Wednesday, 28 March 2012

Makna di dalam kesiasiaan

Kitab Pengkhotbah adalah sebuah kitab yang unik. Sebagian orang menanggapi kitab tersebut dengan pandangan sinis dan menilai bahwa kitab tersebut mengajarkan pesimisme dan nihilisme. Dan sebagian orang yang lain menyetujui bahwa hidup itu tidak berarti dan sia-sia bahwa manusia bagaikan uap, yang hanya ada sebentar dan kemudian menjadi lenyap. Kata ‘Pengkhotbah” diterjemahkan dari kata “Qoheleth” yang artinya “pengkhotbah atau pengajar”. Sebagian ahli percaya bahwa kitab tersebut ditulis oleh raja Salomo (971-931 SM) dan para ahli yang lain percaya bahwa kitab tersebut ditulis pada tahun 450-250 SM meminjam nama besar Salomo. Apabila dibaca sekilas kitab tersebut memang memberikan kesan pesimis, sinis dan menganut pola pikir nihilisme, namun apabila kita membaca secara keseluruhan kitab Pengkhotbah maka kita akan menemukan bahwa penulis sedang memaparkan pandangan yang berpusat pada TUHAN atau “God-centered worldview”.

Kata “kesiasiaan” yang diterjemahkan dari kata “hebel” mengandung arti kekurangan “substansi, nilai, permanensi maupun signifikansi”. Dengan kata lain, Pengkhotbah sedang menggambarkan keabsuran hidup sebab hidup manusia menguap dan lenyap. Jadi hebel mendeskripsikan keterbatasan manusia untuk memahami cara TUHAN sebab manusia selalu berada di dalam kondisi impermanence.  Segala upaya manusia tidak bersifat permanen sehingga menjadi sia-sia dan tidak berarti. Segala sesuatu hanyalah pengulangan “matahari terbit matahari terbenam”. Manusia terus mencari kesenangan tetapi hati manusia tetapi saja hampa. Entertainment sudah menjadi kata kunci manusia modern yakni secara terus-menerus mencari penghiburan dan kepuasan tetapi tetap saja dalam kondisi tidak puas, tidak bahagia dan bosan alias boring. Segala sesuatu menjemukan… mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar (Pengkhotbah 1.8). Hal ini menggambarkan “ketamakan” manusia.

Pengkhotbah mengatakan bahwa ia telah bertekad untuk terus belajar tetapi semuanya hanyalah sia-sia belaka bagaikan usaha menjaring angin. Apakah Pengkhotbah sedang mengatakan bahwa belajar hanyalah upaya yang sia-sia dan tidak berarti?  Sebab pengetahuan hanyalah demi untuk berkuasa, mengendalikan, menghasilkan keuntungan dan menyombongkan diri? Pengetahuan mencakup fakta, informasi maupun keahlian. Di dalam dunia filsafat pengetahuan atau teori pengetahuan seringkali disebut dengan kata “epistemology” (ilmu yang mempelajari pengetahuan). Apabila kita membaca kitab Pengkhotbah kita akan dikejutkan perkataan Pengkhotbah, “di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan” (Pengkhotbah 1.18). Kata “hikmat” di sini bukan menunjukkan hikmat apabila seseorang takut kepada TUHAN melainkan “inteligensi manusia” atau upaya manusia untuk memperoleh signifikansi. Pengkhotbah sedang menegaskan keterbatasan filsafat manusia, keterbatasan ilmu pengetahuan (3.11, 8.16-17).
Modernisme percaya bahwa dunia semakin hari akan menjadi semakin baik dengan mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apakah ilmu pengetahuan bisa salah? Pengetahuan berkembang dan dibangun atas sebuah sistem yang berantai dan apabila salah satu unsur terbukti salah dikemudian hari maka jelas-jelas akan mempengaruhi bagian lainnya.
Mengapa hikmat dan pengetahuan hanya memperbanyak kesedihan dan menambah susah hati? Kita hidup di zaman yang banjir akan pengetahuan dan informasi. Apa yang kita ketahui jauh lebih banyak dari orang-orang di abad-abad sebelum kita. Karena begitu banyak informasi dan pengetahuan yang dapat kita peroleh maka penting bagi kita untuk lebih selektif sebab informasi dan pengetahuan dapat menjadi berkat maupun beban. Pepatah Afrika mengatakan, “Pengetahuan bagaikan taman, apabila tidak dikelola maka hasilnya tidak dapat dituai”.

Tetapi kita juga hidup di zaman posmodernisme (Anthony Giddens, Sosiolog Inggris memilih kata “akhir modernism” daripada menggunakan kata posmodernisme) yang mengklaim tidak ada kebenaran absolut. Sebab di dalam sejarah kehidupan manusia sudah terjadi banyak kegagalan sehingga tidak mungkin ada kebenaran apabila manusia bisa saling membunuh dan menghancurkan seperti yang terjadi di dalam perang dunia dan holocaust. Bahaya dari pandangan postmodernisme adalah hilangnya kendali dan makna dari kehidupan manusia. Segala sesuatu menjadi samar-samar.

Sebenarnya ada jalan ketiga “The Third Way” yaitu di antara modernism dan posmodernisme yakni perpaduan antara apa yang dapat diketahui dan yang tidak dapat diketahui. Perpaduan antara yang dapat dimengerti dan yang tidak dapat dimengerti. Perpaduan antara yang dapat dijelaskan dan yang tidak dapat dijelaskan. Perpaduan antara yang dapat dibuktikan dan yang tidak dapat dibuktikan. Jalan ketiga ini merupakan sebuah sintesis antara ilmu pengetahuan dan misteri antara keterbatasan dan ketidakterbatasan. Ada pengetahuan yang dapat kita kaji dan juga pengetahuan yang diberikan dalam bentuk pengwahyuan dari Allah (inspired by the Holy Spirit).  Dengan kata lain, epistemology kita adalah perpaduan nalar dan spiritual.

True knowledge exists in knowing that you know nothing. 
And in knowing that you know nothing, that makes you the smartest of all. - Socrates

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12