Monday 21 July 2014

BANTAL MENJADI ALTAR

Esau dan Yakub merupakan gambaran manusia. Esau merupakan gambaran manusia yang mengejar pemuasan instan (instant gratification). Acedia (bahasa Latin). Tujuan hidupnya hanya sebatas kenikmatan sementara. Mungkin bisa digunakan untuk menggambarkan Esau, yakni seorang yang tidak percaya dan tidak peduli. Seorang yang bersedia menukarkan masa depannya dengan kesenangan sementara. Seorang yang tidak tepat janji. Dia lupa bahwa dia sudah menukarkan hak kesulungannya dengan semangkuk kacang merah. Mengapa dia marah dan ingin membunuh Yakub? Bukankah dia tidak layak marah? Bukankah itu sebuah kesepakatan antara Esau dengan Yakub?

Yakub merupakan gambaran manusia yang sangat berorientasi pada tujuannya (a goal oriented person). Seorang yang trajektori hidupnya adalah untuk berkompetisi dan mengalahkan orang lain. Seorang yang sangat berfokus dalam mencapai tujuannya. Seorang yang bisa dengan sabar menantikan kesempatan yang terbaik untuk membeli hak kesulungan dengan semangkuk kacang merah. Seorang yang bekerja keras, gigih dan tidak akan mengalihkan perhatiannya dari tujuannya (a very focused person). Seorang yang cerdik, licik, egois dan penuh siasat yang didemonstrasikan dalam cara dia membeli hak kesulungan (Kej 25:29-34), menipu ayahnya (Kej 27:35), menggunakan nama TUHAN untuk berbohong (Kej 27:20), memperoleh ternak Laban (Kej 30:25-43).

Dosa telah merusak seluruh kehidupan bahkan seluruh ciptaan Allah. Tidak ada satupun yang benar di hadapan Allah. Tidak heran ketika Paulus berkata,

Roma 8:22 Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.

Sekitar 100 tahun yang lalu, seorang ilmuwan bernama George Murray Levick kaget ketika ia menemukan kebobrokan hubungan seksual antar penguin di Antartika (1911 – 1912). Ketika ia mempelajari siklus berkembang biak penguin, ia menemukan keganjalan dimana anak penguin berhubungan seksual dengan ayahnya, penguin jantan berhubungan seksual dengan penguin jantan, atau penguin jantan dengan penguin betina yang sudah meninggal atau kadang membunuhnya setelah berhubungan intim. Levick kemudian menuliskan penemuannya ini dalam bahasa Yunani agar tidak dibaca oleh banyak orang. Kini buku catatan Levick diabadikan di Natural History Museum.[1]

Esau sangat marah karena Yakub telah mengambil berkat hak kesulungannya. Di dalam kemarahannya, Esau ingin mencabik-cabik Yakub, dia ingin membunuh Yakub (Kej 27:11). Atas saran ibunya, Yakub melarikan diri dari rumah, terpisah dari ayah dan ibunya. Keterpisahan dari TUHAN (estrangement / alienation) merupakan kondisi manusia setelah kejatuhan dari dosa Keegoisan, ketamakan, iri hati, kesalahpahaman, perselisihan merusak hubungan manusia. Jiwa manusia berada dalam keadaan lelah. Homelessness dan restlessness merupakan gambaran jiwa yang tidak ber-rumah (terpisah dari TUHAN) dan lelah karena kehilangan makna hidup.

TUHAN mengunjungi Yakub yang homeless dan restless. Melalui mimpi, TUHAN menunjukkan kepada Yakub bahwa dia tidak sendirian, tetapi TUHAN menyertai. Dia tidak kehilangan sebab TUHAN mengayomi dan mengampuni. Hidupnya bukanlah tidak bermakna sebab hidupnya di bumi selalu terhubung (memiliki akses) dengan kehidupan sorgawi. Hidup ini bukan soal makan, minum maupun soal kemenangan dan kehebatan tetapi ada aktivitas spiritual yang berlangsung (malaikat naik turun tangga). Dan TUHAN rindu untuk mengembangkan kehidupannya (human flourishing).



