyanyian jemaat A  “out of tune”, gaya doanya yang aneh, sok kusuk, pura-pura rohani, tidur di tengah khotbah, pendetanya kolot”. Memborbardir (menginsepsi) dengan pikiran yang bersifat menghakimi “judgemental”.

Hati yang suci tidak sok benar, tidak sok tahu dan mencari-cari kesalahan orang lain dengan kaca pembesar dan mencari-cari topik gossip dengan teropong. Hati-hati apabila Anda merasa puas dengan menjelek-jelekan orang lain dan bergembira luar biasa ketika menemukan kesalahan orang lain bagaikan menemukan “harta karun”. Waspadalah apabila Anda bersorak-sorai melihat kejatuhan seseorang. Salomo mengingatkan, Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok” (Amsal 24.17). Pada masa pelarian karena dikejar-kejar Saul, Daud mempunyai alasan yang valid dan kesempatan untuk membunuh Saul. Daud mengetahui bahwa Saul sudah ditolak TUHAN, Saul ingin mencabut nyawanya, keberadaan Saul bagaikan duri di dalam daging Daud tetapi Daud berprinsip “Saul adalah raja yang diurapi TUHAN, dia tidak berhak menghakmi maupun mengambil nyawanya”. Bukankah ini merupakan ekspresi hati yang suci?

Orang yang memiliki hati yang suci juga memiliki kasih yang murni. Kasih yang murni telah dikorup oleh berbagai motivasi yang egoistik. “Saya mencintai dia karena ia mencintai saya”. Saya memilih dia karena dia mampu memenuhi kebutuhan saya”. “Saya jatuh cinta padanya karena dia menarik”. Salah satu fitur budaya kontemporer adalah “selera untuk membeli”. “Berbelanja” mendatangkan sukacita pada konsumen dan ironisnya mencari pasangan hidup juga menjadi sebuah kegiatan “shopping”. Kasih yang murni tidak menuntut tetapi kasih yang murni berprinsip “I love you because I choose to love you”. Kasih yang murni menemukan sukacita dalam mengasihi.

Allah tidak kelihatan karena dikelabui oleh hati yang kompleks, licik, arogan, penuh amarah, dendam, luka, ketamakan dan keegoisan. Hati yang suci memampukan seseorang untuk melihat karya-karya Allah. Hati yang suci dapat melihat keindahan di dalam diri orang lain.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12