Secara
fisik mata imam Eli sudah kabur. Di zaman imam Eli, belum ada teknologi
kacamata, operasi katarak maupun operasi laser mata untuk mengobati
matanya. Sebenarnya penulis sedang memberikan pertanda “hint” bahwa hati
rohani imam Eli juga sudah kabur. Hana yang sedang berdoa dengan kusuk
dianggapnya Hana sedang mabuk. Walaupun sudah ditegur dan diingatkan
TUHAN tetap saja ia membiarkan kedua anaknya menindas dan
mengeksploitasi umat Israel. Di zaman itu, daging segar termasuk salah
satu barang mewah. Kedua anak imam Eli ini tidak menghormati persembahan
kepada TUHAN. Mereka melayani TUHAN dengan cara mereka sendiri.
Arogansi dan penindasan mereka sangat menjengkelkan. Mereka telah
menyalahgunakan posisi mereka sebagai imam.
Pernahkah Anda menonton film The Lord of the Rings? Kegelapan rohani meliputi bangsa Israel bagaikan yang digambarkan film kegelapan Mordor menguasai Middle Earth. Pemimpin rohani bangsa Israel menutupi matanya terhadap teguran TUHAN. Pemimpin dan umat sama-sama mengambil sikap acuh tak acuh terhadap kerohanian. Hati mereka diliiputi kegelapan sehingga setiap orang bertindak sesuka hati. Hati mereka menjadi gelap. Hati yang dipenuhi kegelapan menjadi licik, picik dan penuh siasat. Selalu ada pisau dibalik sebuah senyuman. Yang dipikirkan adalah bagaimana ia bisa menjatuhkan, mengalahkan atau menyingkirkan sambil memenangkan dukungan banyak orang.
Penulis tidak mengungkapkan mengapa Hana hendak menyerahkan putranya Samuel kepada TUHAN, apakah karena ia memiliki visi atau merindukan akan adanya perubahan kondisi kerohanian umat TUHAN? Tidak mudah untuk bisa memahami Hana yang meminta anak kemudian menyerahkan anak. Namun tindakannya menunjukkan bahwa dia rindu agar anaknya Samuel dapat menjadi seorang imam. Sebab setiap tahun ia akan menjahitkan jubah kecil (jubah efod dari kain lenan) untuk Samuel. Eli adalah anak dari Ithamar dengan kata lain Hopni dan Phinehas adalah keturunan Harun sedangkan Samuel bukan. Walupun Samuel adalah keturunan suku Lewi akan tetapi keluarganya tidak menyandang nama besar Harun, kakak Musa. Penulis menggambarkan beberapa pertentangan – Penina & Hana, arogansi & kepolosan, anak-anak imam Eli & Samuel, keimaman keturunan imam Eli & keimaman Samuel.
Penulis memperkenalkan imam Eli yang berbaring di tempat tidurnya. Pada saat itu, Samuel yang masih kecil berada di bawah pengasawan (bimbingan) imam Eli. Samuel belajar membaca firman TUHAN dan tugas-tugas keimaman dari imam Eli. Dengan kata lain, imam Eli adalah guru spiritual Samuel yang masih kecil. Kehidupan Samuel memberikan kesan bahwa dirinya sangat lonely. Ia menjaga kebersihan rumah TUHAN, mengangkat air, menyapu, membuka dan menutup pintu Rumah TUHAN dengan setia. Kemudian dia dipanggil TUHAN. Hidup Samuel sangat istimewa oleh karena ibunya Hana sangat istimewa. Panggilan Samuel juga sangat istimewa, satu-satunya di Alkitab. Banyak orang percaya yang merindukan panggilan seperti Samuel.
Mungkin kita mengharapkan TUHAN menyatakan panggilan-Nya dengan cara mengirim email (atau via Facebook) seperti ini “Hi Alsendo anak-Ku yang Kukasihi. Aku memanggil engkau untuk menjadi hamba-Ku. Shalom dari TUHAN”. Namun apabila suatu hari TUHAN benar-benar men-drop sepucuk surat ke dalam kotak pos di rumahmu, saya yakin Anda tidak akan mempercayainya. Anda pasti akan berpikir bahwa itu hanya sebuah perbuatan jahil. Memang benar bahwa rata-rata orang Kristen yang rindu mengikuti TUHAN akan menggumuli soal panggilan dan kehendak Allah. Biasanya dibalik pertanyaan ini, manusia menuntut “kejelasan” dan “kepastian”. Alasannya sederhana “tidak mau susah”. Karena orang-orang mengidamkan “jaminan keberhasilan dari TUHAN” atau paling tidak kenyamanan dan rasa aman pribadi terproteksi.