Ketika bangun, Yakub menyadari bahwa ia sedang bermimpi dan mimpi ini berasal dari TUHAN. Dengan kata lain, Yakub tidak sedang mengalami Lucid Dreaming. Menurut sebagian psikolog, ada orang-orang yang mampu mengendalikan mimpinya sendiri yakni dengan menyadari bahwa ia sedang berada di dalam mimpi. Ia dapat mengeceknya dengan melihat beberapa angka di dalam mimpinya dan kemudian menoleh ke lain dan kembali melihat angka-angka tersebut. Nah, apabila angka tersebut berubah posisi atau bergerak, maka ia sedang bermimpi. Kemudian ia dapat mengarahkan mimpinya sesuai dengan pikirannya. Pengalaman seperti ini disebut dengan Lucid Dreaming. Dalam mimpi, seseorang bisa melakukan apa saja, ia bisa terbang, lompat hingga mencapai ketinggian pesawat. Namun kita juga mesti berhati-hati sebab mengimajinasikan seseorang yang tidak ada sebagai sahabat dekat di dunia nyata menandakan seseorang menderita “sakit jiwa” alias “gila”.

Perjumpaan dengan TUHAN di dalam pelarian, menguatkan keyakinan Yakub tentang janji TUHAN kepada kakeknya, Abraham. Yakub bagaikan seorang pelarian yang baru saja menemukan “rumah” (home) dan “peristirahatan” (rest). From homeless to homey, from restless to restful. Yakub menememukan bahwa dirinya lebih besar dari jiwanya. Karena dirinya ternyata terdiri dari jiwanya + Roh TUHAN. Bantal batu merupakan simbol kelelahan, mengandalkan kemampuan sendiri, kesepian, keterpisahan. Sedangkan altar merupakan simbol penyertaan TUHAN, pemeliharaan TUHAN, kekuatan dan berkat TUHAN. Perjumpaan dengan TUHAN membuat Yakub mengubah bantalnya menjadi altar.

Seperti Yakub, kita menggunakan cara sendiri, berusaha sendiri, berjuang sendiri, putus asa, kehilangan, lelah, letih. TUHAN juga mengunjungi Anda dengan penuh kasih sayang. Ia merangkul dan mengayomi Anda yang lemah. TUHAN ingin “mengembangkan” (flourish) hidup Anda ke timur, barat, utara, selatan. TUHAN ingin memberkati, menyertai dan melindungi Anda yang kehilangan, kelelahan, tidak kuat lagi, tidak sanggup lagi menghadapi beban-benan kehidupan. TUHAN memberikan lelegaan. Yesus berkata,

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Mat 11:28-30)

Kuk merupakan alat yang dipasang pada kerbau untuk membajak sawah. Kenapa kuk Yesus bisa ringan? Karena Dia lemah lembut dan rendah hati sehingga jiwa kita memperoleh ketenangan. Amin.


Thursday 17 July 2014

Batam: An Archipelagic City

The size of Batam is 1,570.35 km2 (Bahrum 2011, 120). It has 436 islands making it both a city and a hinterland. It is has the potential to be developed into a coastal city, archipelagic city and even a fishery city (Bahrum, 124). In 1968, the Indonesian government made Batam the logistic and operational base for petroleum. In 1978, Bacharuddin Jusuf Habibie, the Minister of Research and Technology assigned by Suharto, the president of Republic Indonesia to further develop Batam.[1] The purpose was to transform Batam into “the Second Singapore”.[2] The vision of Batam is to be an international port and the locomotive of national economic growth (Gunawan 2008, 17). Since then, investors from various countries such as Singapore, Taiwan, China, Japan and German came to invest mainly in the industrial area making Batam well-known for its industrialization. Gunawan states that Batam’s economic growth, being higher than the national economic growth made Batam an attractive city (p.121).

Batam has experienced a hyper urbanization; in August 2007 the total population of Batam is 727,878 and rose significantly to 1,075,000 in April 2011 (Bahrum 2011, 177). Industrialization and Free Trade Zone makes Batam an attractive place for workforce. Minimum wage is adjusted number of time in order to meet the demand of the workers – Rp. 815,000 (2006), Rp. 860,000 (2007), Rp. 960,000 (2008), Rp. 1,045,000 (2009), Rp. 1,110,000 (2010), Rp. 1,180,000 (2011) (Bahrum, 180)., Rp. 1,402,000 (2012)[3] and Rp.2, 422,092 (2013).[4]

The vision of Batam is to be a civilized seaport.[5] In order to realize this vision, Bahrum proposes several insights, ideas and plans in which I choose to lay out a few of them. The government of Batam has to utilize computer technology and implement E-Governing (Bahrum 2011, 6) and provide E-Public Service (p.31). For Bahrum, “good governance is least governance” (p. 34).

