Kini kesibukan sudah
menjadi karakteristik kehidupan metropolis. Berjalan dengan cepat, berbicara
dengan cepat dan makan dengan cepat merupakan upaya untuk menghemat waktu. Berada
di dalam gerbong MRT yang padat, terjebak kemacetan dan terjebak kesibukan
sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak heran apabila seseorang
ditanya apa kabarnya dia menjawab “Saya sibuk sekali”. Dan respondernya menjawab,
“wah baik sekali.” Kesibukan sudah menjadi simbol dan status keberhasilan.
Mungkin sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah seseorang berespon,
“waduh, kasihan sekali kamu sampai sibuk sekali”. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia kagum pada orang yang sibuk.
Marta merupakan
gambaran orang yang penuh inisiatif, perfeksionis, gesit dan giat. Sedangkan
Maria merupakan gambaran seorang pemikir, perancang, visioner dan penuh
inspirasi. Baik Marta dan Maria merupakan karakter yang penting dan sangat
dibutuhkan baik di organisasi, perusahaan maupun gereja. Kita selalu
membutuhkan pemikir, perencana strategi dan pengembang. Dan kita juga
membutuhkan ekskusioner atau pelaksana. Sebenarnya perpaduan Maria (being) dan Marta (doing) merupakan kombinasi yang penting di dalam kehidupan
spiritualitas seseorang dan being harus
menjadi fondasi doing.
Marta menerima (NIV: open her house) Yesus di rumahnya
dan melayani Yesus sesuai dengan keramahtamahan Timur Tengah. Apa yang Marta
lakukan sesuai dengan aturan umum, dia melakukan apa yang dilakukan setiap
orang di dalam budayanya. Dia menjalani apa yang disebut dengan “kebiasaan”. Umumnya,
orang bertanya, “Biasanya seperti bagaimana?” “Biasanya atau kebiasaan”
dijadikan parameter untuk mengukur apakah sesuatu pantas untuk dilakukan. Menurut
Michael Foley pengulangan dan kebiasaan membunuh persepsi dan mengurangi
pengalaman (Foley 2010, 130). Kebiasaan dan pengulangan akan membunuh
inspirasi. Sebenarnya dengan menginternalisir kebenaran seseorang akan keluar
dari jalur “kebiasaan” oleh karena kebenaran tidak bisa dikurung dengan ”kebiasaan”.
Mungkin Marta adalah
seorang yang perfeksionis dan seorang yang bekerja dengan cepat. Anggap saja
dia menyediakan yogurt, roti bundar dan daging sapi panggang. Yang jelas, Marta
melayani Yesus hingga “sibuk sekali” (ayat 40). Persoalannya adalah “sibuk”
seringkali tidak sebatas menyelesaikan tugas yang banyak. Sibuk selalu disertai
dengan beban jiwa, beban pikiran, perasaan lelah, kesal, marah dan bingung. Penting
bagi kita untuk bertanya, “Mengapa saya sibuk?” Apakah kesibukan saya bisa
menjadi berarti? Apakah saya bisa sibuk tanpa merasa sibuk?
Marta melayani Yesus
dengan mengerjakan banyak hal. Dia marah karena Maria tidak menolong dia.
Amarah tersebut terpendam dan mungkin semakin berat di saat dia memotong roti,
menuang yogurt dan di saat menyajikan makanan. Karena tidak dapat menahan
luapan “zat kimia” di dalam dirinya maka meledaklah “tenaga nuklir” di dalam
hatinya. Ia berteriak, “Tuhan,
tidakkah engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri?”
Amarahnya tidak hanya tertuju pada Maria tetapi juga terhadap TUHAN. Tidak
jarang kita menemukan orang Kristen yang marah pada TUHAN karena terlalu sibuk
menjadi panitia penyambut, panitia natal maupun melayani di berbagai bidang pelayanan.
