Thursday, 30 August 2012

SEPERTI MAU MATI RASANYA


Matius 26.38

Ketika berada di taman Getsemani Yesus menggumuli penyerahan Diri-Nya untuk penyaliban, kita melihat sisi manusia dari Yesus. Sebagai Allah yang menjadi manusia dan disebut sebagai Anak Manusia, Ia memposisikan Diri-Nya sepenuhnya sebagai manusia untuk menanggung dosa manusia. Bukankah ini merupakan “empati” Allah yang luar biasa? Bukankah ini menyatakan “solidaritas” Allah terhadap manusia? Akan tetapi manusia cenderung berteriak, “Allah tidak peduli, Allah hanya enak-enak di sorga sedangkan kami menderita luar biasa di dunia!” Benarkah demikian? Tidak sama sekali. Allah datang ke dunia sebagai manusia dan bahkan menderita penderitaan yang sangat berat sehingga ketika di taman Getsemani Ia berkata, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya”.

Mungkin ketika sedang dalam situasi yang berat ditambah digossipin, disalahpahami dan tantangan pekerjaan yang berat ataupun dalam kondisi sakit, menghadapi anggota keluarga yang sakit serta beban-beban psikis lainnya membuat kita mengatakan hal yang sama, “hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya”. Pada saat menghadapi kesedihan yang berat Ayub berteriak, “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” (Ayub 2.11). Musa berkata kepada TUHAN, “Jika Engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja” (Bil 11.15a). Di dalam kondisi stres Elia berdoa, “Cukuplah itu! Sekarang ya TUHAN, ambillah nyawaku” (1 Raj 19.4b). Yunus juga berdoa, “Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati daripada hidup.” (Yunus 4.3). 

Janji TUHAN bagi penderitaan manusia adalah, “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi, tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21.4). Bagaimana dengan saat ini? TUHAN berkata, “Berbahagialah mereka yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Mat 5.4) dan “Berbahagialah orang dianiyai oleh karena kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5.10). Yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana mengubah ratapan menjadi tarian? (Mzm 30.11). Dan bagaimana agar penderitaan tidak menghasilkan kepahitan dan kebencian di dalam diri kita agar di kemudian hari tidak menjadi boomerang bagi diri kita sendiri?

Penderitaan di dalam Yesus tidak menjadi kepahitan bagi dirinya sebab Ia berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23.34). Sebelum dibunuh, Stefanus juga berdoa, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” (Kis 7.60). Yusuf yang dijual oleh saudara-saudaranya berkata, “memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan” (Kej 50.20). Pengampunan membebaskan diri kita dan mengubah luka kita menjadi luka kudus atau dalam kalimat Richard Rohr “sacred wound”. Pengampunan dapat membebaskan diri kita dari “kepahitan” dan biarlah ketika manusia merancang yang jahat terhadap diri kita untuk menyaksikan dan menikmati penderitaan kita, dengan pertolongan TUHAN kita mengubah penderitaan menjadi tarian walaupun kita berteriak, “hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya”. Menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan Farisisme tidak dapat mengubah apa-apa. Kita dapat memperbaiki dengan terlebih dahulu membebaskan diri sendiri dan berserah kepada kebaikan Bapa Sorgawi.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12