As an archipelagic city, Batam’s city planning has to be integrated with its defense planning. It has to prevent illegal fishing, illegal logging, illegal dumping, illegal treasure hunting/diving, human trafficking and drug trafficking (p. 99). Being good and responsible stewards, Batam has to consider the importance of ecological spirituality in order to be a theo-ecological city. Batam has to develop sustainable (p. 122) and affordable transportation (p. 181). According to Bahrum, majority of the workers spend at least 10 – 15 % of their salaries on transportation. In 2006, those who travels on public transports were 244,471 in which 181,466 were workers and 63,305 were students (p. 181).

Batam has to be an “Eco-Green City” (p. 85) in order to avoid anthropogenic catastrophe (p. 86). City development must put sustainability into consideration. Bahrum proposes the development of sustainable urban transportation such as Bus Rapid Transit as well as the building of pedestrian to promote and encourage walking and cycling in Batam. To be honest, I can walk from my residence to Kepri Mall, however, due to the lack of proper pedestrian walk I choose to drive. The lack of clean, convenient and comfortable public transports have discouraged people to take public transports, instead people are pushed to purchase motorbikes and cars. Compared to 5 years ago, Batam is much congested. Previously, it took approximately 10 minutes to drive from Batam Centre to Nagoya during peak hours but now it takes about 30 minutes for the same distance.

Population growth also increases the demand of clean water. Therefore, Bahrum proposes the increase of water catchment area by revitalizing forest, adding more water pumps as well as developing primary, secondary and tertiary distributing system (p. 187. It is also crucial to recycle water so he calls for the people in Batam to use water responsibly (water saving scheme) (p. 188).


Well, progress and development can be very dehumanizing and hence, Batam must adopt people centered development as its basis for development (p. 174). The government has to provide flats for the homeless whilst disciplining and regulating of illegal slums (rumah liar). Inspired by Singapore, Bahrum proposes a special department to handle these flats (purchase or rental) under the HDB or House Development Board (p. 178). The same principle applies when the government disciplines roadside petty business / street vendor (Pedagang Kaki Lima), they have to provide an alternative for them such as a legal location for them to continue their business or a legal area for night market (p. 159-62).

The city is not supposed to be place for self-glorification of the strong and the rich but it is supposed to help the weak, the poor and the minority. Since 231, the strait people (orang selat or suku laut) has domiciled in Batam mainly work as fishermen (p. 271). Bahrum suggests holding long term training and equipping program for the strait people (pp. 272-3). Well, city is place of multi-ethnicity in which people should respect one another. Differences do not equal to enemy. Clean, unique, well designed, public space is good for stimulating social engagement. City is not only a place for dwelling but a place to be loved and appreciated.

Bahrum also proposes a bottom up participative development (p. 244). In order to carry out this heavy task, the government has to visit and hear from the people or in Jokowi’s style – blusukan. It works to understand and meet the need of the people. Isn’t it what the government is for? To serve the people? This is what Jokowi calls “humanistic approach” (Endah 2012, 183) or to bridge the heart (p. 119). Jokowi is right when he says, the well being of a city is not measured by the amount of its skyscrapers and its massive malls (p. 128) but its soul, a humanized city (p. 129). For city development is not just about its physical construction but also its spiritual construction (p. 190). As city dwellers in Batam, we are called not just to construct the city physically but also to humanize the city by developing a healthy soul and work for the Shalom of the city.

References
Bahrum, H. Syamsul. 2011. Manajemen Stratejik Kota Batam Sebagai Bandar Dunia Madani. Pekanbaru: UNRI Press.
Endah, Alberthiene. 2012. Jokowi: Memimpin Kota Menyentuh Jakarta. Solo: Metagraf, Creative Imprint of Tiga Serangkai.
Gunawan, Markus. 2008. Provinsi Kepulauan Riau. Batam: Titik Cahaya Elka.


Tuesday 8 July 2014

APA ITU KERAJAAN ALLAH?

Apa itu Kerajaan Allah? Saya sering mendengarkan doa-doa orang Kristen yang berbunyi, “memperluas Kerajaan Allah” dalam doa syukur setelah pengumpulan persembahan. Saya tidak mengetahui dari mana orang-orang Kristen memperoleh pemahaman tentang “perluasan Kerajaan Allah”. Dalam doa yang diajarkan Yesus, berisi permohonan “Datanglah Kerajaan-Mu” bukan “Perluaskanlah Kerajaan-Mu”. Untuk itu, saya pikir penting bagi kita untuk memahami kembali apa yang dimaksud dengan Kerajaan Allah.

