Monday 11 March 2013

PULANG!



Lukas 15.11-32
Ada seorang ayah memiliki dua anak laki-laki. Anak yang bungsu merasa bosan dengan mengurus harta kekayaan ayahnya, memutuskan untuk meminta harta warisan untuk dirinya. Ia ingin bereksplorasi dan melakukan apa yang ia anggap menarik padahal ayah memberikan banyak kebebasan bagi dirinya untuk berkarya menggunakan segala pemberian ayahnya. Ia tidak puas mengurus apa yang menjadi milik ayahnya sebab ia ingin mengurus miliknya sendiri padahal ayah berprinsip "punyaku juga punyamu".  Ia juga tidak menyukai kakaknya yang suka melaporkan kesalahannya kepada ayah. Dia kesal terhadap kakak yang suka menilik setiap kesalahannya, bagi dia kakak adalah seorang yang terlalu disiplin, kaku, konvensional dan sok alim.

Pada malam saat adik meminta bagian warisannya, kakak sangat gusar dan memarahi adiknya. Pertengkaran di antara mereka pun terjadi kemudian ayah berkata, "tidak perlu bertengkar, warisan tetap akan saya bagikan". Sang kakak tidak setuju dengan keputusan ayah, namun demikian ia juga senang bisa lebih cepat memperoleh harta warisan miliknya. Kakak merasa bahwa dia merupakan anak ayah yang baik, yang mengelola segala usaha ayah dengan sepenuh hati, tidak pernah berbuat salah, hidup benar dan menjadi pujian para tetangga yang semestinya membuat ayah bangga.

Beberapa hari kemudian, halaman rumah dikunjungi banyak orang. Ternyata adik menjual segala miliknya - ladang, ternak, perusahaan, properti, saham, barang antik yang telah menjadi miliknya lalu meninggalkan rumah. Sang kakak marah terhadap perbuatan adiknya dan menolak untukberbicara dengan adiknya. Bagi dirinya adik sangat kurang ajar dan telah merusak nama baik keluarga. Kakak sama sekali tidak berniat untuk menasihati, merangkul, mencari dan membawa pulang adiknya (harapan ayah). Perbuatan putra bungsu pun menjadi pembicaraan sekampung dan juga tidak luput dari gosip para upahan ayah. Perbuatan putra bungsu sangat memalukan dan telah merusak reputasi baik keluarga sang ayah. Hati ayah sangat terluka melihat perbuatan putra bungsunya. Kepergian putra bungsu telah melukai dan menyalibkan hati bapanya.

Adik hidup berfoya-foya menghabiskan uangnya. Ia tidak dapat menahan godaan para pelacur yang menawan. Ia menggantikan kasih sayang ayah yang tanpa syarat dengan kasih sayang para pelacur yang hanya mengingini uangnya. Pikirannya telah dikelabui sehingga ia tidak lagi dapat berpikir dengan jernih. Ia tidak sanggup menahan gerak langkahnya sendiri. Ia merasa percaya diri dengan cara menghamburkan kekayaannya. Ia memperoleh hormat dan kasih sayang yang palsu dan seketika mengandalkan segala pemberian ayahnya. Ia menghamburkan pemberian ayah dan menyianyiakan kehidupannya. Hal di luar duga, bencana kelaparan, gempa bumi, tsunami, banjir, krisis ekonomi mempersulit hidupnya. Sebelumnya, dia merupakan seorang yang sangat dihormati namun kini hidupnya melarat dihantui oleh penyesalan, kecewa pada dirinya sendiri. Ia berpikir dalam hati bahwa jati dirinya terluka, ternodai, tidak layak menerima kasih sayang ayah.

Kehidupan adik bagaikan para pemungut cukai, wanita penghibur, pemabuk, pembunuh yang seringkali dianggap sebagai "sampah". Kehidupan adik juga bagaikan orang yang salah melangkah. Ia menyadari apa yang ia lakukan itu salah hanya ia tidak sanggup menahan diri sehingga ia melakukan kesalahan. Juga bagaikan orang yang menyesal setelah bersikap kasar, menyesal karena tidak sanggup menahan ledakan emosi. Juga bagaikan orang yang menyesal karena tidak sanggup menahan diri dalam berbelanja secara berlebihan. Orang-orang yang dianggap rusak (broken) oleh masyarakat. Menurut saya, kata "terluka" (wounded) atau yang menderita (les miserable) lebih tepat dalam mengekspresikan orang-orang yang seperti anak bungsu.

Luka dan penderitaan yang butuh disembuhkan, dihibur dan rekonsiliasi. Orang-orang yang hidup dalam perasaan bersalah dan penyesalan namun tidak sanggup memulihkan diri sendiri dari keterpurukan. Perasaan tidak berharga, tidak berguna menaungi diri yang terluka, bahkan diperparah oleh penolakan masyarakat yang lebih baik (atau menganggap diri lebih baik). Pandangan sinis, menghina, membenci, marah, menyalahkan menambah beban yang harus mereka pikul. Mereka rindu pulang tetapi apakah rumah terbuka untuk mereka? Mereka mengatakan, "aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa". Mereka menyadari bahwa mereka telah bersalah terhadap Tuhan dan manusia. Mereka merasa tidak layak lagi untuk disebut sabagai anak, saudara, rekan, suami, istri... Mereka rindu untuk pulang dan berharap dapat diterima sebagai hamba ataupun budak. Kini semakin jarang seseorang merasa bersalah dan meminta maaf. Semakin banyak orang yang mengadopsi motto "saya tidak pernah salah maka saya tidak perlu meminta maaf". Tidak jarang seseorang mengambil sikap defensif ketika dikritik maupun ditegur.

Sedangkan anak sulung bagaikan orang-orang yang pietis, alim, taat hukum, tertib, teratur, disiplin yang seringkali dikenal sebagai orang-orang baik, terhormat, saleh atau taat agama. Alasan mereka tidak mau masuk rumah karena rumah telah dinodai oleh orang-orang rusak. Rumah menjadi tidak nyaman karena rumah menerima orang-orang yang justru telah menghancurkan kehormatan rumah. Bapa mengharapkan anak yang sulung yang berperan sebagai kakak atau koko bersedia untuk keluar rumah untuk mencari dan membawa kembali adiknya yang hilang. Akan tetapi koko malah menunjukkan sikap tidak peduli, dingin, marah, kesal dan irihati akan perlakuan Bapa terhadap adiknya.

Rumah merupakan tempat yang nyaman dimana seseorang memperoleh dan menikmati kasih sayang keluarga. Rumah juga merupakan tempat seseorang memperoleh identitas diri. Home coming is the journey of one's discovering one's true. Undangan Sang Bapa kepada kedua anak-Nya merupakan upaya restorasi yakni memulihkan identitas sebagai anak dalam Keluarga-Nya.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12