Christmas Carol (2009) yang diadaptasi
dari novel karya Charles Dickens dan dibintangi oleh Jim Carrey ini mengisahkan
seorang kaya bernama Ebenezer Scrooge. Sutradara, Robert Zemeckis membuat film
tersebut dalam bentuk animasi 3 dimensi. Ketika saya pertama menonton film ini
saya teringat dengan Christmas Carol (1983) yang saya tonton bersama putra saya
di mana Mickey Mouse berperan sebagai Bob Cratchit dan McDuck sebagai Scrooge.
Ebenezer Scrooge (Jim Carrey)
adalah seorang yang telah membangun kariernya dari hasil kerja kerasnya bersama
dengan rekan bisnisnya Jacob Marley yang telah meninggal dunia. Scrooge tidak
mengizinkan pegawainya yang dibayar dengan gaji sangat kecil untuk pulang lebih
awal dan merayakan malam natal bersama keluarganya. Menurut Scrooge perayaan
natal merupakan suatu pemborosan. Dia juga menolak untuk makan malam bersama
dengan keponakannya.
Nah, pada malam natal tahun
1843, Scrooge dikunjungi oleh roh Jacob Marley yang diikat dengan rantai-rantai
yang berat. Marley mengatakan bahwa rantai-rantai yang mengikat dirinya
merupakan akibat dari perbuatan-perbuatannya pada masa hidupnya. Ia meminta
Scrooge untuk bertobat jika tidak rantai-rantai yang mengikatnya pasti akan
jauh lebih berat yang yang ia harus pikul selamanya. Pengalaman Scrooge
mengingatkan saya tentang perumpamaan Yesus mengenai seorang kaya dan Lazarus
yang miskin dan menderita dalam kekurangan. Namanya (Lazarus) disebut karena
dia dikenal, dihargai dan dikasihi sehingga ia dapat menikmati kehidupan
setelah kematian. Sedangkan orang kaya tersebut, namanya tidak disebut
menandakan dirinya tidak signifikan, tidak penting, tidak berarti dan tidak
dikenal. Dalam hal ini, tidak dikenal sama dengan “disampahkan” alias “dibuang”
atau dicampakkan ke dalam api yang menyala-nyala.
Scrooge dikunjungi oleh “roh”
masa lalu, masa kini dan masa lalu dalam hidupnya. Hidup manusia bukan hanya
terdiri dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dan berlalu begitu saja melainkan
setiap peristiwa saling berkaitan dan mengandung makna yang signifikan di dalam
keabadian. Sebab TUHAN yang adalah Yang Awal dan Yang Akhir merupakan TUHAN
masa lalu, TUHAN masa kini dan TUHAN masa depan hidup kita. Hidup manusia tidak
didesain untuk hidup bagi dirinya sendiri tetapi juga memiliki peran bagi
sesama.
Menurut saya, Bob Cratchit
merupakan tokoh yang sangat istimewa.
Dia telah bekerja dengan setia untuk Scrooge selama bertahun-tahun
dengan harga yang kecil. Kehidupan Bob didepiksi sepertinya tidak berarti,
tidak penting, tidak berdampak namun sebenarnya hidupnya sangat berarti bagi
orang-orang disekitarnya. Memang tokoh seperti Bob tidak berharga di dunia ini
sebab dia hanya seorang pekerja bergaji rendah yang bodoh (menurut pandangan dunia), yang harus bekerja keras menghidupi
keluarganya. Ia bahkan tidak mampu membiayai pengobatan untuk anaknya yang
cacat maupun memberikan makan malam yang lezat untuk keluarganya di malam
natal. Ia harus bekerja sepanjang tahun tanpa hari libur. Walaupun demikian ia
tetap mempunyai pandangan yang positif tentang bosnya. Ia bahkan mengucap
syukur dan berdoa bagi bosnya yang kikir. Menurut orang-orang mungkin hidup Bob
sangat pahit tetapi tidak demikian bagi dirinya. Orang seperti Bob merupakan
orang yang disaat dilukai oleh orang lain namun ia tidak melukai dirinya
sendiri. Seringkali yang membuat seseorang sangat menderita adalah ketika ia
dilukai oleh seseorang, pikirannya akan secara terus-menerus menyiksa dirinya
sendiri dengan “kepahitan” sehingga ia akan mengalami “luka parah” (berdarah-darah). Mungkin Bob miskin,
bodoh, tidak berharga, tidak berguna bagi dunia tetapi dia termasuk orang yang
“berbahagia” seperti yang diungkapan oleh Yesus. (Berbahagialah orang yang miskin, yang lemah lembut, pecinta damai).
Setiap perbuatan kita berdampak
pada kehidupan diri kita sendiri dan orang lain. Baik kita sadari maupun tidak,
perkataan maupun perbuatan kita dapat mempengaruhi orang lain. Benar bahwa kita
tidak mungkin menjadi sempurna dalam segala perbuatan dan perkataan kita tetapi
yang patut kita renungkan adalah yang mana yang lebih banyak yakni orang-orang
yang hidupnya “dibangunkan” oleh kita atau justru “dihancurkan” oleh kita.
Apakah hidup kita membuat orang lebih bersemangat, lebih giat belajar, lebih
loyal atau malah menambah kebencian, kedengkian, kejengkelan, kepahitan dan
ketakutan pada “uang” dan “kuasa” kita? Apakah kita mengembangkan potensi dan
keyakinan pada diri orang lain atau membuat orang lain semakin tidak percaya
diri? Apakah diri kita ditakuti atau disegani dan dihormati? Apakah kita
berbagi suka, duka dan pujian atau merampas segala suka dan pujian untuk diri
sendiri dan membebani orang lain dengan duka?