Kerajaan Allah berasal dari kata “meluka, malkut, mamlaka, mamlakat” (bahasa Ibrani) atau basilea (bahasa Yunani) yang pada dasarnya mengandung arti kerajaan pemerintahan maupun kekuasaan raja. Jadi, kata “kerajaan” dapat diasosiasikan dengan kata pemimpin, pemerintah, raja, ratu, kaisar, pangeran, tahta, teritori, tanah, rakyat maupun undang-undang. Pemahaman tentang Allah sebagai Raja yang memimpin, melindungi, menyediakan dan memerintah tampak jelas dalam Perjanjian Lama “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1), “Sebab Allah adalah Raja seluruh bumi” (Mzm 47:8), “Raja yang besar mengatasi segala allah” (Mzm 95:3), “Raja yang kekal” (Yer 10:10).

Kompleksitas “Kerajaan Allah” di dalam kitab Injil mengundang banyak pengkajian dan pendalaman, dan hal ini berada di luar kemampuan dan keahlian saya untuk membahas secara detil topik yang sedemikian rumit. Memberitakan “Kerajaan Allah” merupakan prioritas Yesus (Mat 4:23) bahkan boleh dikatakan Kerajaan Allah merupakan basis atau topik utama pengajaran-Nya. Manusia diminta untuk “Mencari Kerajaan Allah” (Mat 6:33). Pertanyaannya adalah siapa yang bisa memiliki Kerajaan Allah? Orang-orang yang miskin di hadapan Allah (Mat 5:3 & Yakobus 2:5) dan anak-anak kecil (Mark 10:14), orang yang dilahirkan dari air dan Roh (Yoh 3:3). Dan siapa yang sulit masuk? Orang yang kaya (Mark 10:23), orang-orang yang arogan di hadapan Allah, orang yang tidak adil, cabul, penyembah berhala, pezinah, banci dan pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu (1 Kor 6:9-10). Sebaliknya, orang-orang berdosa yang mengaku dosa seperti para pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah (Mat 21:31) serta orang yang melakukan kehendak Bapa di Sorga (Mat 7:21).

Apakah Kerajaan Allah sudah hadir? Ini adalah pertanyaan yang sulit. Kerajaan Allah sudah dekat (Markus 1:15), sudah datang kepadamu (Luk 11:20), ada di antara kamu (Luk 17:21) dan akan datang kepadamu (2 Kor 4:18, Ibr 2:8, Ibr 11:10). Jadi, Kerajaan Allah merupakan sebuah realita yang sudah hadir dan secara progresif menuju kepenuhan. Kerajaan Allah bersifat spiritual sebab Yesus menegaskan bahwa Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah (Luk 12:20). Kerajaan Allah tidak berasal dari dunia ini  (Yoh 18:36). Kerajaan Allah tidak diperluas tetapi diberitakan (Mat 10:7, Mat 24:14, Kis 19:8, 28:31) dan didatangkan (Mat 6:10). Kerajaan Allah itu milik Allah (Mat 6:13)

Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (Roma 14:17). Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan, tetapi dari kuasa (1 Kor 4:20). Kerajaan Allah terdiri dari imam-imam bagi Allah yang menderita dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus (Wahyu 1:9). Para imam ini akan memerintah sebagai raja di bumi (Wahyu 5:10). Yesus mengumpamakan Kerajaan Allah dengan ragi (Mat 13:33), benih yang baik (Mat 13:38), harta yang terpendam di ladang (Mat 13:44), pedagang yang mencari mutiara yang indah (Mat 13:45) atau pukat yang dilabuhkan di laut (Mat 13:47).

Apakah Kerajaan Allah bersifat spiritual atau fisikal? Kerajaan Allah bukan sebuah imajinasi dongeng tetapi secara nyata hadir dalam dunia ini dan bersifat substansial. Kebenaran, keadilan (Yes 32:1), damai sejahtera (Yes 2:4), sukacita (Mzm 87:1, Yes 35:10), kekudusan (Yes 4:2,3), keadilan (Mzm 72:4), pengetahuan (Yes 11:9; 54:13) dan kebebasan (Yes 42:6-7) merupakan karakteristik Kerajaan Allah. Kehadiran Allah yang hadir secara spiritual dapat juga dapat dirasakan secara fisikal. Namun kepemimpinan Kerajaan Allah berbeda dengan pemerintahan dunia. Nebukadnezzar membangun kerajaan Babel, Kaisar Qin membangun dinasti Qin, Hitler membangun Nazi tetapi Roh Kristus membangun Kerajaan Allah. Pemerintahan Kristus “jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut” (Efe 1:21). Pemerintah adalah hamba Allah yang harus bertanggungjawab pada Allah (Roma 13:1-7). Pemerintah dunia memimpin dengan tangan besi dan mungkin juga gila hormat, gila kuasa tetapi Kerajaan Allah memiliki sistem kepemimpinan yang berbeda yakni “melayani” (Mark 10:41-45). Benar bahwa gereja dipanggil TUHAN untuk mengusahakan Shalom tetapi pekerjaan TUHAN tidak dibatasi di dalam gereja saja melainkan TUHAN dapat bekerja melalui siapa saja, instansi mana saja maupun bangsa mana saja untuk menegakkan keadilan, mengusahakan damai sejahtera, melayani, melindungi yang lemah dan lain sebagainya. TUHAN pernah menggunakan Nebukadnezzar (raja Babel), Artahsasta (raja Persia) dan orang-orang maupun bangsa lainnya untuk melakukan perintah-Nya.


