Yesus hadir di rumah ibadat di
Nazaret dan membaca dari kitab Yesaya 61:1-2. Orang-orang heran akan kata-kata
indah yang ia ucapkan kemudian ada yang bertanya, “Bukankah ini anak Yusuf?
Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria? Saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan
Simon? Bukankah saudara-saudaranya yang perempuan ada bersama kita? (baca
Markus 6.3). Mereka tidak mampu mempercayai apa yang mereka lihat dan dengar sebab
mereka dikendalikan oleh “pra-pengetahuan”
mereka. Mereka mengenal Yesus sebagai anak Yusuf, “Yesus si tukang kayu”. Mereka mengenal Yesus yang dibesarkan oleh
Maria, yang membuat lemari, duduk makan bersama saudara-sauadaranya, bermain
dengan mainan kayu, ingusan, belajar merangkak dan belajar berjalan.
Mereka tidak mampu mengubah
pengenalan mereka terhadap Yesus, mereka bahkan berpikir dalam hati mereka, “Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu” (Luk
4.23). Mereka menganggap Yesus gila - perlu disembuhkan. Sulit bagi seseorang
untuk mengubah pra-pengetahuan dirinya terhadap seseorang. Karena di dalam
pra-pengetahuan kita memberikan “label”
pada seseorang, sekali ia dilabel sulit untuk mengubah label yang telah kita
berikan. Suatu kali, ketika saya berada di dalam angkot ada seorang ibu bersama
dengan kedua anaknya. Yang besar, laki-laki, sudah SMA dan yang kecil
perempuan, SMP. Ibunya telah mencarikan pekerjaan buat putranya yang akan
segera tamat SMA tetapi anaknya berkata tidak cocok kalau ia harus bekerja di
sana. Mamanya langsung marah “Kamu anak kecil, tidak mengerti soal orang
dewasa. Kamu kalau tidak mengerti jangan sembarangan bicara. Orang Chinese itu
sangat pantang, tahu?” tegas mamanya. Karena malu dimaki-maki di dalam angkot,
anaknya berkata, “Sudahlah… sudahlah”. Pada waktu anaknya turun dari angkot,
ibunya berpesan, “你要乖乖“ (baca ni yao guai guai) artiya “jangan nakal”. Tidak
lama kemudian giliran putrinya turun dan mamanya mengatakan hal serupa. Sebentar
kemudian, ibu ini menerima telepon dari putranya menyampaikan bahwa dia sudah
berada di dalam kelas. Ibunya kembali berkata, “乖乖”. Sebentar setelah putranya
telepon, putrinya menelpon untuk melaporkan hal serupa dan ibu ini kembali
mengatakan, “乖乖”. Padahal jarak antara tempat menurunkan
penumpang dengan ruang kelasnya paling hanya 200 meter (atau bahkan kurang).
Ibu ini masih memperlakukan anak mereka yang besar seolah-olah mereka masih TK.
Pengetahuan lama kita
berpotensi untuk mengalami konflik dengan pengetahuan baru kita. Ketika konflik
pengetahuan terjadi maka kita dalam posisi meng-update pengetahuan atau tetap
berpegang pada pengetahuan lama. Pra-pengetahuan orang-orang Nazaret
menghalangi mereka untuk mengenal Yesus sebagai Mesias. Pengetahuan mereka
tentang Yesus si tukang kayu telah terukir dalam benak mereka. Mereka mengenal
seseorang hanya dari hal-hal yang kelihatan (eksternal) dan tidak mengenal jiwa
seseorang (internal). Oleh sebab itu tidak heran, apabila kita mendengar
komentar orangtua tentang anak-anak mereka. “Anak saya suka ini, suka itu, tidak
suka ini dan tidak suka itu, anak saya begini” Kemungkinan besar apa yang
diungkapkan oleh sang orangtua tidak mencerminkan jiwa anaknya. Banyak
anak-anak yang mengeluh, “Orangtuaku tidak mengenalku, mereka selalu tidak
mempercayaiku. Siapakah yang dapat memahamiku?”
