Thursday 20 October 2016

MENYUCI PIRING DAN MENGIRIK GANDUM

Ritus foto selfie maupun mengambil foto-foto kuliner kemudian dibagikan di media sosial sudah sangat lazim. Saya percaya, karena kerinduan manusia akan persahabatan sehingga manusia senang berbagi sukacita menikmati makanan. Namun, tidak lazim kita menyaksikan seseorang membagikan foto menyuci piring di media sosial, mungkin karena umumnya kita makan di warung atau di resto sehingga kita tidak perlu menyuci piring. Well, saya percaya, orang-orang tidak tertarik untuk share foto menyuci piring karena tidak signifikan dan tidak menyenangkan. Salah satu pengalaman yang menarik dalam persahabatan dengan Etha adalah pengalaman menyuci piring-gelas dalam Bina Kader 2. Menyuci piring gelas merupakan hukuman buat kelompok kami sebagai kelompok yang tiba paling telat di Cianjur (seharusnya paling pagi :) karena kami tiba sekitar jam 2.30 subuh). Namun Etha menyuci piring gelas dengan ceria sambil bercanda-tawa. Terlebih lagi, menyuci piring-gelas bukanlah hal yang signifikan karena kegiatan tersebut umumnya dilakukan setelah perjamuan berakhir, setelah sebuah acara besar diselenggarakan, setelah canda tawa dan percakapan di meja makan berakhir dan ruangan menjadi sunyi. Etha menyuci piring-gelas dengan penuh sukacita. Pekerjaan yang tidak signifikan menjadi berarti di tangannya. Piring-gelas disabuni dengan kerendahan hati, noda-noda kotor dibersihkan dengan cinta kasih dan ketulusan. Setelah dibasuh dengan air segar nan sejuk yang tidak berhenti mengalir, piring gelas disusun dengan rapi.

Selama tujuh tahun, orang-orang Israel diganggu, diserang, dirampok orang-orang Amalek (Hak. 6:1) sehingga mereka membuat tempat-tempat perlindungan di pegunungan - gua-gua dan kubu-kubu (ayat 2). Mereka membentengi diri dalam ketakutan. Segala jerih payah mereka tidak mendatangkan hasil karena tiap kali menjelang panen, orang-orang Amalek akan datang menyerang (ayat 3). Dalam kondisi melarat, mereka berseru-seru kepada TUHAN dan Ia berfirman bahwa Dia yang telah menuntun nenek moyang mereka dari perbudakan akan melepaskan mereka dari penindasan (ayat 9). Tetapi, siapakah yang akan dipilih dan diutus TUHAN untuk membebaskan orang-orang Israel dari orang-orang Amalek? Petarung hebat, cerdas, kuat yang menguasai strategi perang, berprestasi dan memiliki pengalaman militer? Bukan! TUHAN mengunjungi Gideon yang penakut di saat dia sedang mengirik gandum dalam tempat pemerasan anggur yang tersembunyi (ayat 11). Gideon merasa dirinya kecil, dan tidak berkemampuan (ayat 15). Bagi dia, panggilan TUHAN tersebut merupakan Mission Impossible. Dengan pertolongan TUHAN, Etha dapat mengerjakan misi yang tidak dimungkinkan bagaikan Ethan dalam Mission Impossible. Keluar dari gua-gua dan kubu-kubu ketakutan dan kepahitan dan membangun umat Tuhan dengan beriman pada TUHAN Shalom (Hak 6:24).

Sapaan malaikat bagi Gideon juga merupakan sapaan bagi Etha, “TUHAN menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani” (ayat 12). Dan TUHAN mengutus Etha, “Pergilah dengan kekuatanmu ini!” (ayat 14). Kita mungkin bertanya “kekuatan apa?” Kekuatan iman dalam meresponi ketidakadilan yakni penindasan terhadap humanworth, penindasan terhadap citra Allah dalam diri manusia (ayat 13). Saya percaya dengan kasih karunia dan penyertaan TUHAN, Etha dapat melaksanakan missio dei sebagai seorang pendeta. Hal yang sangat sulit dalam membangun adalah proses re-konstruksi dan re-novasi seperti Gideon yang diminta untuk meruntuhkan mezbah Baal dan tiang berhala kepunyaan ayahnya (6:25) dan mengubah paradigma yakni mempersembahkan lembu jantan sebagai korban bakaran (ayat 26) sebab lembu jantan merupakan makhluk yang sakral bagi penyembah Baal. Membangun dimulai dari sebuah proses renovasi hati, rekonstruksi paradigma, rekonsiliasi relasi dan revitaliasi spirit yang dilakukan di dalam iman, cinta kasih dan ketulusan. 

Bukan kekuatan maupun kehebatan melainkan iman yang bersandar pada anugerah, kasih sayang dan kekuatan Allah. Kerendahan hati, ketulusan, cinta kasih, perhatian dan keceriaan Etha sangat menginspirasi, juga merupakan karakter dalam diri Etha yang sangat indah dan berharga. Spiritualitas menyuci piring dan mengirik gandum mengimplikasikan bahwa di dalam hal-hal yang tampak tidak signifikan, apabila dikerjakan dengan penuh cinta kasih, ketulusan, keceriaan dengan bersandar pada kekuatan Allah akan mentransformasi dengan meruntuhkan “tembok” (ketakutan) dan membangun “rumah” cinta kasih. Transformation has to do with the way the walls separating us from others and from our deepest self begin to disappear. Between all of us fragile human beings stand walls built on loneliness and the absence of God, walls built on fear - fear that becomes depression or a compulsion to prove that we are special (Vanier 2008, Loc. 169 Kindle). Lao Tzu mengatakan, “when  pure sincerity forms within, it is outwardly realized in other people’s hearts.” Selamat atas penahbisan Pnt. Etha sebagai pendeta Gereja Kristen Indonesia dengan basis pelayanan di Jemaat GKI Raya Hankam, Bekasi! Selamat ya, Pdt Bagus Waluyo Djati atas peneguhannya sebagai pendeta GKI dengan basis pelayanan di Jemaat GKI Raya Hankam, Bekasi!


Batam, 17 Oktober 2016
Dari Sahabatmu, Pdt. Lan Yong Xing 

GKI Duta Mas 

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12