Bagi saya, Kerajaan Allah merupakan restorasi yang dilakukan Allah bagi seluruh ciptaan-Nya. Kerajaan Allah merupakan sebuah kondisi dimana seluruh ciptaan Allah, gambar dan rupa Allah dalam diri manusia dipulihkan atau lebih sederhana, seluruh ciptaan Allah dipulihkan atau dikembalikan ke kondisi yang seharusnya. Kita dipanggil untuk menjadi “penduduk prima” (prime citizen menurut Cornelius Plantinga). Penduduk prima merindukan kedatangan Kerajaan Allah dengan memenuhi panggilan Allah sebagai orientasi hidup. John Calvin mengatakan bahwa manusia yang belum ditebus akan selalu beralih antara kesombongan (aku bisa) dan keputusasaan  (aku tidak bisa). Namun di dalam Kerajaan Allah seseorang beralih dari “aku bisa” maupun “aku tidak bisa” menjadi “aku mitra Allah”. Dengan kata lain, restorasi dunia yang rusak merupakan proyek Allah, menjadi mitra Allah berarti kita bergabung dengan proyek Allah untuk merestorasi, memulihkan dan membarui. Sebagai mitra Allah, kita dipanggil untuk menatalayani.


Batam, 8 Juli 2014

Wednesday 2 July 2014

SAFE (2012)


Safe mengisahkan pertemuan Luke Wright, seorang mantan polisi yang dikhianati oleh rekan-rekannya dan kehilangan isterinya karena dibunuh oleh mafia Rusia dengan seorang gadis bernama Mei asal China yang diculik dan dipaksa bekerja bagi mafia China di New York. Film ini menggambarkan kejahatan dan kebobrokan manusia. Yang kuat menindas dan mengeksploitasi yang lemah demi keuntungan. Mafia Rusia dan polisi korup membuat kehidupan Luke Wright terdesak hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengambil jalan pintas – bunuh diri. Namun pertemuan dia dengan Mei mengubah niatnya. Ia berusaha menyelamatkan Mei. Dengan kata lain, dua orang yang kehilangan, tertindas dan menderita saling menolong untuk membebaskan diri dari mafia dan polisi korup. Ketika Mei mengucapkan terima kasih kepada Wright karena sudah menyelamatkannya, Wright mengatakan, justru Mei yang telah menyelamatkannya. Dua orang yang sama-sama kehilangan dapat saling menolong dan menguatkan. Dua orang yang menderita sakit dapat saling menghibur dan saling melegakan. C. S. Lewis mengatakan, “Friendship is born when one man says to another: “What! You too?” I thought that no one but myself”. Persahabatan baik terjalin melalui pergumulan dan penderitaan.


Kebobrokan manusia menyusupi setiap dimensi kehidupan. Ketidakadilan, penindasan, eksploitasi terus merajalela. Dehumanisasi merusak gambar dan rupa Allah dalam diri manusia. Manusia dapat menyembunyikan kejahatannya melalui pencitraan diri, tetapi Allah mengenal hati manusia. Jangan tenggelam di dalam persoalan pribadi tetapi berempati dan berikan bantuan kepada sesama manusia yang juga menderita. Kadangkala, ketika kita memberikan pertolongan kepada sesama, tanpa kita sadari kita juga menemukan jalan keluar dari “kabut permasalahan”. Menolong yang lemah dan membela keadilan merupakan tindakan dalam rangka memanusiakan manusia. Let us shift from self-pity to empathy towards the weak and the oppressed. Let us take a small leap toward humanising humanity!

Jason Statham
Catherine Chan



Batam, 2 Juli 2014

DOA SIAPA YANG DIBENARKAN?

