Intouchables atau “untouchables” (tidak tersentuh) mendepiksi bahwa sebenarnya ada
banyak jiwa-jiwa yang tidak tersentuh di dalam dunia ini. Menurut saya,
perubahan diri pada seseorang hanya mungkin terjadi apabila jiwanya tersentuh.
Kita tidak akan mampu menolong seseorang tanpa menyentuh jiwa orang itu dan
memang benar bahwa “menyentuh jiwa” merupakan bagian yang tersulit sehingga
orang-orang cenderung memilih mengerjakan pekerjaan “permukaan” atau sebut saja
dengan istilah “surface-ministry”
(pelayanan permukaan).
Dalam Film Perancis yang
berjudul “The Intouchables” (2011)
mengisahkan persahabatan seorang kaya bernama Phillipe yang cacat (menderita paraplegic) atau mengalami
lumpuh tubuh bagian bawah dengan Driss seorang mantan narapidana. Phillipe
mendambakan seorang pengasuh yang dapat dijadikan sebagai sahabat. Sebagai
orang kaya yang cacat, yang sering ia dapati adalah “dikasihani”. Phillippe
ingin dikasihi bukan dikasihani. Sebagai orang kaya, sulit bagi dirinya untuk
memperoleh seorang sahabat yang tulus sebab umumnya orang-orang hanya ingin
memperoleh keuntungan dari dirinya. Orang-orang seperti Phillippe akan merasa
kesepian dan sedih oleh karena mereka harus menutup sebelah mata terhadap
orang-orang yang memanipulasi mereka.
Driss seorang dari latar
belakang keluarga yang tidak bahagia, ditinggalkan orangtua sendiri dan
dibesarkan oleh orang lain yang kemudian mengandung berkali-kali oleh pria yang
beda-beda sehingga Driss mempunyai banyak adik tanpa mengetahui siapa identitas
ayah mereka. Driss pernah merampok toko perhiasan dan dipenjara selama 6 bulan.
Akibat pernah dipenjara, Driss diusir oleh tante yang membesarkan dirinya. Dris
merasa dirinya tidak memiliki ijazah dan tidak kompeten untuk menjalani hidup
yang baik. Tujuan dia mengikuti wawacara bukan untuk memperoleh pekerjaan
tetapi hanya demi mengumpulkan tandatangan agar bisa mendapatkan tunjangan
sosial. Ia menyadari bahwa dirinya tidak akan dihargai di dunia yang menjunjung
tinggi “kemampuan”. Dengan kata lain,
Driss juga termasuk “jiwa yang tidak tersentuh” yang ditolak dan tidak
dihargai.
Jiwa yang tidak tersentuh
bagaikan penderita kusta, wanita penghibur (baca
pelacur), pemungut cukai atau “para pendosa” dalam Alkitab. Ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi (pemimpin-pemimpin
agama) berusaha untuk menarik diri dari orang-orang ini karena mereka
dianggap “pendosa” dan “sampah”. Para pemimpin agama tidak ingin terlibat di
dalam kehidupan orang-orang ini karena tidak ingin menodai hidup mereka padahal
hidup mereka bagaikan kuburan yang luarnya tampak bersih dan rapi sedangkan di
dalamnya “sangat jorok” dan “mengerikan”. Inilah kritikan Yesus terhadap
orang-orang yang menampilkan hidupnya kelihatan bersih di luar tetapi hati
mereka sangat menjijikan…
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu
orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang
sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh
tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran (Matius 23.27)
Yesus tidak pernah menolak para
pendosa tetapi Yesus menolak orang-orang yang menganggap dirinya baik, kudus,
layak, merendahkan dan menghakimi yang lain. Yesus selalu terbuka untuk
orang-orang yang berdosa dan Yesus bahkan duduk dan makan bersama dengan
orang-orang ini (involvement). Yang
menyedihkan adalah manusia cenderung memojokkan orang-orang yang dianggap
pendosa (padahal mereka juga tidak suci), mempermalukan, menolak, merendahkan
dan menghakimi orang-orang berdosa. Sikap dan perlakukan seperti ini bagaikan
menambahkan beban yang sangat berat pada pundak orang-orang yang
menderita.
Para
sahabat atau kenalan Phillipe menasihati dirinya untuk tidak mempekerjakan
Driss mengingat latar belakang Driss yang pernah dipenjara, kasar dan
berbahaya. Tetapi Phillippe tidak melihat apa yang dilihat oleh orang-orang
secara umum. Phillippe membaca ketulusan hati Driss dari wawancara pertama dan
ia memberikan kesempatan bagi Driss untuk mencoba menjaga dirinya. Percayakah
Saudara bahwa jiwa yang tersentuh akan berubah? Bagi saya orang-orang yang tak
tersentuh adalah orang-orang yang dianggap paling hina, yang dibiarkan tetap
terluka. Saya jadi teringat perkataan Yesus, “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. (Matius
25.40). Yesus tidak hanya “melibatkan Diri” dalam diri orang-orang yang paling
hina tetapi Ia juga menyamakan Diri dengan mereka.
Film ini mendemonstrasikan
kelemahan manusia dan realita kehidupan. Manusia membutuhkan kesempatan,
dorongan dan persahabatan untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukannya. Di
dunia ini, ada banyak orang-orang mengalami pengalaman-pengalaman tragis dalam
hidup mereka. Orang-orang yang lemah, tidak dihargai, gagal, tidak kompeten,
tidak bernilai dan menyimpulkan hidup ini dengan kata, “pahit, tidak berarti
dan gagal”. Richard Rohr menyebutnya dengan istilah “necessary fall” atau
“necessary suffering”. Ia menerangkan bahwa proses kejatuhan ini merupakan
proses kematian diri yang palsu dan kebangkitan hidup sejati (Rohr, Falling
Upward, 2011). Paulus mengatakan, “Karena itu aku senang dan rela di dalam
kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan
kesesakan oleh karena Kristus. Sebab
jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor 12.10).