Keramahtamahan merupakan sebuah
tema yang signifikan di dalam Alkitab. Menerima dan menjamu tamu mencerminkan
hospitalitas seseorang. Tentunya hospitalitas tidak sekedar menjamu tamu tetapi
juga termasuk keterbukaan, penerimaan pada orang lain. Seorang yang ramah tidak
menghakimi melainkan menghargai dan menerima orang lain dengan penuh cinta
kasih. Pernahkah Saudara merenungkan bagaimana sikap Anda ketika menerima atau
menjamu tamu? Bagaimana Saudara memfasilitasi, menjamu sekaligus memberikan
privacy pada tamu? Keramahtamahan juga termasuk membeirkan “a helping hand”
atau sebuah bantuan kecil kepada orang yang sedang dalam kesesakan. Yesus
menggunakan istilah “secangkir air sejuk” (Mat 10:42; Mark 9:41) sebagai bentuk
pemberian yang ramah dan penuh perhatian kepada seseorang yang sedang kehausan
setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Wilayah Sidon sedang mengalami
kekeringan yang cukup parah. Apabila kita melakukan sedikit kilas balik, kita
akan menemukan rasa “sakit hati” TUHAN (1 Raj 16:2,7,13) karena raja-raja
Israel telah melakukan kejahatan dan memimpin hati umat kepada kejahatan.
Alkitab secara spesifik mencatat bahwa kejahatan raja Omri (ayah Ahab) “lebih
dari segala orang yang mendahuluinya” (1 Raj 16:25). Raja Omri membangun sebuah
kota di gunung yang disebut dengan kota Samaria, menurut nama Semer (protection
/ preservation), si pemilik gunung (1 Raj 16:24). Kemudian putera raja Omri,
raja Ahab meneruskan dan bahkan mengimprovisasi kejahatan ayahnya sehingga
kejahatannya melampaui kejahatan ayahnya. Ia membangun kuil Baal dan mezbah
Baal di gunung Samaria (1 Raj 16:32). Ia membangun patung Asyera yang juga
dikenal dengan “mother goddess” atau istri Baal. Ia menikahi Izebel, putri raja
Sidon (sekitar Lebanon masa kini) (1 Raj 16:31). Perbuatannya membuat TUHAN
“sakit hati” (1 Raj 16:33) karena orang-orang ini tidak memprioritaskan TUHAN
dalam hidup mereka. Mereka memprioritaskan Baal (dewa kesuburan) dan melakukan
apa yang keji di mata TUHAN.
Dengan melihat latar belakang
di atas, menjadi jelas mengapa deerah Sarfat yang berada di dalam wilayah Sidon
menderita kekeringan yang berkepanjangan. Seorang janda dan puteranya ikut menjadi
korban dari bencana kekeringan tersebut. Mereka pasti sangat bergumul. Kita
tidak mengetahui pasti apakah mereka memanjatkan permohonan kepada TUHAN Allah
Israel tetapi kita memperoleh informasi bahwa janda ini memiliki sedikit
pengetahuan tentang Allah Israel – “Demi TUHAN, Allahmu yang hidup” (1 Raj
17:22). Pengetahuannya kemudian diperdalam melalui peristiwa kebangkitan
puteranya – “Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang
kau ucapkan itu adalah benar” (1 Raj 17:24). Walaupun pengetahuannya tidak
sempurna, ia menyadari bahwa TUHAN (Yahweh) adalah Allah yang hidup dan ia
memilih untuk memprioritaskan permintaan TUHAN melalui Elia (My God is Yahweh).
TUHAN mengetahui kesengsaraan, pergumulan dan keputusasaan janda tersebut dan
anaknya yang berada di wilayah Sidon. Maka TUHAN mengutus hambanya, Elia untuk
memberikan pertolongan kepada janda ini. Pendekatan TUHAN sangat tidak masuk akal
yakni dengan meminta pemberian dari janda ini yang justru sedang dalam keadaan
serba kekurangan. Hospitalitas TUHAN terhadap Elia, hospitalitas janda kepada
Elia dan hospitalitas TUHAN kepada janda dan puteranya terintegrasi menjadi
satu dalam peristiwa yang mengharukan ini.
Janda ini hanya memiliki sedikit minyak dan
segenggam tepung. Ia mengumpulkan dua tiga potong kayu dan membuat roti untuk
dirinya dan puteranya, makan dan kemudian menantikan kematian. Janda ini dalam
keadaan putus asa, dia sudah siap untuk mati bersama puteranya. Umumnya, para
ibu tidak rela melihat putera-puteri mereka menderita. Bagi mereka lebih baik
mereka sendiri yang menderita daripada melihat anak mereka menderita.
Justru dalam keadaan yang
menyesakkan bagi janda dan anaknya, Elia malah meminta sedikit air minum dan
sepotong roti bundar kecil untuk dirinya sendiri. Sedikit minyak dan segenggam
tepung yang tadinya untuk makan berdua kini harus dimakan bertiga. Permintaan
Elia menjadi beban bagi dirinya. Elia hanyalah seorang asing bagi janda ini. Namun
janda ini menunjukan hospitalitasnya dengan memberikan sedikit minuman dan
membuatkan roti bundar bagi nabi Elia.
Keputusan yang harus diambil
oleh janda ini pasti tidak mudah. Dia harus memilih untuk membuatkan roti
bundar kecil untuk Elia terlebih dahulu. Padahal Elia hanya seorang asing yang
baru saja dia kenal (seorang nabi). Dan TUHAN juga tidak memberikan persediaan
minyak dan tepung yang banyak kepada perempuan janda itu sebelum ia berbagi.
TUHAN juga tidak mengantarkan tepung dan minyak kepadanya. Setiap hari ketika
ia membuat roti dari persediaan tepung ia mungkin berpikir apakah masih akan
ada persediaan untuk besok. Tidak ada kepastian (tidak dapat dilihat) bahwa
tepung dan minyak tidak akan habis besok. Janda ini berada dalam kondisi
kebergantungan total (todal dependency). Nah, ternyata prioritas dan keramahtamahan
janda ini berbalik menjadi berkat bagi dirinya dan anaknya. Ia dan puteranya
dapat terus menikmati minyak dan tepung yang tidak kunjung habis.
Hospitalitasnya membuat dia menerima keramahtamahan dari Allah.
Jakarta, 30 Oktober 2013
lanyongxing
Jakarta, 30 Oktober 2013
lanyongxing