Tadkala manusia merasa dirinya benar atau bahkan paling benar. Dan tidak jarang ketika seseorang merasa dirinya paling benar dia akan cenderung merendahkan semua orang. Dia akan memandang segala sesuatu yang dilakukan orang lain itu tidak baik. Segala sesuatu yang dilakukan orang lain itu salah. Seorang yang merasa dirinya paling benar akan selalu mengomentari sikap dan perbuatan orang lain, menjelekkan orang lain seolah-olah dirinya sendiri paling berpengetahuan, paling berhikmat, paling pintar dan lain sebagainya. Khusus orang-orang yang berkaliber seperti ini atau orang yang paling hebat ini, Yesus memberikan sebuah cerita yang dicatat oleh dokter Lukas.

Ada dua orang datang menghadap TUHAN. Yang seorang adalah Farisi, seorang pemimpin spiritual yang menaati hukum Taurat. Seorang yang hidup kudus dan memelihara kekayaan tradisi dan ajaran Musa. Seorang yang saleh dan sangat dihormati oleh masyarakat. Dia adalah seorang yang menggali dan mendalami firman TUHAN, seorang yang taat kepada firman TUHAN. Seorang yang mempraktekkan hidup kudus. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang pemungut cukai. Seorang petugas pajak, seorang pajabat pemerintah yang korup. Seorang yang sering menindas yang lemah, mendenda orang lain demi meraup keuntungan pribadi. Singkat kata, yang satu adalah seorang yang mulia, teladan bagi masyarakat sedangkan yang satu lagi adalah sampah masyarakat atau virus masyarakat.

Sejujurnya kita pasti memilih orang Farisi yang saleh daripada si pemungut cukai. Namun cerita yang disampaikan oleh Yesus selalu berakhir dengan sebuah kejutan atau dalam bahasa perfilman cerita Yesus memiliki ending dengan twist yang mengejutkan. Sebab “ending” cerita Yesus berada di luar logika, pemahaman dan bahkan norma sosial masyarakat. Sekarang pertanyaan kita adalah apa yang membedakan dua orang tersebut? Kenapa doa pemungut cukai diterima sedangkan doa orang Farisi hanya bagaikan uap saja?

Yang dilakukan orang Farisi adalah “pembenaran diri”. Dia seolah-olah sedang memuji TUHAN tetapi sebenarnya dia sedang memuji dirinya sendiri. Ia berdoa, “Aku mengucap syukur pada-Mu ya TUHAN, aku rajin berdoa, rajin membaca firman, banyak menghafal ayat-ayat Alkitab, rajin berpuasa, banyak memberi persembahan, hebat berkhotbah, pintar menulis, jago mengajar, memiliki gelar Ph.D, TIDAK SEPERTI PEMUNGUT CUKAI INI, saya sangat berhikmat, serba tahu, serba bisa, tidak berzinah, tidak merokok, tidak melakukan kejahatan, tidak mengintip ke dalam rok mini perempuan dan jujur mengelola uang”. Sebenarnya, memuji TUHAN dan memuji diri sendiri kerapkali hanya berbeda tipis. Orang Farisi ini merasa baik pada dirinya sendiri, ia merasa sudah melakukan banyak, sudah melayani dengan baik, sudah hidup benar. Dia menaruh percaya pada keselamatan atas hasil perbuatan baiknya. Tidak hanya itu, dia memandang rendah pemungut cukai, menurut dia, dirinya jauh lebih baik daripada pemungut cukai. Bukankah kita juga sering menganggap diri kita sendiri lebih baik dari orang lain?

Sebaliknya, pemungut cukai tidak merasa dirinya lebih baik dari orang Farisi. Ia merasa sudah tidak memiliki pengharapan. Dia merasa sebagai seorang yang sangat berdosa, ia tidak berani menengadah ke atas, ia memukul dirinya sendiri. Ia berdoa, “ya TUHAN, aku telah menindas, mengeksploitasi, mencuri, menipu, mencurangi, merampas, serba tidak mampu, serba tidak bisa, serba tidak tahu, memiliki motivasi jahat, tidak berhikmat, bodoh, berpikiran kotor, YA TUHAN, KASIHANILAH AKU ORANG BERDOSA INI”. Dia hanya mengharapkan belas kasihan TUHAN. Dia tidak berani menuntut apa-apa dari TUHAN, dia merasa tidak layak, tidak pantas, tidak berkompetensi. Dia hanya berharap, kiranya TUHAN berbelas kasihan pada dirinya.

