Filipi 1.18-26
Pada suatu ketika di China,
seorang istri menyuruh suaminya untuk membeli sebuah sisir rambut. Suaminya pun
berangkat berbelanja di kota dan pulang membawa sebuah cermin. Ketika istrinya
melihat ke dalam cermin, istrinya langsung menangis sambil membawa cermin itu
ke rumah ibunya dan berkata, “Suamiku menyukai perempuan lain”. Ketika ibunya
melihat ke dalam cermin itu ia berkata, “Astaga, menantuku jatuh cinta sama
seorang nenek tua.” Keributan di rumah pun terjadi hingga sampai ke pengadilan.
Ketika hakim melihat ke dalam cermin tersebut, sang hakim langsung marah dan
berkata, “penghinaan, mengapa kalian membawa seorang yang mengenakan topi dan
jubah hakim, menghadap aku?”
Kisah di atas mengingatkan kita
akan kecenderungan manusia melihat segala sesuatu dari perspektif diri sendiri.
Setiap kita menyimpan data di dalam ingatan kita dari waktu ke waktu. Dan
setiap kali mendengarkan atau melihat sesuatu kita akan mengakses data yang
tersimpan di dalam ingatan kita. Apabila kita tidak menemukan asosiasi di dalam
ingatan kita maka kita tidak mampu mengenal apa yang kita lihat atau dengarkan.
Hal ini penting untuk disadari agar kita dapat membaca pikiran kita sendiri
sebab manusia memang cenderung ego-sentris. Tetapi persoalannya adalah
ego-sentrisitas dapat memperberat tanggungan dan beban stress seseorang oleh
karena orientasi pikiran yang kuat pada diri sendiri terutama pada masa-masa
sulit. Apalagi jika pengalaman peristiwa buruk terus di-replay oleh korban yang
akan memperberat beban pikiran dan psikis seseorang. Beban pikiran dan psikis
berpotensi melelahkan kondisi jiwa seseorang kecuali ia mengubah perspektifnya
dari perpektif diri kepada perspektif Kristus. Perspektif yang bersifat holistic, intergrated dan abadi membuka wawasan seseorang.
Paulus mengatakan bahwa jauh
lebih baik apabila ia dapat pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus (baca
mati), namun ia juga berharap dapat tetap hidup untuk menolong orang-orang
percaya agar tetap maju (1 Filipi 1.23-26). Paulus mengekspresikan bahwa ia
didesak oleh dua pihak – keinginan untuk mati dan keinginan untuk tetap hidup. Paulus
ingin “pergi” tetapi ia juga ingin “tinggal”. Tampaknya Paulus mengalami
gejolak jiwa yang dilematis. Mengapa sampai demikian? Benar, dia sedang dipenjara.
Tetapi apakah kondisinya yang sedang dipenjara merupakan alasan utama ia
mengingini kematian? Saya yakin tidak. Dia membicarakan soal berbagai motivasi
pemberitaan tentang Kristus, ada yang karena dengki dan perselisihan ada yang
karena kasih. Ada juga yang dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri dan dengan
maksud yang tidak ikhlas. Justru inilah yang memperberat beban Paulus dalam
penjara (Baca Filipi 1.15-17). Kompetisi pelayanan, iri hati, dengki dan
orang-orang yang tidak menyukai Paulus membuat Paulus sangat tertekan ditambah
ia tidak dapat keluar dari penjara untuk menyelesaikan persoalan di tengah
jemaat.
Walapun demikian, sewaktu
dipenjara, Paulus tidak meratapi kondisinya. Ia tidak mengasihani dirinya
sendiri. Pengasihan diri hanya akan memperparah kondisi psikis seseorang. Ia
memperbaharui perspektif. Walaupun ada banyak orang-orang Kristen yang
mengabarkan Injil dengan berbagai motivasi tersembunyi, dengan pandangan
terbuka Paulus berkata, “Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus
diberitakan baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku
bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita.” (Filipi 1.16).
Konflik diri pada diri Paulus
terselesaikan ketika ia meng-akomodir kedua pihak – hidup atau mati. Ia siap untuk
pergi dan siap untuk tinggal. “Pergi”(ἀναλύω
baca analuo – kata dasar ύω baca
luo melonggarkan, membongkar tenda, mengendorkan tali
pengikat, mengangkat jangkar atau memecahkan persoalan). Melalui kata “pergi”
dan “diam” Paulus sedang mengekspresikan keinginannya untuk mati dan diam
bersama Kristus, keinginan agar hidupnya di dunia dapat segera berakhir dan
hidup bersama Krisus di dalam keabadian. Namun Paulus juga mengatakan bahwa ia
ingin “tinggal” (ἐπιμένω baca
epimeno – kata dasar mένω
baca meno – tinggal, diam, bertahan, tinggal
bersama atau berada di samping). Ia tidak berangkat dari perspektif
ego-sentris, ia berharap hidup orang-orang percaya dapat terus mengalami
improvisasi apabila ia tinggal/diam bersama mereka.
Paulus memandang sisi positif
dari kedua pihak – “Bagiku, hidup adalah
Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1.21). Inilah yang saya maksud
dari perspektif abadi yang terlihat dari sikap hidup Paulus. Perspektif Abadi menembus
waktu dan tempat sehingga ia dapat mengatakan bahwa keduanya sama-sama baik –
Hidup maupun Mati. Perspektif abadi menolong kita melihat kesementaraan dari
apa yang sedang kita alami dan memfokuskan pikiran kita kembali pada Kristus.
Ketika hidup melelahkanmu, ingatlah akan perspektif abadi!