Mereka merasa sudah sangat kenal
Yesus, justru mereka tidak mengenal Yesus. Oleh sebab itu Yesus berkata, “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai
di tempat asalnya” (Luk 4.24). Orang-orang Nazaret berpikir, “TIDAK
MUNGKIN!” Saya melihat dia bertumbuh besar dari keluarga sederhana, bahkan dia
bukan keturunan imam. Tidak mungkin Dia adalah Mesias, tidak mungkin Dia ini
TUHAN.” Mereka tidak dapat menerima TUHAN yang bersolidaritas, TUHAN yang hidup
sederhana di tengah-tengah manusia. Tidak logis, tidak sesuai birokrasi dan
bahkan membahayakan status quo agama.
Pada masa saya masih di bangku
SD, saya tidak suka belajar, setiap pulang sekolah saya akan bermain sepeda,
main kelereng, main layangan, main di dalam gua-gua, di tengah pepohonan dan
juga di dalam selokan besar untuk melihat ikan-ikan kecil. Komentar orangtua
saya tentang saya adalah, “setiap pulang sekolah, yang terlihat hanya tas
sekolah saya tetapi orangnya ntah kemana”. Jangan harap bisa mendapatkan juara
kelas, mau masuk sepuluh besar saja sulit. Karena saya tidak pernah
memperhatikan penjelasan guru. Ketika guru mengajar, saya bermain atau
memikirkan hal yang lain. Kemudian sewaktu di SMK saya memutuskan untuk
mengubah, saya mempersiapkan diri dengan membaca satu bab lebih cepat sebelum
diajarkan oleh guru. Saya memilih untuk mendengarkan penjelasan guru dengan
penuh konsentrasi. Setiap kali ada diskusi atau perdebatan kelompok saya
memilih untuk menguasai materi yang akan dibahas. Dari nilai rata-rata saya
yang selalu parah tiba-tiba bisa menjadi tiga besar di kelas. Teman saya sejak
kelas 1 SD bahkan berkomentar, “kok, kamu tiba-tiba jadi pintar?” Saya yakin
dalam benaknya ia pasti berpikir, “MANA MUNGKIN!”. Benar bahwa sangat sulit
bagi seseorang untuk bisa mengubah perspektifnya tentang seseorang. Hal ini
karena kita memberikan “label” atau “cap” pada seseorang dan kita tidak mampu
mengubah sudut pandang kita terhadap seseorang. Sehingga tidak heran apabila tidak
ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.
Pepatah Yahudi mengatakan
seseorang dapat dikenal melalui koso (cup), kiso
(pocket) dan ka’aso (temper) (Bonder,
2001, 1), artinya seseorang dapat dikenal melalui selera makannya, pola
penggunaan uangnya dan temperamen atau amarahnya. Kita juga bisa mengenal
seseorang dari pakaiannya, cara bicaranya, sikapnya, pola pikirnya tetapi tetap
saja kita tidak mengenal dengan baik. Manusia
itu seperti sebuah puzzle. Kita hanya mengenal sebagian dari diri
seseorang. Kita tidak mampu mengenal seseorang secara utuh. Hati kita yang
sombong mengatakan, “aku sudah mengenal
orang itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Aku kenal dia sampai ke
tulang-tulangnya”. Apakah kita sudah benar-benar mengenal seseorang? BELUM!.
Kita sering mendengar ungkapan, “orang lain tidak mengetahui penderitaanku” 没有人不懂我的痛苦.
Oleh sebab itu kita sering mendengarkan ungkapan, “karena tidak mengenal maka menikah dan karena terlalu kenal kemudian bercerai”.