Yesus menegaskan, pemungut cukai pulang ke rumah sebagai orang yang dibenarkan Allah. Kisah yang diceritakan Yesus ini menegur setiap kita. Kita diundang untuk mengevaluasi diri, apakah kita dimotivasi oleh pembenaran diri, mencari pengakuan dan gila hormat. Apakah setiap kali kita memuji TUHAN sebenarnya kita sedang memuji kehebatan dan pencapaian diri? Apakah setiap kali ketika kita memuliakan TUHAN sebenarnya kita sedang memuliakan keharuman reputasi diri? Setiap kali ketika kita mengomentari, menjelekkan dan meremehkan orang lain, apakah kita sedang membuktikan kompetensi, pengetahuan, kecerdasan dan kehebatan diri? Apakah kehidupan rohani kita dijadikan sebagai panggung pertunjukkan? Kita diingatkan Yesus untuk tidak mengagungkan diri, tidak membenarkan diri dan tidak meremehkan orang lain. Kiranya TUHAN menolong kita!

 Batam, 2 Juli 2014










Tuesday 1 July 2014

MENGAPA ROH ALLAH MELAYANG-LAYANG DI ATAS AIR?

Kej 1:2  Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.

Bumi (erets) belum berbentuk dan kosong. Wenham (1987, 15) dan Waltke (2007, 179) berpendapat bahwa langit (shamayim) dan bumi (erets) di ayat pertama berarti “alam semesta” dalam ayat yang pertama dan “erets” berarti “bumi” dalam ayat kedua (1987, 15).

Belum berbentuk (tohu - nothingness) (Yes 29:21) bisa berarti kekacauan total (total chaos) atau padang belantara (Ul 32:10; Ayub 6:18) (Wenham, 15). Dan ketika kedua kata tersebut “tidak berbentuk” dan “kosong” (tohu wabohu) disatukan maka artinya adalah “kehampaan dalam keadaan menyeramkan” (Yes 34:11; Yer 4:23). “Gelap gulita” (khosek) bisa berarti “jalan orang jahat” (Ams 2:13), “penghakiman” (Kel 10:21) atau “kematian” (Mzm 88:13) (Wenham, 16). “Samudera raya” (tehom) berarti “dalam” (deep) atau air yang dalam (deep waters). Jadi ketika kita memadukan semua kata tersebut “belum berbentuk, kosong, gelap gulita dan samudera raya” maka kita memperoleh sebuah gambaran “kekacauan dan kehampaan yang menyeramkan”Void (kehampaan), Eerie (menyeramkan), Chaotic (kekacauan), Desolation (reruntuhan), Zombie-ness (tanpa kehidupan)

Dalam keadaan yang kacau, hampa, gelap gulita yang menyeramkan ini, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (mayim: air yang dalam). Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air mendemonstrasikan bahwa Allah berada di atas kekacauan. Allah yang melihat dari atas bagaikan burung rajawali. Allah yang mengetahui keadaan yang hampa, gelap dan kacau. Allah yang mengetahui persoalan dan pergumulan Anda dan saya. Roh Allah melayang-layang di atas air merupakan momen di mana Allah berpikir, berencana dan menciptakan atau dalam bahasa Bonhoeffer “God is thinking, planning and bringing forth form” (Bonhoeffer, 38). Jadi, Roh Allah (juga dapat diterjemahkan dengan kata “Angin Allah”) yang melayang-layang merupakan gambaran Allah yang berproaktif merencanakan, berkreasi dan memelihara ciptaan-Nya. Allah bergerak dengan dinamis dan secara terus-menerus berkuasa atas kekacauan.

Roh TUHAN melayang-layang (rahap)[1] di atas kekacauan, kehampaan dan gelap gulita dan Ia dengan rapi dan teratur menata alam semesta dan bumi. Keteraturan di dalam sebuah sistem yang tidak kelihatan merupakan karakteristik penciptaan. TUHAN menciptakan alam yang memiliki kemampuan untuk mengimbangi. Namun manusia yang dipercayakan untuk mengurus dan mengelola alam malah telah merusak alam ini dengan serius. Dulu ketika berada di atas pesawat, pulau Batam masih kelihatan hijau, akan tetapi jika kita melihat Batam dari jendela pesawat saat ini kita akan menemukan Batam yang semakin tandus. Di saat pesawat mendekati langit Jakarta sebelum mendarat, kita dapat menyaksikan lapisan tebal berwarna abu-abu melapisi langit ibu kota Indonesia.

Dari sudut pandang penebusan dan restorasi ciptaan-Nya, Roh Allah yang melayang-layang di atas kekacauan dan gelap gulita yang menyeramkan secara proaktif memikirkan dan merencanakan karya-Nya secara progresif yang terlihat apabila kita membandingkannya dengan pemulihan ciptaan yang didepiksi di dalam kitab Wahyu.