Marta kemudian memberikan perintah kepada Yesus, tamu yang ia jamu di rumahnya,
“Suruhlah dia membantu aku!”. Di satu sisi, Marta sangat ramah pada tamunya tetapi di sisi lain Marta bersikap kasar (baca: tidak sopan) pada tamunya. Sedemikian besar luapan emosi di dalam
diri Marta. Persoalan Marta merupakan gambaran “jiwa yang sibuk”, “jiwa yang
tidak tenang” atau “jiwa yang bertahan dan bersembunyi di balik banyaknya
aktivitas”. Persoalan Marta juga
merupakan gambaran gereja yang “sangat sibuk sekali”. Gereja yang menyusahkan
diri dengan banyaknya aktivitas. Gereja yang tidak mampu menentukan prioritas.
Gereja yang mengaburkan core business
dan prioritas.
Kesibukan telah menjadi
karakterikstik manusia teknologi oleh karena manusia semakin efektif. Foley mengkritik manusia modern mengatakan
bahwa manusia tidak merasa hidup secara penuh apabila tidak mengerjakan 3 hal dalam
waktu yang bersamaan (Foley 2010, 95). Analisa Foley sangat tepat sebab dalam
kehidupan yang terkoneksi (hyperlink) manusia diharuskan untuk
“ber-multi-tasking”. Apabila kita mampu memprioritaskan maka kita dapat berada
di dalam kondisi “sibuk tanpa hati yang sibuk” atau lebih tepatnya
“mengerjakan banyak hal tanpa menjadi sibuk”.
Yesus menegur Marta, “Marta,
Marta”. “Marta… Marta..” merupakan ekspresi yang mengasihani. Yesus menunjukkan bahwa Marta “kuatir dan
menyusahkan diri dengan banyak perkara”.
Jadi kondisi jiwa Martalah yang sebenarnya menjadi persoalan di sini.
Bukan keramahtamahannya juga bukan pelayanannya melainkan “kekuatiran” dan
tindakan “menyusahkan diri”. Pepatah
bahasa Inggris mengatakan, “Don’t just sit there, do something! Adakalanya
pepatah ini perlu dibalik menjadi, “Don’t just do something, sit there!”
Maria merupakan
gambaran, “Don’t just do something, sit there!” Maria “memilih bagian yang
terbaik”. Maria tidak menyusahkan dirinya. Ia memahami prinsip “first things first”. Dia bisa “memprioritaskan”. Tidak ada yang bisa merampas apa yang Maria
prioritaskan. Jiwanya memperoleh ketenangan. Sedangkan Marta telah dirampas
oleh kekuatiran dan penyusahan diri. Memilih yang terbaik bukan tidak disertai
konsekuensi yang buruk. Maria dicap sebagai, “pemalas, dingin dan tidak
peduli”. Pada saat memberikan minyak narwastu yang mahal kepada Yesus, Maria
dicap sebagai “narsis, mencari perhatian, boros dan tidak peduli pada orang
miskin”. Di saat memprioritaskan, seseorang bisa disalahpahami. Yesus sendiri
ditegur oleh Petrus saat Ia menarik diri ketika orang-orang sakit
berbondong-bondong mendatangi Dia untuk memohon kesembuhan. Tetapi Yesus pergi
begitu saja. Bukankah perbuatan Yesus akan menimbulkan amarah pada orang-orang
yang sudah datang mencari-Nya? Yesus
akan dicap sebagai guru yang tidak memiliki kasih, tidak peduli pada yang lemah
dan tidak bertanggungjawab. Karena selalu ada orang yang bukan Maria juga bukan
Marta. Siapakah mereka? Mereka adalah para spectator (penonton) dan komentator.
Mereka adalah para ahli di dalam mengemukakan pendapat tetapi menolak untuk
melayani sebagai perancang maupun pelaksana.
Mungkin kita perlu
memikirkan bagaimana memadukan keramahtamahan dengan pekerjaan kita.
Mengerjakan dengan hospitalitas akan menambah sukacita. Memprioritaskan dan
memilih yang terbaik semestinya menjadi
landasan kita di dalam bekerja. Kiranya kita bisa bekerja tanpa merasa sibuk.
Kiranya kita memandang pekerjaan kita sebagai karya dan bukan beban. Pilihlah
yang terbaik!
"Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!
Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!"
(Mazmur 46:11)
Referensi
Foley, Michael. 2010. The Age of Absurdity: Why Modern Life
Makes It Hard to be Happy. UK: CBS
Company.
Batam, 22 Juli 2013
Johan Newton Crystal