Panggilan TUHAN terhadap Samuel dan Natanael tidak disertai dengan penjelasan. TUHAN memang mengungkapkan rencana-Nya yang Ia hendak lakukan terhadap keluarga imam Eli namun TUHAN tidak memberitahu “jabatan” yang akan disandang oleh Samuel. Justru umat Israel yang kemudian mengetahui bahwa Samuel adalah nabi (1 Sam 3.20). TUHAN memberitahu Natanael bahwa ia akan menyaksikan perkara-perkara yang lebih besar tanpa menceritakan apa yang harus Natanael kerjakan, ia harus kuliah di mana, ambil jurusan apa dan menekuni karier apa. Tidak ada penjabaran yang detil dari TUHAN, sepertinya serba tidak jelas. Panggilan-Nya hanya sederhana yakni “Ikutlah Aku!” Perintah “Ikutlah Aku” terdapat kandungan rohani yang sangat mendalam. Justru oleh karena tidak mengetahui “arah” maka seseorang harus mengikuti atau membuntuti. Apabila sudah mengetahui “arah” maka seseorang tidak perlu mengikuti lagi sebab ia dapat “berjalan sendiri”. Apabila TUHAN memaparkan rancangan-Nya dengan visi yang detil kepada seseorang maka orang tersebut tidak lagi butuh mengikuti TUHAN sebab ia sudah tahu jelas apa yang harus ia kerjakan sehingga ia dapat bergerak sendiri.
Sudah jelas sekali bahwa manusia tidak sanggup menyelami rancangan TUHAN sehingga sangat penting bagi manusia untuk mengikuti TUHAN. Agar bisa “mengikuti” maka diperlukan “kesigapan”. Kita tidak dapat mengikuti apabila kendaraan kita mogok atau kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Kita tidak dapat mengikuti apabila kita melamun dan ketinggalan sehingga kita tidak lagi dapat melihat arah kendaraan orang yang sedang kita ikuti. Kerohanian Samuel digambarkan melalui kesigapan dirinya. Ia yang masih kecil (menurut Josephus Samuel berumur 12 tahun)[1] selalu siap melayani imam Eli bahkan di tengah malam. Empat kali ia dipanggil TUHAN dan tiga kali ia berespon cepat berlari (bukan berjalan gaya ngantuk) mendapati imam Eli. Apakah Anda mengetahui mengapa ibu-ibu bisa mempunyai leher yang panjang? Biasanya ketika ibu-ibu memanggil anak-nya, “NICKY!” Nicky tidak muncul-muncul sehingga mamanya harus memanjangkan leher untuk menoleh. Itulah sebabnya leher ibu-ibu menjadi panjang.
Menyadari bahwa TUHAN sedang memanggil Samuel yang kecil maka Imam Eli pun mengajarkan bagaimana Samuel harus berespon. Samuel pun menuruti imam Eli dan berespon menurut perintahnya. Pada panggilan ke-empat TUHAN berdiri di dan berkata-kata kepada Samuel. Setelah mengetahui rancangan TUHAN, keesokan paginya, Samuel tetap bangun pagi-pagi seperti biasanya dan membuka pintu bait suci. Ia mengerjakan tugasnya seperti biasa. Ia tidak menjadi sombong atau bersikap apatis karena sudah mengetahui bahwa TUHAN akan menyingkirkan pelayanan keluarga imam Eli. Imam Eli menyadari bahwa perkataan TUHAN kepada Samuel pasti sangat signifikan sehingga ia memaksa Samuel menceritakannya.
Andreas menemukan Filipus (pecinta kuda) dan mengundang dia kepada Yesus. Filipus kemudian menerima panggilan Yesus untuk mengikuti-Nya. Setelah itu Filipus memperkenalkan Yesus kepada Natanael (TUHAN memberi). Sebagian komentator percaya bahwa Natanael adalah Bartolomeus (baca Matius 10.3, Markus 3.18, Lukas 10.14). Yang terlihat di sini, adalah di antara sahabat mereka saling mengajak untuk mengikuti Yesus.
“Ketulusan” juga adalah syarat penting untuk mengikuti. Yesus memuji Natanael di hadapan Filipus bahwa “tidak ada kepalsuan” di dalam diri Natanael. Begitu tulus dan polosnya Natanael sehingga ia mengatakan, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”. Sebagai seorang yang tinggal di Betsaida (tempat ikan), ia tidak mempercayai potensi dari daerah kecil. Filipus tidak berdebat dengan Natanael melainkan ia hanya mengundang Natanael untuk menemui Yesus. Yang menarik adalah Natanael langsung percaya ketika Yesus mengatakan bahwa Yesus melihat dirinya duduk di bawah pohon ara. Natanael langsung berpikir bahwa Yesus pasti mempunyai pengetahuan supernatural sehingga bisa melihat dirinya duduk di bawah pohon ara dan ia pun langsung mempercayai.
Bukan soal rambut palsu, kaki palsu, tangan palsu, hidung palsu atau mata palsu tetapi ini soal “memalsukan diri”, berpura-pura, penuh siasat, licik dan picik. “Memalsukan diri” merupakan salah satu strategi untuk memasarkan diri demi menjadi diri yang muluk-muluk “grandiose self”. Natanael menjadi dirinya yang tulen “genuine self”.
Panggilan “mengikuti” diperuntukkan bagi semua orang percaya. Menjadi “pengikut” berarti mengikuti “jalan-Nya”. Dan mengikuti “jalan” berarti mengikuti “cara-Nya”, bukan cara sekuler melainkan cara Kerajaan Sorga yang bersifat spiritual. Ready to embark on the journey as a follower of Christ?