Sebagai makhluk spiritual yang memiliki kehidupan di dalam TUHAN, kita hanya dapat menemukan makna hidup sejati jika kita mendalami spiritualitas. Mempelajari firman TUHAN dengan serius dan berdoa tidaklah cukup untuk mendalami kerohanian. Kita membutuhan seorang mentor serta membaca buku-buku rohani yang tepat untuk membangun kerangka di dalam mendalami kerohanian. Mentor saya memperkenalkan konsep “Doing, Having & Being” untuk memulai perjalanan spiritualitas. Saya diperkenalkan dengan buku Man for Himself oleh Eric Fromm. Pembacaan buku tersebut menolong saya untuk memahami konsep Having dan Being. Yang menarik bagi saya adalah Fromm membahas dari perspektif psikologis. Ia memaparkan bahwa manusia hidup untuk dirinya sendiri. Tujuan utama manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan sejati. Manusia menafsirkan untuk menjadi bahagia manusia mesti memiliki (having). Sehingga apa pun yang dilakukan manusia selalu dengan tujuan akhir untuk memiliki sebanyak-banyaknya. Masyarakat modern telah mengajarkan manusia untuk tidak merasakan kebahagiaan di dalamnya akan tetapi mengejar pencapaian pekerjaan, karier, keuangan dan kehormatan. Sehingga peradaban manusia sampai kepada titik konsumerisme yakni mengkonsumsi, menumpuk dan memiliki sebanyak-banyaknya sehingga lahirlah ideologi kapitalisme. Keinginan untuk memiliki bagaikan lubang tanpa dasar (bottomless pit) dan alam pun menjadi korban. Kuasa alam nantinya akan menelan manusia, padahal TUHAN sudah memerintahkan untuk merawat bumi ini dengan baik akan tetapi manusia telah merusaknya dengan parah.
Setelah menyelesaikan buku Man for Himself, saya menonton film Pixar yang berjudul UP (Disney). Kebetulan film tersebut mengenai ‘attachment’ atau keterikatan (having). Fredericksen dalam film tersebut merupakan orang yang mengalami kesedihan berat setelah istri kesayangannya meninggal. Dia menjadi sangat pemarah. Hidupnya diubah oleh Russell seorang anak sekolah yang sedang memperjuangan badge menolong orangtua. Fredericksen sadar ketika anak sekolah tersebut membuang kumpulan badgenya dan bergegas menyelamatkan Kevin – seekor burung. Akhirnya, Fredericksen pun membuang setiap benda-benda dari dalam rumahnya agar rumah tersebut dapat terbang kembali dengan balon-balon.
Jika being di dalam diri kita tidak hidup, kita hanya bagaikan mayat berjalan (zombie), yang makan untuk mempertahankan hidup. Being merupakan diri kita yang sebenarnya yang merupakan gambar dan rupa Allah. Paul Tillich mengatakan bahwa being merupakan realita baru yakni sebagai manusia baru yang telah ditebus oleh Kristus. Being adalah esensi diri, bersifat permanen, substansi yang tidak dapat diubah, tidak berbentuk, dinamis dan transenden.
Being akan hidup ketika diri kita yang palsu mati. Being akan hidup ketika kita tidak lagi meninggikan diri dan membuktikan diri. Being hidup ketika kita tidak lagi memuaskan ego kita. Being hidup ketika kita menyangkal diri dan tidak lagi hidup untuk orang lain dan tidak lagi hidup untuk ego. Melainkan hidup sepenuhnya demi Tuhan. Tidak mengkotak-kotakkan diri dan tidak memberikan label diri. Hidup di dalam Tuhan dan sadar akan keberadaan Tuhan di dalam diri kita. Bagi saya inilah permulaan perjalanan spiritualitas.