Komputer
Tablet merupakan produk teknologi zaman sekarang yang berpotensi menggantikan
laptop di masa depan dengan kecanggihannya yang bersifat user-friendly. Ukurannya yang kecil dan tipis, mudah disimpan dan dibawah
dengan daya tahan baterai yang jauh melampaui kemampuan laptop. Sudah tidak jarang
kita menyaksikan orang-orang menggunakan smartphone dan tablet di tempat-tempat
umum seperti café, restoran, MRT maupun bandara. Seringkali, tablet dijadikan alat
untuk menghilangkan rasa suntuk atau bosan dengan bermain game maupun berelasi menggunakan
jejaring sosial seperti Myspace, Facebook, Twitter, Line, Wechat dan pasti akan
terus bertambah. Dengan kata lain, tablet (baca obat) digunakan untuk mengobati
rasa bosan dan kesepian. Tablet juga memiliki kemampuan lainnya seperti
berfungsi sebagai agenda kegiatan/kerja, mengelola data, mengakses informasi
maupun alat komunikasi. Dengan kata lain, tablet telah menjadi simbol
kecerdasan dan efektivitas. Tablet sebagai produk teknologi juga merupakan
simbol pengendalian (control). Tablet dengan kemampuan layar sentuh (touch
screen) telah menjadi jendela untuk menyentuh dunia. Menurut Michael Foley,
layar telah menjadi penguasa zaman kini bahkan “realita” telah berpindah ke
dalam layar (Foley 2010, 135). Sehingga segala sesuatu harus difoto atau
difilmkan untuk menjadi realita (Foley 134).
Para
Sosiolog Amerika membagikan jenjang generasi dengan sebutan Generasi Baby Boom
(1946-1964), generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997) dan generasi Z
(Next) (1998-sekarang). Generasi Baby Boom tumbuh besar bersama dengan televisi
dan umumnya merupakan penonton pasif (Tapscott 2009, 31). Teknologi internet
masih termasuk hal baru bagi generasi Baby Boom maupun generasi X, tetapi tidak
demikian bagi generasi Z yang bertumbuh bersama dengan teknologi internet. Coco
Conn, pendiri proyek Cityspace mengungkapkan bahwa bagi generasi Z, “teknologi
bagaikan udara” (Tapscott 2009, 29). Bagi mereka, email itu jadul sebab mereka
menggunakan Facebook, Twitter, Skype, Line maupun Wechat. Mereka juga sering membroadcast via bbm dan Youtube serta
menulis di blog pribadi. Mereka meng-upload proses membuka bungkus gadget terbaru
mereka ke Youtube. Mereka tidak membaca koran, mereka bertanya, “Untuk apa
boros uang membeli koran?” sebab mereka membaca google news ataupun yahoo
news. Mereka tidak perlu mempelajari bagaimana menggunakan handphone maupun
tablet sebab mereka bisa menggunakannya secara alami. Generasi X bisa membuat
meriam dari kaleng dan ketapel dari dahan pohon, generasi Y dan Z bisa mengedit
foto, blogging, unduh film, upload video, edit lagu dan multi-tasking, tetapi akan
bingung jika diminta untuk membuat ketapel atau meriam kaleng.
Bagaimana
dengan salib? Salib yang dimaksud Yesus di sini tentunya bukan kalung salib
yang kecil dan ringan juga bukan kayu salib yang digantung di dinding rumah
yang bisa dijinjing. Tetapi salib yang besar dan berat yang harus dipikul. Kita
tidak bisa berlari dengan salib tersebut. Salib tersebut hanya membungkukkan
tubuh kita oleh karena beratnya. Mengapa Yesus memilih untuk menggunakan metafora
seperti ini untuk mengungkapkan jalan para pengikut-Nya? Bukankah membawa Ipad atau Samsung Tablet akan jauh lebih efektif, efisien dan keren?
Memikul
salib di zaman pemerintahan Romawi merupakan hal yang memalukan sebab salib
merupakan simbol hukuman mati. Salib tidak memiliki tombol On / Off. Tidak seperti layar sentuh Ipad maupun Samsung tablet
yang halus, salib berpermukaan kasar. Ukurannya yang besar dan berat membuat salib
sangat sulit dibawa maupun dikendalikan, berbeda dengan tablet dengan layar sentuh
yang sangat mudah digunakan. Memikul salib bagaikan seorang yang berjalan
menuju kematian. Yang tampak kuat belum tentu kuat dan yang tampak lemah belum tentu
lemah. Salib merupakan simbol kekuatan di balik kelemahan.
