Sunday 3 February 2013

AKU MENGENAL ENGKAU!



Yesus hadir di rumah ibadat di Nazaret dan membaca dari kitab Yesaya 61:1-2. Orang-orang heran akan kata-kata indah yang ia ucapkan kemudian ada yang bertanya, “Bukankah ini anak Yusuf? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria? Saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Bukankah saudara-saudaranya yang perempuan ada bersama kita? (baca Markus 6.3). Mereka tidak mampu mempercayai apa yang mereka lihat dan dengar sebab mereka dikendalikan oleh “pra-pengetahuan” mereka. Mereka mengenal Yesus sebagai anak Yusuf, “Yesus si tukang kayu”. Mereka mengenal Yesus yang dibesarkan oleh Maria, yang membuat lemari, duduk makan bersama saudara-sauadaranya, bermain dengan mainan kayu, ingusan, belajar merangkak dan belajar berjalan.

Mereka tidak mampu mengubah pengenalan mereka terhadap Yesus, mereka bahkan berpikir dalam hati mereka, “Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu” (Luk 4.23). Mereka menganggap Yesus gila - perlu disembuhkan. Sulit bagi seseorang untuk mengubah pra-pengetahuan dirinya terhadap seseorang. Karena di dalam pra-pengetahuan kita memberikan “label” pada seseorang, sekali ia dilabel sulit untuk mengubah label yang telah kita berikan. Suatu kali, ketika saya berada di dalam angkot ada seorang ibu bersama dengan kedua anaknya. Yang besar, laki-laki, sudah SMA dan yang kecil perempuan, SMP. Ibunya telah mencarikan pekerjaan buat putranya yang akan segera tamat SMA tetapi anaknya berkata tidak cocok kalau ia harus bekerja di sana. Mamanya langsung marah “Kamu anak kecil, tidak mengerti soal orang dewasa. Kamu kalau tidak mengerti jangan sembarangan bicara. Orang Chinese itu sangat pantang, tahu?” tegas mamanya. Karena malu dimaki-maki di dalam angkot, anaknya berkata, “Sudahlah… sudahlah”. Pada waktu anaknya turun dari angkot, ibunya berpesan, “你要乖乖“ (baca ni yao guai guai) artiya “jangan nakal”. Tidak lama kemudian giliran putrinya turun dan mamanya mengatakan hal serupa. Sebentar kemudian, ibu ini menerima telepon dari putranya menyampaikan bahwa dia sudah berada di dalam kelas. Ibunya kembali berkata, “乖乖”. Sebentar setelah putranya telepon, putrinya menelpon untuk melaporkan hal serupa dan ibu ini kembali mengatakan, “乖乖”. Padahal jarak antara tempat menurunkan penumpang dengan ruang kelasnya paling hanya 200 meter (atau bahkan kurang). Ibu ini masih memperlakukan anak mereka yang besar seolah-olah mereka masih TK.

Pengetahuan lama kita berpotensi untuk mengalami konflik dengan pengetahuan baru kita. Ketika konflik pengetahuan terjadi maka kita dalam posisi meng-update pengetahuan atau tetap berpegang pada pengetahuan lama. Pra-pengetahuan orang-orang Nazaret menghalangi mereka untuk mengenal Yesus sebagai Mesias. Pengetahuan mereka tentang Yesus si tukang kayu telah terukir dalam benak mereka. Mereka mengenal seseorang hanya dari hal-hal yang kelihatan (eksternal) dan tidak mengenal jiwa seseorang (internal). Oleh sebab itu tidak heran, apabila kita mendengar komentar orangtua tentang anak-anak mereka. “Anak saya suka ini, suka itu, tidak suka ini dan tidak suka itu, anak saya begini” Kemungkinan besar apa yang diungkapkan oleh sang orangtua tidak mencerminkan jiwa anaknya. Banyak anak-anak yang mengeluh, “Orangtuaku tidak mengenalku, mereka selalu tidak mempercayaiku. Siapakah yang dapat memahamiku?”

Mereka merasa sudah sangat kenal Yesus, justru mereka tidak mengenal Yesus. Oleh sebab itu Yesus berkata, “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya” (Luk 4.24). Orang-orang Nazaret berpikir, “TIDAK MUNGKIN!” Saya melihat dia bertumbuh besar dari keluarga sederhana, bahkan dia bukan keturunan imam. Tidak mungkin Dia adalah Mesias, tidak mungkin Dia ini TUHAN.” Mereka tidak dapat menerima TUHAN yang bersolidaritas, TUHAN yang hidup sederhana di tengah-tengah manusia. Tidak logis, tidak sesuai birokrasi dan bahkan membahayakan status quo agama.

Pada masa saya masih di bangku SD, saya tidak suka belajar, setiap pulang sekolah saya akan bermain sepeda, main kelereng, main layangan, main di dalam gua-gua, di tengah pepohonan dan juga di dalam selokan besar untuk melihat ikan-ikan kecil. Komentar orangtua saya tentang saya adalah, “setiap pulang sekolah, yang terlihat hanya tas sekolah saya tetapi orangnya ntah kemana”. Jangan harap bisa mendapatkan juara kelas, mau masuk sepuluh besar saja sulit. Karena saya tidak pernah memperhatikan penjelasan guru. Ketika guru mengajar, saya bermain atau memikirkan hal yang lain. Kemudian sewaktu di SMK saya memutuskan untuk mengubah, saya mempersiapkan diri dengan membaca satu bab lebih cepat sebelum diajarkan oleh guru. Saya memilih untuk mendengarkan penjelasan guru dengan penuh konsentrasi. Setiap kali ada diskusi atau perdebatan kelompok saya memilih untuk menguasai materi yang akan dibahas. Dari nilai rata-rata saya yang selalu parah tiba-tiba bisa menjadi tiga besar di kelas. Teman saya sejak kelas 1 SD bahkan berkomentar, “kok, kamu tiba-tiba jadi pintar?” Saya yakin dalam benaknya ia pasti berpikir, “MANA MUNGKIN!”. Benar bahwa sangat sulit bagi seseorang untuk bisa mengubah perspektifnya tentang seseorang. Hal ini karena kita memberikan “label” atau “cap” pada seseorang dan kita tidak mampu mengubah sudut pandang kita terhadap seseorang. Sehingga tidak heran apabila tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.

