Monday, 22 July 2013

MENGAPA SIBUK?



Kini kesibukan sudah menjadi karakteristik kehidupan metropolis. Berjalan dengan cepat, berbicara dengan cepat dan makan dengan cepat merupakan upaya untuk menghemat waktu. Berada di dalam gerbong MRT yang padat, terjebak kemacetan dan terjebak kesibukan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak heran apabila seseorang ditanya apa kabarnya dia menjawab “Saya sibuk sekali”. Dan respondernya menjawab, “wah baik sekali.” Kesibukan sudah menjadi simbol dan status keberhasilan. Mungkin sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah seseorang berespon, “waduh, kasihan sekali kamu sampai sibuk sekali”. Hal ini menunjukkan bahwa manusia kagum pada orang yang sibuk.

Marta merupakan gambaran orang yang penuh inisiatif, perfeksionis, gesit dan giat. Sedangkan Maria merupakan gambaran seorang pemikir, perancang, visioner dan penuh inspirasi. Baik Marta dan Maria merupakan karakter yang penting dan sangat dibutuhkan baik di organisasi, perusahaan maupun gereja. Kita selalu membutuhkan pemikir, perencana strategi dan pengembang. Dan kita juga membutuhkan ekskusioner atau pelaksana. Sebenarnya perpaduan Maria (being) dan Marta (doing) merupakan kombinasi yang penting di dalam kehidupan spiritualitas seseorang dan being harus menjadi fondasi doing.

Marta menerima (NIV: open her house) Yesus di rumahnya dan melayani Yesus sesuai dengan keramahtamahan Timur Tengah. Apa yang Marta lakukan sesuai dengan aturan umum, dia melakukan apa yang dilakukan setiap orang di dalam budayanya. Dia menjalani apa yang disebut dengan “kebiasaan”. Umumnya, orang bertanya, “Biasanya seperti bagaimana?” “Biasanya atau kebiasaan” dijadikan parameter untuk mengukur apakah sesuatu pantas untuk dilakukan. Menurut Michael Foley pengulangan dan kebiasaan membunuh persepsi dan mengurangi pengalaman (Foley 2010, 130). Kebiasaan dan pengulangan akan membunuh inspirasi. Sebenarnya dengan menginternalisir kebenaran seseorang akan keluar dari jalur “kebiasaan” oleh karena kebenaran tidak bisa dikurung dengan ”kebiasaan”.

Mungkin Marta adalah seorang yang perfeksionis dan seorang yang bekerja dengan cepat. Anggap saja dia menyediakan yogurt, roti bundar dan daging sapi panggang. Yang jelas, Marta melayani Yesus hingga “sibuk sekali” (ayat 40). Persoalannya adalah “sibuk” seringkali tidak sebatas menyelesaikan tugas yang banyak. Sibuk selalu disertai dengan beban jiwa, beban pikiran, perasaan lelah, kesal, marah dan bingung. Penting bagi kita untuk bertanya, “Mengapa saya sibuk?” Apakah kesibukan saya bisa menjadi berarti? Apakah saya bisa sibuk tanpa merasa sibuk?

Marta melayani Yesus dengan mengerjakan banyak hal. Dia marah karena Maria tidak menolong dia. Amarah tersebut terpendam dan mungkin semakin berat di saat dia memotong roti, menuang yogurt dan di saat menyajikan makanan. Karena tidak dapat menahan luapan “zat kimia” di dalam dirinya maka meledaklah “tenaga nuklir” di dalam hatinya. Ia berteriak,  “Tuhan, tidakkah engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri?” Amarahnya tidak hanya tertuju pada Maria tetapi juga terhadap TUHAN. Tidak jarang kita menemukan orang Kristen yang marah pada TUHAN karena terlalu sibuk menjadi panitia penyambut, panitia natal maupun melayani di berbagai bidang pelayanan. Marta kemudian memberikan perintah kepada Yesus, tamu yang ia jamu di rumahnya, “Suruhlah dia membantu aku!”. Di satu sisi, Marta sangat ramah pada tamunya tetapi di sisi lain Marta bersikap kasar (baca: tidak sopan) pada tamunya. Sedemikian besar luapan emosi di dalam diri Marta. Persoalan Marta merupakan gambaran “jiwa yang sibuk”, “jiwa yang tidak tenang” atau “jiwa yang bertahan dan bersembunyi di balik banyaknya aktivitas”.  Persoalan Marta juga merupakan gambaran gereja yang “sangat sibuk sekali”. Gereja yang menyusahkan diri dengan banyaknya aktivitas. Gereja yang tidak mampu menentukan prioritas. Gereja yang mengaburkan core business dan prioritas.

