Matius
26.38
Ketika berada di taman Getsemani Yesus menggumuli
penyerahan Diri-Nya untuk penyaliban, kita melihat sisi manusia dari Yesus.
Sebagai Allah yang menjadi manusia dan disebut sebagai Anak Manusia, Ia
memposisikan Diri-Nya sepenuhnya sebagai manusia untuk menanggung dosa manusia.
Bukankah ini merupakan “empati” Allah yang luar biasa? Bukankah ini menyatakan
“solidaritas” Allah terhadap manusia? Akan tetapi manusia cenderung berteriak, “Allah tidak peduli, Allah hanya enak-enak
di sorga sedangkan kami menderita luar biasa di dunia!” Benarkah demikian?
Tidak sama sekali. Allah datang ke dunia sebagai manusia dan bahkan menderita
penderitaan yang sangat berat sehingga ketika di taman Getsemani Ia berkata, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati
rasanya”.
Mungkin ketika sedang dalam situasi
yang berat ditambah digossipin, disalahpahami dan tantangan pekerjaan yang
berat ataupun dalam kondisi sakit, menghadapi anggota keluarga yang sakit serta
beban-beban psikis lainnya membuat kita mengatakan hal yang sama, “hatiku sangat sedih, seperti mau mati
rasanya”. Pada saat menghadapi kesedihan yang berat Ayub berteriak, “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir,
atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” (Ayub 2.11). Musa berkata
kepada TUHAN, “Jika Engkau berlaku demikian
kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja” (Bil 11.15a). Di dalam
kondisi stres Elia berdoa, “Cukuplah itu!
Sekarang ya TUHAN, ambillah nyawaku” (1 Raj 19.4b). Yunus juga berdoa, “Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya
nyawaku, karena lebih baik aku mati daripada hidup.” (Yunus 4.3).
Janji TUHAN bagi penderitaan manusia
adalah, “Ia akan menghapus segala air
mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi, tidak akan ada lagi
perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita sebab segala sesuatu yang lama
itu telah berlalu” (Wahyu 21.4). Bagaimana dengan saat ini? TUHAN berkata, “Berbahagialah mereka yang berdukacita,
karena mereka akan dihibur” (Mat 5.4) dan “Berbahagialah orang dianiyai oleh karena kebenaran, karena merekalah
yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5.10). Yang menjadi pertanyaan kita
adalah bagaimana mengubah ratapan menjadi tarian? (Mzm 30.11). Dan bagaimana
agar penderitaan tidak menghasilkan kepahitan dan kebencian di dalam diri kita agar
di kemudian hari tidak menjadi boomerang bagi diri kita sendiri?
Penderitaan di dalam Yesus tidak
menjadi kepahitan bagi dirinya sebab Ia berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat” (Luk 23.34). Sebelum dibunuh, Stefanus juga berdoa, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini
kepada mereka!” (Kis 7.60). Yusuf yang dijual oleh saudara-saudaranya
berkata, “memang kamu telah
mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya
untuk kebaikan” (Kej 50.20). Pengampunan membebaskan diri kita dan mengubah
luka kita menjadi luka kudus atau dalam kalimat Richard Rohr “sacred wound”. Pengampunan dapat membebaskan
diri kita dari “kepahitan” dan biarlah ketika manusia merancang yang jahat
terhadap diri kita untuk menyaksikan dan menikmati penderitaan kita, dengan
pertolongan TUHAN kita mengubah penderitaan menjadi tarian walaupun kita
berteriak, “hatiku sangat sedih, seperti
mau mati rasanya”. Menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri,
menyalahkan Farisisme tidak dapat mengubah apa-apa. Kita dapat memperbaiki
dengan terlebih dahulu membebaskan diri sendiri dan berserah kepada kebaikan
Bapa Sorgawi.