Saya baru saja menyelesaikan makan malam saya di salah satu rumah makan di Tasikmalaya. Boleh dikatakan hampir setiap hari saya makan di sana dengan menu yang sama yakni nasi putih setengah porsi dengan lauk tahu dan telur. Sebut saja ini menu ekonomi murah meriah dengan harga Rp. 6,000,-. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat saya tinggal, diperkirakan sekitar 500 meter. Sambil jalan sore dan menikmati makanan yang lezat. Penjual sering menawarkan saya "Goreng Ayam" dan kini saya mengerti kenapa. Karena mereka butuh menjual banyak "Goreng Ayam" agar dapat menyekolahkan anak. Sebab jika setiap pembeli seperti saya, maka akan sangat sulit bagi mereka untuk bisa membiayai kehidupan anak-anak mereka.
Sebab pada hari ini, saya menemukan ternyata penjual nasi campur ini mempunyai 7 orang anak. Angka yang mungkin tidak besar bagi generasi "Baby Boomers" tapi termasuk angka yang lumayan besar bagi "Generasi X". Dengan rumah makan sederhana, keluarga ini harus membesarkan TUJUH orang anak. Membesarkan anak mungkin tidak terlalu sulit tetapi bagaimana dengan mendidik dan menyekolahkan mereka. Apakah mereka mampu menyekolahkan 7 orang anak hingga Sarjana atau bahkann Pasca Sarjana? Sebagian besar anak-anak di kota besar pada zaman ini mengandalkan ekonomi orangtua hingga Pasca Sarjana. Mungkin terdengar ironis apabila dibandingkan dengan orang-orang yang harus berjuang menyekolahkan diri sendiri.
Ngomong-ngomong, apa beda Goreng Ayam dengan Ayam Goreng? Bagi saya Goreng Ayam adalah kegiatan "Menggoreng Ayam" (kata kerja) sedangkan Ayam Goreng adalah "ayam goreng" (kata benda). Tetapi perbedaan budaya, perbedaan konteks yang menyebabkan saya merasa aneh untuk istilah "Goreng Ayam" dan mereka merasa aneh untuk istilah "Ayam Goreng". Mungkin saya patut merenungkan "Teologia Goreng Ayam" demi membiayai kehidupan keluarga. Kiranya TUHAN memberkati keluarga ini dan saya sangat berharap ada "pembaharuan" dalam diri anak-anak mereka.