Kesibukan telah menjadi karakterikstik manusia teknologi oleh karena manusia semakin efektif.  Foley mengkritik manusia modern mengatakan bahwa manusia tidak merasa hidup secara penuh apabila tidak mengerjakan 3 hal dalam waktu yang bersamaan (Foley 2010, 95). Analisa Foley sangat tepat sebab dalam kehidupan yang terkoneksi (hyperlink) manusia diharuskan untuk “ber-multi-tasking”. Apabila kita mampu memprioritaskan maka kita dapat berada di dalam kondisi “sibuk tanpa hati yang sibuk” atau lebih tepatnya “mengerjakan banyak hal tanpa menjadi sibuk”. 

Yesus menegur Marta, “Marta, Marta”. “Marta… Marta..” merupakan ekspresi yang mengasihani.  Yesus menunjukkan bahwa Marta “kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara”.  Jadi kondisi jiwa Martalah yang sebenarnya menjadi persoalan di sini. Bukan keramahtamahannya juga bukan pelayanannya melainkan “kekuatiran” dan tindakan “menyusahkan diri”.  Pepatah bahasa Inggris mengatakan, “Don’t just sit there, do something! Adakalanya pepatah ini perlu dibalik menjadi, “Don’t just do something, sit there!”

Maria merupakan gambaran, “Don’t just do something, sit there!” Maria “memilih bagian yang terbaik”. Maria tidak menyusahkan dirinya. Ia memahami prinsip “first things first”. Dia bisa “memprioritaskan”.  Tidak ada yang bisa merampas apa yang Maria prioritaskan. Jiwanya memperoleh ketenangan. Sedangkan Marta telah dirampas oleh kekuatiran dan penyusahan diri. Memilih yang terbaik bukan tidak disertai konsekuensi yang buruk. Maria dicap sebagai, “pemalas, dingin dan tidak peduli”. Pada saat memberikan minyak narwastu yang mahal kepada Yesus, Maria dicap sebagai “narsis, mencari perhatian, boros dan tidak peduli pada orang miskin”. Di saat memprioritaskan, seseorang bisa disalahpahami. Yesus sendiri ditegur oleh Petrus saat Ia menarik diri ketika orang-orang sakit berbondong-bondong mendatangi Dia untuk memohon kesembuhan. Tetapi Yesus pergi begitu saja. Bukankah perbuatan Yesus akan menimbulkan amarah pada orang-orang yang sudah datang mencari-Nya?  Yesus akan dicap sebagai guru yang tidak memiliki kasih, tidak peduli pada yang lemah dan tidak bertanggungjawab. Karena selalu ada orang yang bukan Maria juga bukan Marta. Siapakah mereka? Mereka adalah para spectator (penonton) dan komentator. Mereka adalah para ahli di dalam mengemukakan pendapat tetapi menolak untuk melayani sebagai perancang maupun pelaksana.

Mungkin kita perlu memikirkan bagaimana memadukan keramahtamahan dengan pekerjaan kita. Mengerjakan dengan hospitalitas akan menambah sukacita. Memprioritaskan dan memilih  yang terbaik semestinya menjadi landasan kita di dalam bekerja. Kiranya kita bisa bekerja tanpa merasa sibuk. Kiranya kita memandang pekerjaan kita sebagai karya dan bukan beban. Pilihlah yang terbaik!


"Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!

Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!" (Mazmur 46:11)





Referensi

Foley, Michael. 2010. The Age of Absurdity: Why Modern Life Makes It Hard to be Happy. UK: CBS Company.

Batam, 22 Juli 2013
Johan Newton Crystal


Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12