Saturday, 14 January 2012

Pola Yesus yang Modern dan Kontekstual

Yesus memilih melakukan perjalanan yang ekstrim yakni melalui wilayah Samaria. Orang-orang Yahudi biasanya akan menghindari jalan tersebut sebab orang Samaria dianggap sebagai pengkhianat, sebagai masyarakat kelas 2 - masyarakat rendahan. Tetapi Yesus memilih ke Samaria untuk bertemu dengan seorang perempuan Samaria. Yesus meminta 12 murid-Nya untuk belanja makanan, namun, bukankah mengirim 12 orang untuk berbelanja agak boros dan tidak efektif menurut sistem manajemen modern? Manusia modern akan menasihati Yesus untuk minimal meninggalkan seorang murid menemani dirinya. Pertemuan Yesus dengan perempuan Samaria bisa mengundang pembicaraan ataupun gosip dengan kata lain Yesus sedang mempertaruhkan reputasinya Sendiri.

Dari percakapan Yesus dengan perempuan Samaria, kita bisa menyaksikan pola penginjilan Yesus yang sangat up to date dan modern bahkan di zaman ini. Pola dan style Yesus juga menunjukkan dirinya yang sangat kontekstual. Yesus tidak secara langsung membicarakan keselamatan melainkan Yesus mulai dengan meminta air.  Yesus telah melanggar norma sosial di zamannya dengan berbicara kepada seorang perempuan dan tidak hanya seorang perempuan tetapi seorang "perempuan Samaria". Seorang rabi tidak berbicara kepada seorang perempuan apalagi perempuan tersebut adalah orang Samaria sebab orang Yahudi tidak berbicara dengan orang Samaria. Perbuatan Yesus membuat dirinya tampak aneh dan bahkan bisa dianggap sebagai seorang aneh. Setelah membicarakan soal minuman Yesus memperkenalkan air hidup. Perempuan tersebut memahami “air hidup” dengan tafsiran pribadi. Dia menganggap air tersebut adalah air ajaib “mystical” sehingga ia tidak perlu datang ke sumur ini lagi. Perempuan tersebut berpegang kuat pada adat istiadat nenek moyang “sumur Yakub”. Setelah mengalihkan perhatian perempuan tersebut dari kebutuhan materi “air” kepada kebutuhan spiritual “air hidup” Yesus membongkar pegangan perempuan tersebut pada adat istiadat nenek moyang.

Ternyata Yesus tidak berhenti di situ, Yesus melanjutkan pembicaraannya dengan membongkar hati perempuan Samaria yakni mengenai “suami”. Sudah jelas bahwa perempuan tersebut memiliki pernikahan yang menyedihkan - “lima suami tetapi suami yang sekarang juga bukan suaminya”. Selama ini dia mengkhayalkan hidup yang bahagia melalui suami yang baik. Dia telah mempertaruhkan kebahagiaan pada pria yang ia percayai. Tetapi ia telah salah, Yesus sedang mengajarkan dia bahwa kebahagiaan bukanlah ilusi tetapi sebuah realita. Yesus menolong wanita tersebut untuk menghadapi realita dengan menilik ke dalam rahasia hidupnya atau melihat ke dalam pikiran bawah sadarnya “subconscious”. Umumnya, di dalam penginjilan kita berhenti di kabar baik tetapi kita tidak memperhatikan bagian yang  di  dalam  “subconscious”. Kita tidak bersedia membereskan masalah seseorang sebab kita malas untuk membongkar sampah yang sudah membusuk di dalam hati seseorang. Kita tidak rela mengotori tangan kita sendiri sehingga kita cukup berhenti di “nich, Injil kebenaran, terimalah dan semua beres”.

Setelah membereskan masalah “subconscious” atau masalah moralitas seseseorang - “suami”, Yesus membicarakan soal agama “gunung ini atau gunung itu". Yesus memperbaiki konsep agama yang salah yang dimiliki oleh perempuan Samaria tersebut. Kekristenan selalu menjadi problematik karena selalu berhenti di level ini “agama”. Agama selalu menciptakan bentrokan “clash”. Agama menciptakan radikalisme, kebencian dan pembenaran diri. Agama melahirkan terror. Agama juga bisa menjadi alat membunuh yang mematikan (leathal weapon). Agama menciptakan pemisahan “gunung ini atau gunung itu”.  Yesus menerobos tembok agama dengan iman “Roh dan Kebenaran”. Tanpa “Roh dan Kebenaran” agama menjadi sebatas ritualisme. “Roh dan Kebenaran” membebaskan dan membangun.

Masalah dari para penganut fundamentalisme ataupun radikalisme adalah mereka suka bersembunyi di balik slogan “tradisi, adat istiadat nenek moyang, moralitas dan religi”. Pengkajian Alkitab sudah dibangun atas dasar sebuah praduga “presumption” yang sempit dan tertutup sehingga sulit untuk bersikap terbuka dan mendengarkan suara Roh Kudus sambil menggali kebenaran yang Alkitabiah. Jika Yesus ada di antara kita di zaman kini, Yesus akan dikucilkan dan diekskomunikasi karena polanya yang terlalu modern dan liberal. Nah, persoalan kita sekarang adalah kita terjebak oleh terminologi kata “liberal” atau “modern” dengan sebuah asumsi bahwa liberal pasti tidak Alkitabiah. Yang sebenarnya saya ajukan di sini adalah bukan menjadi liberal tetapi dengan sikap yang terbuka kita mendengarkan Roh Kudus dan menggali kebenaran. Masalahnya kita akan dilabel liberal karena pengkajian firman TUHAN yang Alkitabiah jika hasil kajian kita tidak sesuai atau melanggar tradisi dan adat istiadat nenek moyang. Bukankah Yesus menghadapi problem yang sama yakni karena pengajaran Dia yang esensial dan benar, Dia malah dianggap gila, dan dianggap liberal? Tantangan kita adalah apakah kita memilih untuk menggali dan mempelajari kebenaran dengan sikap terbuka atau kita nyaman dan memperoleh keyakinan melalui tradisi, adat nenek moyang, moralitas dan religi?

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12