Manusia
tidak sanggup mengenal TUHAN oleh sebab keterbatasan manusia tidak sanggup
mengenal TUHAN yang tidak terbatas. Walaupun mengkerahkan segala upaya dan
kemampuan, kita tetap saja tidak mampu mengenal Allah. Apabila seseorang mempertanyakan
keilahian Allah, misteri Allah, inkarnasi maupun karya keselamatan maka
Dietrich Bonhoeffer akan mengatakan “Pertanyaan Anda salah!” Maksud Bonhoeffer
adalah sebagai manusia, sebagai makhluk ciptaan Sang Pencipta kita tidak pantas
mempertanyakan pengwahyuan-Nya. Pertanyaan yang bersifat epistemologis yang
diajukan untuk mempertanyakan ontologis pengwahyuan merupakan pertanyaan yang
telah melampaui batas kemampuan kita. Kita akan menemukan diri kita
dipertanyakan TUHAN seperti yang dialami oleh Ayub, “Di
manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau
mempunyai pengertian! “ (Ayub 38.4).
Kita hanya bisa mengenal TUHAN apabila TUHAN
memperkenalkan Diri-Nya Sendiri. Dan TUHAN memilih untuk tidak hanya
memperkenalkan Diri-Nya melalui perkataan-Nya (logos) atau melalui nabi-nabi
saja melainkan memperkenalkan Diri-Nya Sendiri secara ontologis di dalam
sejarah manusia. Melalui inkarnasi (Firman menjadi Manusia) TUHAN
memperkenalkan Diri-Nya sendiri. Apakah ada cara yang lebih baik daripada
memperkenalkan Diri secara ontologism yang ingin Anda sarankan kepada TUHAN?
TUHAN di dalam Kristus memperkenalkan Diri-Nya Sendiri (God’s Self
introduction). TUHAN di dalam Kristus memperkenalkan Diri-Nya Sendiri sebagai
Sang Bapa secara ontologis. Kemudian Ia terus memperkenalkan Diri-Nya secara
spiritual melalui Roh-Nya Sendiri.
Kata Yesus kepadanya: "Telah sekian lama Aku
bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa
itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di
dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku
sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan
pekerjaan-Nya. (Yoh 14.9-10)
Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan
memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu
selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab
dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab
Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. (Yoh 14.16-17)
Kristus
merupakan “gambar Allah yang tidak kelihatan (Kol 1.15 & 2 Kor 4.4) yang
merendahkan Diri dengan “mengosongkan diri” (kenosis) dengan mengambil rupa
seorang hamba (Filipi 2.5-8). Tindakan heroic
TUHAN ternyata sangat berbeda dengan “superheroes” di komik maupun di film-film
blockbuster. Heroicness TUHAN tidak
dipahami oleh manusia. Mengapa menjadi manusia? Mengapa “Anak”? Mengapa disalib
seperti seorang kriminal? Mengapa memposisikan diri dalam posisi yang tampak
sangat lemah? Sehingga “salib” selalu dianggap sebagai “kebodohan” bagi yang
akan binasa (1 Kor 1.18). Maka tidak heran apabila “salib” selalu menjadi “batu
sandungan” dan “kebodohan” (1 Kor 1.23).
TUHAN
menggunakan metafora “induk ayam” yang mau mengumpulkan anak-anak-Nya tetapi
banyak yang menolak (Mat 23.37). Dia adalah Bapa yang mengasihi dan memelihara
anak-anak-Nya (Mat 6.26) yang menantikan kepulangan anak-anak-Nya (Mat
18.12-24) dan berkenan untuk memberikan Kerajaan-Nya (Luk 12.32).
Secara
pastoral, apabila kita memperhatikan apa yang Yesus lakukan, Ia tidak
menjadikan Diri-Nya Sendiri sebagai pusat perhatian melainkan Ia selalu
mengorientasikan pengikut-pengikut-Nya kepada Sang Bapa. Apabila kita menyimak
bagian ini maka tantangan terbesar kita sebagai ayah kandung maupun ayah rohani
adalah memimpin anak-anak kita (termasuk
anak-anak rohani) kepada Sang Bapa. Sebab sebagai manusia, kita terlalu
terbatas bahkan kita tidak sanggup menjamin kehidupan kita sendiri. Kita tidak
sanggup mengalahkan maut. Kelak kematian akan memisahkan kita dengan anak-anak
kita. Kita membutuhkan “Sang Bapa”. Apabila kita tidak memimpin anak-anak kita
kepada Sang Bapa maka secara tidak langsung kita akan menjadi “tuhan pengganti”
atau “The Surrogated-god”. Manusia suka menjadi “juruselamat” karena dengan
menjadi juruselamat ia dapat menambah kepercayaan dirinya. Manusia juga suka
merasa “dibutuhkan” dengan demikian ia menjadi “lebih superior”. Pola pikir
akan menumbuhkan sikap untuk memanipulasi pelayanan yakni melayani orang lain
demi melayani ego diri sendiri. Maka motto pelayanannya pun berupa “I serve in order to feel good”. TUHAN
dijadikan sebagai “simbol” atau “logo” untuk kepentingan diri sendiri.
Kristus
memberikan teladan melalui sikap kehambaan-Nya. Ia merendahkan Diri dan
mengosongkan Diri. Ia tidak menjalani agenda pribadi-Nya sebab Ia hanya
melaksanakan agenda Bapa. TUHAN Sendiri telah memberikan teladan seperti
demikian kepada kita, bagaimana dengan kita? Sebagai ayah dan ibu, kita
dituntut untuk memimpin anak-anak kita kepada Sang Bapa melalui relasi kita
dengan Sang Bapa seperti yang telah dilakukan Kristus.