Yesus
berkata, “Setiap orang yang mau mengikut
Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat
16:24). Pikul salib merupakan simbol penyangkalan diri. Yesus berkata, “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia
akan kehilangan nyawanya tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia
akan memperolehnya” (Mat 16:25). Penyangkalan
diri termasuk menyangkal agenda pribadi, impian, cita-cita dan ego. Menyangkal
diri berarti diri sendiri tidak menjadi “pusat referensi”. Apabila diri kita
menjadi pusat referensi maka kebenaran absolut dianggap ada pada diri kita.
Bagi
saya “memikul salib” bukan seperti yang dimaksudkan oleh kebanyakan orang Kristen
yakni hidup sederhana (seringkali hanya bersifat
berpura-pura padahal hatinya berkompleksitas tingkat tinggi), hidup pas-pasan,
menahan hawa nafsu. Memikul salib seperti ini membuat seseorang merasa sudah “sangat
menderita” bagi Kristus, bahkan berpotensi merasa “benar”alias “self-righteousness”.
Bagi saya, memikul salib berarti menyadari “momento
mori” yakni setiap kita akan mati. Memikul salib merupakan simbol seorang narapidana
menuju hukuman mati. Hal ini mengingatkan kepalsuan diri kita harus menuju kematian.
Memikul salib bukan untuk merasa lebih hebat, lebih kudus, lebih pietis atau lebih
pintar tetapi merasa lemah, tidak layak, tidak mampu dan hanya bisa mengandalkan
pertolongan dari Sang Pencipta langit dan bumi. Salib juga merupakan simbol kelemahan,
tidak ada yang dapat kita banggakan dalam hidup ini. Paulus mengatakan, “Tetapi sekali-kali aku tidak bermegah, selain
dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku
dan aku bagi dunia” (Gal 6:14). Bagi
dunia, salib merupakan kebodohan (1 Kor 1:18).
Mengikut
Yesus mendemonstrasikan bahwa Yesus berjalan di depan kita. Pandangan kita berorientasi
pada Yesus. Memikul salib dan mengikuti Yesus berarti berorientasi pada TUHAN
yang merupakan “Pusat Referensi” (Kehendak Bapa). Mengikut Yesus berarti
“kehidupan” merupakan destinasi akhir sebab Yesus merupakan “Jalan, Kebenaran
dan Hidup”. Walaupun salib kita tidak disertai dengan wifi atau broadband
tetapi selalu terkoneksi dengan Salib Kristus. Hanya dengan menyangkal “ego”
atau kepalsuan diri kita dapat mengikut Kristus. Kita dapat berlari di depan Yesus
apabila kita membawa tablet, tetapi tidak dengan membawa salib. Salib terlalu berat,
terlalu tidak efisien dan tidak efektif. Kita hanya bisa berjalan di belakang Yesus.
Ketika mengalami disorientasi dan merasa bingung dengan berbagai penderitaan dunia
ini, cukup menatap Yesus dan salib-Nya.
Bagaimana
dengan Ipad dan Samsung tablet kita? Apakah kita dapat membawa Ipad dan Samsung Tablet
sambil memikul salib? Ipad dan Samsung sebagai “sumber daya”
(resourcefulness menurut Koyama) atau bekal juga perlu disalib (tablet crucified). Tablet sebagai
simbol kecerdasan, efektivitas, efisiensi, pengetahuan, pengalaman, manajemen
informasi, talenta, kemampuan, kebajikan tidak ditolak tetapi perlu disalib. Bagaikan
seorang anak kecil yang menyerahkan 5 roti dan 2 ikan kepada Yesus dan menjadi
berkat buat dirinya dan sesama. Atau bagaikan seorang yang setia mengelola
talenta dari TUHAN dan menyerahkan hasil talenta itu kembali kepada TUHAN tidak
kehilangan talenta malah ditambahkan talentanya sebab Yesus bersabda bahwa “Karena setiap orang yang mempunyai,
kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak
mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya” (Matius
25:29). Menggunakan “tablet” dengan
penuh hikmat dan penuh tanggungjawab justru akan memperluas atau mempermantap
“tablet” kita. Ingatlah, kebanggaan kita bukan pada tablet tetapi pada salib.
Referensi
Foley, Michael. 2010. The Age of Absurdity: Why Modern Life
Makes It Hard to be Happy. UK: CBS
Company.
Koyama, Kosuke. 1977. No Handle on the Cross. Oregon: Wipf and
Stock.
Tapscott,
Don. 2009. Grown up Digital.
Jakarta: Gramedia.
Batam,
18 Juli 2013
Johan Newton Crystal