Pepatah Yahudi mengatakan seseorang dapat dikenal melalui koso (cup), kiso (pocket) dan ka’aso (temper) (Bonder, 2001, 1), artinya seseorang dapat dikenal melalui selera makannya, pola penggunaan uangnya dan temperamen atau amarahnya. Kita juga bisa mengenal seseorang dari pakaiannya, cara bicaranya, sikapnya, pola pikirnya tetapi tetap saja kita tidak mengenal dengan baik. Manusia itu seperti sebuah puzzle. Kita hanya mengenal sebagian dari diri seseorang. Kita tidak mampu mengenal seseorang secara utuh. Hati kita yang sombong mengatakan, “aku sudah mengenal orang itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Aku kenal dia sampai ke tulang-tulangnya”. Apakah kita sudah benar-benar mengenal seseorang? BELUM!. Kita sering mendengar ungkapan, “orang lain tidak mengetahui penderitaanku” 没有人不懂我的痛苦. Oleh sebab itu kita sering mendengarkan ungkapan, “karena tidak mengenal maka menikah dan karena terlalu kenal kemudian bercerai”.

Hanya TUHAN yang dapat mengenal kita secara utuh. Ia bahkan sudah mengenal kita sejak kita di  dalam rahim ibu kita (baca Yer 1.5). TUHAN mengenal hatimu yang sesak, tekanan dalam batinmu, keletihan hatimu dan segala pergumulan dirimu. Yesus mengenal orang-orang di Nazaret, Yesus mengenal hati mereka sehingga Ia berkata “Engkau membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengenal hatimu” (Lukas 16.15). Orang-orang Nazaret ini menuntut pembuktian, mereka mendesak Yesus untuk melakukan berbagai mujizat yang Ia lakukan di Kapernaum. Tetapi Yesus menolak, Yesus mengetahui pikiran jahat mereka. Yesus mengenal hati mereka yang keras dan tidak percaya. Mereka bahkan ingin membunuh Yesus tetapi Yesus berjalan lewat dari tengah-tengah mereka. Apabila seseorang sudah menutup hatinya maka sekalipun ada seorang yang bangkit dari antara orang mati yang berbicara kepada mereka, tetap saja mereka tidak mempercayai (baca Luk 16.31).

Yesus ditolak di kampung halaman-Nya sendiri dan tidak akan heran apabila Yesus ditolak oleh gereja-Nya Sendiri. Gereja mengklaim sedang menjalani misi Kristus tetapi tidak melihat Kristus di dalam diri orang-orang yang sengsara. Gereja tidak membebaskan orang-orang sengsara tetapi malah menambahkan beban di pundak orang-orang yang sengsara. Gereja dijadikan sebagai tempat “kompetisi ego”. Anthony De Mello pernah bercerita bahwa seseorang datang kepada pastur dan berkata, “Bapa, saya harapkan Anda mengadakan kebaktian untuk anjing saya”. Pastur menjawab, “ Kami tidak mengadakan kebaktian binatang peliharaan di sini. Bagaimana kalau Anda tanyakan ke gereja denominasi lain yang ada di sekitar sini, mungkin mereka akan mengadakan kebaktian buat binatang peliharaan.” Ketika orang itu hendak pergi ia berkata, “Sayang sekali pastur, padahal saya ingin mempersembahkan 1 juta dollar untuk kebaktian tersebut”. Dan pastur berkata, “Eitss tunggu dulu, Anda tidak pernah memberitahu saya bahwa anjingmu Katolik.” (Mello, 1990, 25). 

Apabila suatu hari Yesus hadir di gereja, gereja tidak akan mengenal-Nya. Gereja sudah semakin komersial. Gereja menjadikan dirinya korporasi dan saling bersaing. Gereja menggunakan “label” misi Kristus untuk mengerjakan proyek-proyek pribadi. Gereja merancang dan mencopy-paste program untuk memenuhi kebutuhan para konsumen yang semakin konsumtif. Malangnya para konsumen ini semakin tidak rindu mempelajari kebenaran firman maupun hidup dalam persekutuan Kristiani dan berdiakonia tetapi hanya ingin dihibur. Maka gereja demi mempertahankan jumlah kehadiran pun juga harus menjadikan dirinya sebagai “entertaining church”. Apabila Yesus hadir di gereja masa kini, mungkin Yesus akan ditolak dan diusir. Sehingga, seorang nabi tidak hanya tidak dihargai di tempat asalnya tetapi juga dalam gerejanya”. 

Kiranya Gereja tidak lupa bahwa Roh Tuhan ada pada Gereja. Roh Tuhan telah mengurapi Gereja. Sampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin (orang kaya juga miskin, miskin perhatian, miskin kasih sayang..), beritakan pembebasan kepada orang-orang tawanan (ditawan berbagai keinginan, ditawan sakit hati, ditawan penyesalan, ditawan kepahitan…), penglihatan bagi orang-orang buta (tidak melihat kebenaran…), membebaskan orang-orang yang tertindas (dimanipulasi, dieksploitasi, dijahatin…) dan memberitahukan tahun rahmat kedatangan Tuhan (pertolongan, pengharapan, anugerah, kasih karunia…) (baca Luk 4.18-19).

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12