2 Raja-raja 2.1-12 & Markus 9.2-9
Kedua perikop ini menunjukkan kesinambungan antara keterbatasan dan keabadian bahwa sebagai manusia, kita tidak akan diam di dalam kediaman di bumi selamanya melainkan kita akan bergerak menuju kediaman yang kekal (baca 2 Kor 5.1). Manusia lahiriah mungkin akan merosot akan tetapi manusia batiniah akan dibaharui dari sehari ke sehari (2 Kor 4.16) sebab TUHAN mengaruniakan Roh di dalam diri kita (2 Kor 5.5) untuk mengerjakan kemuliaan kekal di dalam diri kita (2 Kor 4.17). Untuk itu kita mesti memperhatikan yang tidak kelihatan sebab yang tidak kelihatan adalah kekal (2 Kor 4.18).
TUHAN bukan sebuah ilusi akan tetapi Ia adalah “realita prima” (prime reality) di dalam hidup ini. Ia bukan kuasa kosmos yang tidak berkepribadian melainkan Ia adalah Pribadi yang berpikir dan bertindak. Ia bersifat transcendental dan immanen. Melampaui diri kita dan sekaligus bersedia untuk diam di dalam diri kita dan secara aktif bekerja di tengah-tengah kita. Ia Maha Tahu, Maha Kuasa dan Maha Baik. Kasih adalah substansi Diri-Nya. Ia menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada atau ex nihilo. Ciptaan-Nya teratur dengan sistem terbuka. Ia memberikan kebebasan bagi manusia untuk mengurusi alam dan menjalani hidup.
Nah, sebagai manusia kita juga menyandang sebagian dari kepribadian, transendensi dan inteligensi ilahi. Pemazmur menanyakan, “Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama dengan Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (Mzm 8.5-6).
Paulus berkata, Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat.
1 Korintus 1.26-27
Dengan kata lain, harga diri kita berasal dari Allah. Kita berharga sama sekali bukan karena perbuatan kita melainkan semata-mata oleh karena perbuatan-Nya. Masalah dunia ini adalah manusia berjuang dan berlomba-lomba untuk menjadi signifikan. Kepercayaan diri dipoles secara lahiriah. Kompetensi dan kapabilitas menjadi standar penilaian. Produktivitas dan pencapaian menjadi alat ukur kelayakan seseorang. Akibatnya manusia dikuasai oleh arogansi dan ego pribadi. Daripada dipermuliakan Allah manusia memilih untuk mempermuliakan diri sendiri. Daripada dimahkotai, manusia mencari mahkota sendiri. Padahal semestinya kita menjadi tidak signifikan sehingga Allah yang bekerja di dalam diri kita dan melalui diri kita. Semestinya kita bertanya Apa gunanya apabila seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya? (Mark 8.36).
Manusia ingin menempatkan dirinya di atas panggung, disoroti lampu penerang. Manusia mencari publikasi diri untuk memperoleh dukungan dan keyakinan diri. Bukankah keyakinan diri seperti ini sangat palsu dan ilusional? Bukankah pencapaian seperti ini sangat sia-sia dan tidak berarti? Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes ke atas gunung yang tinggi. Tidak ada lampu sorot dan keramaian di sana. Tidak ada pujian (kecuali pujian dari Allah), tidak ada publikasi bahkan publikasi dilarang (kecuali setelah kebangkitan untuk pemberitaan Injil). Ketika berada di dalam kondisi tidak signifikan, Yesus berupa rupa (transformasi) – pakaian-Nya menjadi sangat putih berkilau dan Ia mengadakan pertemuan dengan Musa dan Elia. Transendensi kekekalan terjadi. Begitu juga dengan pengalaman Elisa. Setiap kali para nabi yang lain menyebut tentang pengangkatan Elia, Elisa menjawab “Diamlah!” atau “jangan dipublikasikan”. Jangan dicetak dibuku, jangan dipasang di spanduk, jangan di post di facebook atau twitter, jangan dikorankan tetapi “diamlah”.
Menyadari akan kepergian guru spiritualnya, Elisa memohon warisan (2 Raj 2.9 & Ul 21.17). Ia mengetahui bahwa ia mesti melanjutkan pelayanan gurunya sehingga ia butuh penyertaan TUHAN dan karunia TUHAN untuk melanjutkan misi dari TUHAN. Saya tertarik untuk memperhatikan perpindahan tempat (perjalanan yang ditunjukkan Allah kepada Elia) yakni Gilgal, Betel, Yeriko dan Yordan. Apa sich signifikansi dari keempat kota tersebut? Di Gilgal terdapat monument 12 batu (Yosua 4.19-24). Gilgal merupakan tempat pertama ketika bangsa Israel memasuki Tanah Perjanjian. Gilgal merupakan tempat mereka meninggalkan kehidupan lama dan memulai kehidupan baru. Betel (rumah Allah) melambangkan kehadiran Allah atau tempat pertemuan dengan Allah (Kej 28.10-19). Di zaman hakim-hakim Betel merupakan tempat Tabut Perjanjian disimpan. Di Yeriko (Yosua 6.2-5) TUHAN menyatakan supremasi Diri-Nya ketika merobohkan benteng Yeriko yang kokoh. TUHAN bekerja, manusia beriman! Yeriko berkaitan erat dengan “perjalanan iman”. Dan yang terakhir sungai Yordan (Yosua 3). Sungai Yordan adalah tempat penyeberangan dari padang gurun menuju Tanah Perjaniian. Yordan sarat dengan sunat dan baptisan, kematian dan kebangkitan. Secara implisit, keempat tempat tersebut menunjukkan sebuah perjalanan hidup – Gilgal (meninggalkan hidup lama), Betel (diam di dalam kehadiran Allah), Yeriko (beriman kepada Allah) dan Yordan (pembaharuan hidup).
Perhatikanlah yang tidak kelihatan sebab yang tidak kelihatan bersifat kekal. Jadikan hidup kita bagian dari Drama TUHAN. Dan hidup kita sebagai salah satu bab di dalam drama TUHAN yang terinterkoneksi dengan bab-bab milik orang lain. Sehingga hidup kita bukanlah sebuah keterpisahan melainkan bagian dari Drama Allah. Pertemuan Musa, Elia dan Yesus telah menunjukkan akan adanya interkoneksi kehidupan manusia apabila manusia hidup di dalam keabadian. Kekekalan dimulai saat ini!