Wednesday 23 January 2013

THE INTOUCHABLES (2011)






Intouchables atau “untouchables” (tidak tersentuh) mendepiksi bahwa sebenarnya ada banyak jiwa-jiwa yang tidak tersentuh di dalam dunia ini. Menurut saya, perubahan diri pada seseorang hanya mungkin terjadi apabila jiwanya tersentuh. Kita tidak akan mampu menolong seseorang tanpa menyentuh jiwa orang itu dan memang benar bahwa “menyentuh jiwa” merupakan bagian yang tersulit sehingga orang-orang cenderung memilih mengerjakan pekerjaan “permukaan” atau sebut saja dengan istilah “surface-ministry” (pelayanan permukaan).

Dalam Film Perancis yang berjudul “The Intouchables” (2011) mengisahkan persahabatan seorang kaya bernama Phillipe yang cacat (menderita paraplegic) atau mengalami lumpuh tubuh bagian bawah dengan Driss seorang mantan narapidana. Phillipe mendambakan seorang pengasuh yang dapat dijadikan sebagai sahabat. Sebagai orang kaya yang cacat, yang sering ia dapati adalah “dikasihani”. Phillippe ingin dikasihi bukan dikasihani. Sebagai orang kaya, sulit bagi dirinya untuk memperoleh seorang sahabat yang tulus sebab umumnya orang-orang hanya ingin memperoleh keuntungan dari dirinya. Orang-orang seperti Phillippe akan merasa kesepian dan sedih oleh karena mereka harus menutup sebelah mata terhadap orang-orang yang memanipulasi mereka.

Driss seorang dari latar belakang keluarga yang tidak bahagia, ditinggalkan orangtua sendiri dan dibesarkan oleh orang lain yang kemudian mengandung berkali-kali oleh pria yang beda-beda sehingga Driss mempunyai banyak adik tanpa mengetahui siapa identitas ayah mereka. Driss pernah merampok toko perhiasan dan dipenjara selama 6 bulan. Akibat pernah dipenjara, Driss diusir oleh tante yang membesarkan dirinya. Dris merasa dirinya tidak memiliki ijazah dan tidak kompeten untuk menjalani hidup yang baik. Tujuan dia mengikuti wawacara bukan untuk memperoleh pekerjaan tetapi hanya demi mengumpulkan tandatangan agar bisa mendapatkan tunjangan sosial. Ia menyadari bahwa dirinya tidak akan dihargai di dunia yang menjunjung tinggi “kemampuan”.  Dengan kata lain, Driss juga termasuk “jiwa yang tidak tersentuh” yang ditolak dan tidak dihargai.

Jiwa yang tidak tersentuh bagaikan penderita kusta, wanita penghibur (baca pelacur), pemungut cukai atau “para pendosa” dalam Alkitab. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (pemimpin-pemimpin agama) berusaha untuk menarik diri dari orang-orang ini karena mereka dianggap “pendosa” dan “sampah”. Para pemimpin agama tidak ingin terlibat di dalam kehidupan orang-orang ini karena tidak ingin menodai hidup mereka padahal hidup mereka bagaikan kuburan yang luarnya tampak bersih dan rapi sedangkan di dalamnya “sangat jorok” dan “mengerikan”. Inilah kritikan Yesus terhadap orang-orang yang menampilkan hidupnya kelihatan bersih di luar tetapi hati mereka sangat menjijikan…
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran (Matius 23.27)

Yesus tidak pernah menolak para pendosa tetapi Yesus menolak orang-orang yang menganggap dirinya baik, kudus, layak, merendahkan dan menghakimi yang lain. Yesus selalu terbuka untuk orang-orang yang berdosa dan Yesus bahkan duduk dan makan bersama dengan orang-orang ini (involvement). Yang menyedihkan adalah manusia cenderung memojokkan orang-orang yang dianggap pendosa (padahal mereka juga tidak suci), mempermalukan, menolak, merendahkan dan menghakimi orang-orang berdosa. Sikap dan perlakukan seperti ini bagaikan menambahkan beban yang sangat berat pada pundak orang-orang yang menderita.  

Para sahabat atau kenalan Phillipe menasihati dirinya untuk tidak mempekerjakan Driss mengingat latar belakang Driss yang pernah dipenjara, kasar dan berbahaya. Tetapi Phillippe tidak melihat apa yang dilihat oleh orang-orang secara umum. Phillippe membaca ketulusan hati Driss dari wawancara pertama dan ia memberikan kesempatan bagi Driss untuk mencoba menjaga dirinya. Percayakah Saudara bahwa jiwa yang tersentuh akan berubah? Bagi saya orang-orang yang tak tersentuh adalah orang-orang yang dianggap paling hina, yang dibiarkan tetap terluka. Saya jadi teringat perkataan Yesus, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. (Matius 25.40). Yesus tidak hanya “melibatkan Diri” dalam diri orang-orang yang paling hina tetapi Ia juga menyamakan Diri dengan mereka.

Film ini mendemonstrasikan kelemahan manusia dan realita kehidupan. Manusia membutuhkan kesempatan, dorongan dan persahabatan untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukannya. Di dunia ini, ada banyak orang-orang mengalami pengalaman-pengalaman tragis dalam hidup mereka. Orang-orang yang lemah, tidak dihargai, gagal, tidak kompeten, tidak bernilai dan menyimpulkan hidup ini dengan kata, “pahit, tidak berarti dan gagal”. Richard Rohr menyebutnya dengan istilah “necessary fall” atau “necessary suffering”. Ia menerangkan bahwa proses kejatuhan ini merupakan proses kematian diri yang palsu dan kebangkitan hidup sejati (Rohr, Falling Upward, 2011). Paulus mengatakan, “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor 12.10).



Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12