Wednesday, 30 October 2013

Hospitalitas Janda di Sarfat



Keramahtamahan merupakan sebuah tema yang signifikan di dalam Alkitab. Menerima dan menjamu tamu mencerminkan hospitalitas seseorang. Tentunya hospitalitas tidak sekedar menjamu tamu tetapi juga termasuk keterbukaan, penerimaan pada orang lain. Seorang yang ramah tidak menghakimi melainkan menghargai dan menerima orang lain dengan penuh cinta kasih. Pernahkah Saudara merenungkan bagaimana sikap Anda ketika menerima atau menjamu tamu? Bagaimana Saudara memfasilitasi, menjamu sekaligus memberikan privacy pada tamu? Keramahtamahan juga termasuk membeirkan “a helping hand” atau sebuah bantuan kecil kepada orang yang sedang dalam kesesakan. Yesus menggunakan istilah “secangkir air sejuk” (Mat 10:42; Mark 9:41) sebagai bentuk pemberian yang ramah dan penuh perhatian kepada seseorang yang sedang kehausan setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan.

Wilayah Sidon sedang mengalami kekeringan yang cukup parah. Apabila kita melakukan sedikit kilas balik, kita akan menemukan rasa “sakit hati” TUHAN (1 Raj 16:2,7,13) karena raja-raja Israel telah melakukan kejahatan dan memimpin hati umat kepada kejahatan. Alkitab secara spesifik mencatat bahwa kejahatan raja Omri (ayah Ahab) “lebih dari segala orang yang mendahuluinya” (1 Raj 16:25). Raja Omri membangun sebuah kota di gunung yang disebut dengan kota Samaria, menurut nama Semer (protection / preservation), si pemilik gunung (1 Raj 16:24). Kemudian putera raja Omri, raja Ahab meneruskan dan bahkan mengimprovisasi kejahatan ayahnya sehingga kejahatannya melampaui kejahatan ayahnya. Ia membangun kuil Baal dan mezbah Baal di gunung Samaria (1 Raj 16:32). Ia membangun patung Asyera yang juga dikenal dengan “mother goddess” atau istri Baal. Ia menikahi Izebel, putri raja Sidon (sekitar Lebanon masa kini) (1 Raj 16:31). Perbuatannya membuat TUHAN “sakit hati” (1 Raj 16:33) karena orang-orang ini tidak memprioritaskan TUHAN dalam hidup mereka. Mereka memprioritaskan Baal (dewa kesuburan) dan melakukan apa yang keji di mata TUHAN.

Dengan melihat latar belakang di atas, menjadi jelas mengapa deerah Sarfat yang berada di dalam wilayah Sidon menderita kekeringan yang berkepanjangan. Seorang janda dan puteranya ikut menjadi korban dari bencana kekeringan tersebut. Mereka pasti sangat bergumul. Kita tidak mengetahui pasti apakah mereka memanjatkan permohonan kepada TUHAN Allah Israel tetapi kita memperoleh informasi bahwa janda ini memiliki sedikit pengetahuan tentang Allah Israel – “Demi TUHAN, Allahmu yang hidup” (1 Raj 17:22). Pengetahuannya kemudian diperdalam melalui peristiwa kebangkitan puteranya – “Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kau ucapkan itu adalah benar” (1 Raj 17:24). Walaupun pengetahuannya tidak sempurna, ia menyadari bahwa TUHAN (Yahweh) adalah Allah yang hidup dan ia memilih untuk memprioritaskan permintaan TUHAN melalui Elia (My God is Yahweh). TUHAN mengetahui kesengsaraan, pergumulan dan keputusasaan janda tersebut dan anaknya yang berada di wilayah Sidon. Maka TUHAN mengutus hambanya, Elia untuk memberikan pertolongan kepada janda ini. Pendekatan TUHAN sangat tidak masuk akal yakni dengan meminta pemberian dari janda ini yang justru sedang dalam keadaan serba kekurangan. Hospitalitas TUHAN terhadap Elia, hospitalitas janda kepada Elia dan hospitalitas TUHAN kepada janda dan puteranya terintegrasi menjadi satu dalam peristiwa yang mengharukan ini.


Janda ini hanya memiliki sedikit minyak dan segenggam tepung. Ia mengumpulkan dua tiga potong kayu dan membuat roti untuk dirinya dan puteranya, makan dan kemudian menantikan kematian. Janda ini dalam keadaan putus asa, dia sudah siap untuk mati bersama puteranya. Umumnya, para ibu tidak rela melihat putera-puteri mereka menderita. Bagi mereka lebih baik mereka sendiri yang menderita daripada melihat anak mereka menderita.  

Justru dalam keadaan yang menyesakkan bagi janda dan anaknya, Elia malah meminta sedikit air minum dan sepotong roti bundar kecil untuk dirinya sendiri. Sedikit minyak dan segenggam tepung yang tadinya untuk makan berdua kini harus dimakan bertiga. Permintaan Elia menjadi beban bagi dirinya. Elia hanyalah seorang asing bagi janda ini. Namun janda ini menunjukan hospitalitasnya dengan memberikan sedikit minuman dan membuatkan roti bundar bagi nabi  Elia.


Keputusan yang harus diambil oleh janda ini pasti tidak mudah. Dia harus memilih untuk membuatkan roti bundar kecil untuk Elia terlebih dahulu. Padahal Elia hanya seorang asing yang baru saja dia kenal (seorang nabi). Dan TUHAN juga tidak memberikan persediaan minyak dan tepung yang banyak kepada perempuan janda itu sebelum ia berbagi. TUHAN juga tidak mengantarkan tepung dan minyak kepadanya. Setiap hari ketika ia membuat roti dari persediaan tepung ia mungkin berpikir apakah masih akan ada persediaan untuk besok. Tidak ada kepastian (tidak dapat dilihat) bahwa tepung dan minyak tidak akan habis besok. Janda ini berada dalam kondisi kebergantungan total (todal dependency). Nah, ternyata prioritas dan keramahtamahan janda ini berbalik menjadi berkat bagi dirinya dan anaknya. Ia dan puteranya dapat terus menikmati minyak dan tepung yang tidak kunjung habis. Hospitalitasnya membuat dia menerima keramahtamahan dari Allah.

Jakarta, 30 Oktober 2013
lanyongxing
 

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12