Hanya TUHAN yang dapat mengenal
kita secara utuh. Ia bahkan sudah mengenal kita sejak kita di dalam rahim ibu kita (baca Yer 1.5). TUHAN
mengenal hatimu yang sesak, tekanan dalam batinmu, keletihan hatimu dan segala
pergumulan dirimu. Yesus mengenal orang-orang di Nazaret, Yesus mengenal hati
mereka sehingga Ia berkata “Engkau
membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengenal hatimu” (Lukas
16.15). Orang-orang Nazaret ini menuntut pembuktian, mereka mendesak Yesus
untuk melakukan berbagai mujizat yang Ia lakukan di Kapernaum. Tetapi Yesus
menolak, Yesus mengetahui pikiran jahat mereka. Yesus mengenal hati mereka yang
keras dan tidak percaya. Mereka bahkan ingin membunuh Yesus tetapi Yesus
berjalan lewat dari tengah-tengah mereka. Apabila seseorang sudah menutup
hatinya maka sekalipun ada seorang yang
bangkit dari antara orang mati yang berbicara kepada mereka, tetap saja
mereka tidak mempercayai (baca Luk 16.31).
Yesus ditolak di kampung
halaman-Nya sendiri dan tidak akan heran apabila Yesus ditolak oleh gereja-Nya Sendiri.
Gereja mengklaim sedang menjalani misi Kristus tetapi tidak melihat Kristus di
dalam diri orang-orang yang sengsara. Gereja tidak membebaskan orang-orang
sengsara tetapi malah menambahkan beban di pundak orang-orang yang sengsara. Gereja
dijadikan sebagai tempat “kompetisi ego”. Anthony De Mello pernah bercerita
bahwa seseorang datang kepada pastur dan berkata, “Bapa, saya harapkan Anda
mengadakan kebaktian untuk anjing saya”. Pastur menjawab, “ Kami tidak
mengadakan kebaktian binatang peliharaan di sini. Bagaimana kalau Anda tanyakan
ke gereja denominasi lain yang ada di sekitar sini, mungkin mereka akan
mengadakan kebaktian buat binatang peliharaan.” Ketika orang itu hendak pergi
ia berkata, “Sayang sekali pastur, padahal saya ingin mempersembahkan 1 juta
dollar untuk kebaktian tersebut”. Dan pastur berkata, “Eitss tunggu dulu, Anda
tidak pernah memberitahu saya bahwa anjingmu Katolik.” (Mello, 1990, 25).
Apabila suatu hari Yesus hadir
di gereja, gereja tidak akan mengenal-Nya. Gereja sudah semakin komersial.
Gereja menjadikan dirinya korporasi dan saling bersaing. Gereja menggunakan
“label” misi Kristus untuk mengerjakan proyek-proyek pribadi. Gereja merancang
dan mencopy-paste program untuk memenuhi kebutuhan para konsumen yang semakin
konsumtif. Malangnya para konsumen ini semakin tidak rindu mempelajari kebenaran
firman maupun hidup dalam persekutuan Kristiani dan berdiakonia tetapi hanya
ingin dihibur. Maka gereja demi mempertahankan jumlah kehadiran pun juga harus
menjadikan dirinya sebagai “entertaining church”. Apabila Yesus hadir di gereja
masa kini, mungkin Yesus akan ditolak dan diusir. Sehingga, seorang nabi tidak
hanya tidak dihargai di tempat asalnya tetapi juga dalam gerejanya”.
Kiranya Gereja tidak lupa bahwa
Roh Tuhan ada pada Gereja. Roh Tuhan telah mengurapi Gereja. Sampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin (orang kaya juga miskin, miskin perhatian,
miskin kasih sayang..), beritakan pembebasan kepada orang-orang tawanan
(ditawan berbagai keinginan, ditawan sakit hati, ditawan penyesalan, ditawan
kepahitan…), penglihatan bagi orang-orang buta (tidak melihat kebenaran…),
membebaskan orang-orang yang tertindas (dimanipulasi, dieksploitasi,
dijahatin…) dan memberitahukan tahun rahmat kedatangan Tuhan (pertolongan,
pengharapan, anugerah, kasih karunia…) (baca Luk 4.18-19).