“Pak, nasi
ayam gulai satu bungkus. Tidak pake kuah santan, tidak pake lalapan. Pake cabe
ijo”.
Kemudian penjual berespon, “Siap bos!”.
Karena tidak memperhatikan saat dibungkus, setiba di rumah pembeli menemukan,
nasi ayam gulainya disirami kuah santan hingga sangat basah, disertai lalapan
dan berisi cabe merah. Mendengarkan memang terkesan mudah tetapi sebenarnya tidak mudah. ("hearing" is different from "listening"). Seringkali kita terlalu sibuk untuk mendengarkan (we are too occupied to listen).
Mendengarkan membutuhkan kerendahan hati. Mendengarkan membutuhkan keheningan
hati. Sulit sekali bagi seorang yang sombong untuk mendengarkan. Tanpa
keheningan hati, seseorang akan cenderung salah mendengar (baca salah mengerti) apabila tidak mendengarkan dengan saksama. Mendengar
itu penting sebab mendengarkan (listen
& heed) merupakan langkah awal untuk memahami dan menaati. Musa
memanggil, “Dengarlah saudara-saudara,
lakukanlah itu dengan setia supaya kamu sejahtera dan menjadi bangsa yang besar
di negeri yang kaya, dan subur, seperti dijanjikan TUHAN Allah leluhur kita”
(Ul 6.3). Yesus juga menekankan, “Hukum
yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel! TUHAN Allah kita, TUHAN itu
esa.” (Mar 12.29).
שְׁמַע יִשְׂרָאֵל (Baca Shema
Yisrael). “Dengarlah, hai orang Israel” merupakan
kata pembuka penyampaikan hukum terutama yang mengindikasikan betapa pentingnya
hukum terutama sehingga perlu diperhatikan dengan sepenuh hati. Ketika mendaki
hingga ke puncak gunung kita dapat mendengarkan suara gunung yakni suara
keheningan gunung. Hati yang tenang akan dapat mendengarkan dengan jauh lebih
baik. Hai umat, dengarlah!
Sebuah
mobil mewah berkecepatan maksimum 300 km per jam, memiliki desain interior yang
nyaman dan ekslusif, dilengkapi dengan wifi berkecepatan tinggi, HD LCD video
player dan GPS namun mobil tersebut tidak dilengkapi dengan lampu depan dan
rem. Apakah Saudara bersedia mengendarai mobil tersebut? Hukum bagaikan lampu
dan rem di mobil yang menerangi jalan yang gelap dan berfungsi untuk
melindungi. Hukum diberikan untuk ditaati agar “baik keadaan kita” (Baca Ul
6.3). Karena begitu pentingnya hukum sehingga hukum harus diajarkan secara
terus menerus, terjemahan NIV menggunakan kata “to impress” atau mengesankan. Mengesankan (to impress) anak-anak akan betapa pentingnya hukum. Hukum harus
dibicarakan (talk), disampaikan dan
kemudian diikat (tie) yang artinya
disimbolkan sebagai peringatan (Baca Ul. 6.7-8). Hukum terutama diberikan atas
dasar “Yahweh is one!” (TUHAN itu esa). Karena TUHAN itu satu maka kasih hukum menjadi
jelas dan pasti.
Yang
menakutkan adalah ketika hukum, aturan dan ritual kehilangan “spirit” atau
fondasi dasarnya yakni “kasih” sehingga hukum, aturan dan ritual hanya menjadi
alat untuk merasa baik, merasa teratur dan merasa sudah memenuhi tanggungjawab
agama. Hukum, aturan dan ritual juga dapat diperalat untuk mengekang,
memanipulasi, mengeskploitasi, meremehkan, merendahkan orang lain. Untuk itu,
hukum tidak pernah boleh terpisah dengan kasih sebab kasih adalah dasar hukum
yang diberikan TUHAN kepada umat-Nya. TUHAN adalah Kasih. Dia adalah Designer
Kasih yang mendesain alam semesta ini dengan kasih sehingga kasih merupakan software
alam semesta atau “the operating system”
of this universe.
Kasih
bagaikan tenaga yang menggerakkan mobil. Kasih tidak bersifat konsumtif tetapi
kasih itu bersukacita memberi dan bersedia berkurban. Seseorang pria yang
mengasihi bersedia membeli sebuah hadiah yang istimewa yang dipilih dengan
penuh cinta kasih dengan harapan hadiahnya disukai oleh wanita yang ia cintai. Seorang
perempuan bersedia dengan penuh sukacita memasakkan nasi goreng, mie goreng
bagi orang yang ia kasihi dengan sepenuh hati dan berlompat-lompat kegirangan. Seorang
ibu bersedia memberikan kue yang paling ia sukai ketika hanya tersisa satu
kepada anaknya atau kepada suaminya. Dunia menjadi tempat yang indah ketika
manusia saling mengasihi dengan tulus dan penuh pergurbanan. Oleh karena kasih
Yesus mempersembahkan Diri-Nya sebagai persembahan yang tak bercacat untuk menyucikan
hati nurani manusia dari perbuatan yang sia-sia agar manusia dapat beribadah
kepada Allah yang hidup (Baca Ibr. 9.14).
Kasih
itu bersifat relasional. Interaksi kasih dimulai dari kasih Allah kepada kita. Oleh
karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita maka kita mengasihi Dia. Maka, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap
hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan
segenap kekuatanmu.” (Ul 6.5 & Mar 12.30). Yesus menambahkan “akal budi”
ke dalam hukum pertama yang disampaikan Musa. Hal ini mungkin dikarena worldview yang berbeda antara orang
Ibrani dan Yunani. Bagi orang Yahudi
segenap jiwa sudah termaksud akal budi sedangkan worldview Yunani yang dualis cenderung
memisahkan jiwa dengan akal budi. Kemudian “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mar 12.32.). Kasih Allah kepada
kita merupakan dasar untuk mengasihi diri kita sendiri dan mengasihi sesama
seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Sebab orang yang tidak mampu
mengasihi diri sendiri tidak akan mampu mengasihi sesama. Seorang yang tidak
mengasihi TUHAN tidak akan mengasihi diri sendiri (kecuali kasih yang egoistic yang
cenderung merusak diri sendiri, disadari atau tidak disadari), dan seseorang yang tidak mengasihi diri
sendiri tidak mampu mengasihi sesama.
Dengarlah dan ingatlah akan 3 L
(Law, Love dan Life). Hukum bagaikan
lampu depan dan rem mobil yang berfungsi untuk mengamankan. Dan Love
bagaikan tenaga yang menggerakkan mobil dalam perjalanan kepada tujuan (Life).
Paulus mengingatkan “orang
yang mengasihi sesama manusia, sudah memenuhi semua hukum Musa.” (Roma 13.8). Yohanes
menegaskan, “Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia
membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak
mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak
dilihatnya.” (1 Yoh. 4.20). Barangsiapa
mempunyai hati, hendaklah ia mendengar!