Tuesday 10 January 2012

Merangkul Kematian

Kematian merupakan hal yang paling menakutkan dalam peradaban primitif. Sebagai respon terhadap rasa takut pada kematian manusia menciptakan berbagai takhyul. Takhyul menjadi solusi primitif untuk hal-hal yang berada di luar pemahaman manusia. Sekularisasi dan modernisasi mungkin telah meniadakan atau meminimalisir jumlah takyul akan tetapi manusia tetap saja rapuh apabila membicarakan soal kematian. Melalui kecanggihkan teknologi dan medis manusia berusaha memperpanjang hidupnya namun tetap saja manusia harus berurusan dengan kematian. Manusia adalah satu-satunya mahkluk hidup yang mengetahui bahwa kelak pada suatu saat mereka akan mati. Kematian menjadi terminasi bagi kehidupan manusia. Dengan berbagai upaya manusia terus berusaha untuk memperlambat ataupun menunda kematian akan tetapi manusia tetap saja kalah terhadap kuasa maut. Kematian menjati titik akhir bagi berbagai prestasi, perjuangan dan kemampuan. Maut mengalahkan manusia, maut menghentikan kehidupan manusia tetapi Yesus mengalahkan maut. “Kristus sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi, maut tidak berkuasa lagi atas Dia” (Roma 6:9).

Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan cahaya untuk memandang kematian. Kematian bukan lagi momok yang menakutkan maupun sebagai titik akhir kehidupan. Melalui kebangkitan Kristus kita dapat memandang kematian dari sudut pandang kehidupan. Kematian bukanlah akhir hidup manusia tetapi sebagai sebuah transisi menuju kehidupan. Ketidakpahaman akan kehidupanlah yang membuat manusia takut kepada kematian. Saya jadi teringat Resident Evil salah satu film sekuel kesukaan saya. Saya menyukai ide Paul Anderson yang memaparkan kondisi manusia yang sudah mati namun tetap bergerak (zombie). Mereka sudah dalam kondisi tidak sadar, tujuan hidup mereka adalah untuk memangsa manusia. Visi hidup mereka adalah untuk memangsa dan mengkonsumsi.  Bukankah ini mirip dengan realita kehidupan manusia? Kematian Spiritual adalah ketidaksadaran yakni tubuh teta[ bergerak dan menjadi dewasa tetapi spiritualitas berada dalam kondisi stagnant dan tidak berkehidupan. Yang tampak di pusat perekonomian dan di dalam gedung-gedung pencakar langit adalah kepalsuan dan kalkulasi ekonomi. Di  rumah sakit, di tempat pemakaman, kita menyaksikan kepedihan, kekuatiran, rasa takut, kegelisahan dan ratap tangis. Kehidupan terlihat di dalam berbagai tragedi. Hanya ketika manusia berani menghadapi realita kematian, manusia baru bisa mengapresiasi kehidupan.

Semua orang yang dipimpin oleh Roh Allah adalah anak Allah (Roma 8.4). Sebagai anak-anak Allah hidup kita tidak dibatasi oleh kematian. Kristus merangkul kematian yang menyedihkan, Ia dihina, ditertawai, diludahi, dicambuk dan disalib. Dari atas kayu salib Yesus berteriak, “Eloi, Eloi, lama sabachthani?” Peristiwa tersebut menunjukkan realita kehidupan manusia dan Yesus menaklukkannya. Kebangkitan Yesus merupakan kemenangan umat manusia atas maut. Kristus lahir sebagai Anak dan mati sebagai Anak, hal tersebut mengingatkan identitas kita sebagai anak-anak Allah. Kita tidak perlu menunggu hingga kematian kita dan kebangkitan tubuh kita. Kehidupan yang sebenarnya terjadi pada saat ini jika kita hidup setiap saat dengan penuh. Jika kita dapat mengatakan, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2 Tim 4.7).

Menolak kematian tidak akan membawa kita kemana-mana. Kematian adalah sebuah realita yang harus kita hadapi. Misteri kehidupan telah dinyatakan oleh Yesus Kristus dengan memandang kematian sebagai pintu gerbang menuju kehidupan yang sempurna maka kematian tidak lagi menakutkan maupun menyedihkan. Mortalitas kita tidak menghentikan kehidupan kita. Kematian bukanlah akhir (end) tetapi justru merupakan sebuah transisi menuju kehidupan yang abadi. Setelah menyadari realita kematian, kita semestinya mulai mengapresiasi kehidupan kita di saat ini sebagai anak Allah. Kesadaran tersebut memampukan kita untuk melepaskan kepalsuan diri. Dengan mendefinisi ulang arti kematian, kematian adalah kembali kepada Bapa di Sorga sehingga hidup dengan benar menjadi bagian yang sangat penting.
                

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12