Sunday 18 December 2011

DIAM

Peradaban manusia mendorong manusia menjadi masyarakat teknokratik yakni sebagai masyarakat yang berpijak pada perkembangan teknologi. Memang benar, kehidupan kita sudah sangat bergantung pada teknologi.  Kita menjadi lumpuh tanpa teknologi. Teknologi melayani ekonomi. Ekonomi bertujuan untuk mencapai kesenangan (pleasure). Seakan-akan inilah tujuan kita hidup. Maka hidup pun bagaikan sebuah pertandingan untuk mengejar-ngejar kepuasan sementara dan penuh khayalan.

Jika hidup adalah sebuah kompetisi maka bergerak cepat itu penting. Kita dipicu untuk bergerak cepat sehingga pepatah mengatakan early bird catches the worm (siapa cepat siapa dapat). Belajar pun menjadi sebuah pertandingan. Di dalam pembelajaran, manusia modern cenderung menyentuh permukaan dan tidak mendalami. Semua harus cepat, kita perlu restoran cepat saji, mie cepat saji, naik kereta cepat, berbicara dengan cepat, membaca dengan cepat. Maka muncullah berbagai pelayanan cepat seperti speedboat, bullet train, speedy internet, fast food yang siap dalam 1 menit dan seterusnya.

Karena pergerakan yang cepat, kehidupan mulai kehilangan arti. Makna kehidupan telah digantikan oleh stress, depresi dan kelelahan. Pada saat kita mendapatkan banyak, kita juga kehilangan banyak. Kita kehilangan kesempatan untuk menikmati alam, kehilangan waktu yang berharga, kehilangan hubungan kasih sayang. Kita tidak pernah benar-benar berada di satu tempat. Karena pikiran kita mengharuskan kita untuk bergerak cepat. Kita terus berada di dalam waktu berikutnya. Yakni hidup kita mengharuskan kita untuk berada di episode berikutnya (next episode). Anak-anak selalu bingung karena kita tidak pernah hadir. Kita tidak hadir secara fisik dan tidak hadir di dalam jiwa. Ketika bekerja kita tidak hadir secara fisik. Ketika berada di rumah, pikiran kita masih sibuk memikirkan pekerjaan kita. Kita hanya berada di rumah secara fisik tetapi jiwa kita tidak.

‘Sibuk’ merupakan identitas hidup di zaman ini. Karena tidak sibuk sama dengan malas. Tidak sibuk sama dengan tidak berharga, tidak bernilai dan tidak berguna, tidak sibuk sama dengan tidak efektif. Sehingga Kosuke Koyama membahas “effective world – ineffective God”. Manusia harus menjadi sibuk atau paling tidak mengaku sibuk. Diam (be still) diartikan sebagai tidak mengerjakan apa-apa. (be still is not the same with doing nothing). Secara rohani, be still merupakan damai di dalam jiwa, ketenangan pikiran. Stillness (diam) bukanlah tidak mengerjakan apa-apa. Stillness bukanlah melamun atau berkhayal. Justru melamun dan berkhayal merupakan kebalikan dari stillness.

Kita perlu menghargai setiap momen kehidupan. Pada saat kita menantikan sesuatu, bermain dengan anak kecil, berbicara dengan seseorang, memungut sampah. Kita mesti menemukan makna di dalam segala sesuatu yang kita kerjakan seperti memasak, mencuci mobil, menerima telepon dan sebagainya. Jangan sampai ketika kita memacu diri untuk mengejar tujuan di depan dan melupakan berbagai peristiwa penting dan bermakna di dalam hidup ini.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12