Kejadian 1-3
Wahyu 21-22
Kekacauan
Samudera raya
Tiada lautan
Sumber terang
Cahaya matahari
Cahaya Allah Sendiri
Pembagian terang
Siang dan Malam
Tiada malam
Penciptaan
Berada di dalam kutukan
Kutukan diangkat
Keadaan moralitas manusia
Berpotensi jatuh ke dalam dosa
(able to sin dan not able not to sin)
Tidak dikuasai dosa (unable to sin)
Keadaan fisik manusia
Terbatas dan penuh penderitaan
Abadi dan tidak menderita
Keadaan politis manusia
Terbagi-bagi
Secara menyuruh tunduk pada Allah, Raja atas segala raja
Keadaan spiritual manusia
Diusir dari hadapan Allah
Bersama dengan Allah
Pengudusan
Hari ketujuh
Universal
Allah
Tidak kelihatan
Kelihatan
Anak Allah
Tersembunyi
Menyatakan Diri
Air
Memenuhi kebutuhan fisik
Memenuhi kebutuhan spiritual



Dari sudut pandang spiritual, tanpa perjumpaan dengan Tuhan dan kehadiran-Nya dalam hidup kita maka hidup kita berada dalam kondisi “kosong” dan “gelap gulita” yang artinya hidup kita dalam keadaan hampa. Kehampaan spiritual bagaikan lubang hitam yang menyedot segala sesuatu untuk mengisinya tetapi tetap saja merasa hampa. Bagi saya, kehampaan (void) yang memicu hasrat (longing) tidak selalu berkonotasi negatif. Kehampaan dapat menjadi motivasi dan dorongan (driving force) yang mendorong manusia untuk terus mengingini (longings) yang kemudian tercurah dalam berbagai karya manusia seperti membangun kota, mengembangkan musik, lukisan, teknologi yang kemudian melahirkan peradaban dan budaya (civilizations and cultures).

Namun tanpa Perintis sejarah umat manusia, Sang Sumber Kehidupan, kehidupan manusia menjadi tidak berarti, hampa, sepi dan melelahkan. Dinamisme kehidupan terblokir dan kreativitas tidak berkembang. Kehampaan tersebut menjadi dorongan negatif - “rasa tidak aman dan rasa takut”. Misalnya, kiasuisme (kiasu adalah bahasa Hokkien untuk takut kalah) menggerogoti hati manusia.

Kehampaan (deep emptiness) dan kerinduan (deep longings) yang mendalam tersebut juga mendorong manusia untuk berjumpa dengan yang transenden (Higher Power) yang kerapkali diinterpretasikan ke dalam berbagai hal seperti supernatural power, kekuatan magis, takhyul dan lain sebagainya. Tidak heran apabila manusia selalu merasa hampa dan tidak terpenuhi. Sebab kehampaan di dalam diri manusia hanya bisa dipenuhi dengan terpenuhinya kebutuhan spiritual dari Sang Pencipta jika tidak manusia akan selalu berada dalam keadaan tidak terpuaskan.

Jika kita mengkontraskan “belum berbentuk, kosong dan gelap gulita” dengan perkataan Yesus, “Aku adalah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan kita akan menemukan bahwa jika kehidupan didorong oleh motivasi yang salah dan memiliki tujuan yang salah maka hidup ini hanya menjadi tidak berarti dan sangat melelahkan. Perkataan Yesus telah diurut sedemikian rupa yaitu “Jalan, Kebenaran dan tujuan akhir “Hidup”.  Langkah pertama adalah “Jalan”, Yesus adalah Jalan sehingga kita harus menempuh jalan tersebut dengan iman. Sebab kita hanya bisa menempuh sebuah perjalanan ketika kita percaya akan destinasi akhir dari perjalanan yang kita tempuh. Banyak yang gagal di tahap pertama dan kemudian beralih ke jalan yang lain. Tetapi permasalahannya adalah tidak ada jalan lain menuju Bapa. Dan yang kedua adalah “Kebenaran”. Kebenaran perlu digali, didalami dan direnungkan. Pemahaman firman TUHAN sangat penting karena firman TUHAN adalah kunci kehidupan (Baca Roma 10:1-3). Jadi untuk memperoleh kehidupan yang berkelimpahan di dalam TUHAN kita harus menempuh Jalan dengan iman dan mendalami Kebenaran dengan hikmat.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari dapat dipandang dari sudut kebenaran firman TUHAN. Roh TUHAN melayang-layang di atas permukaan air  menunjukkan bahwa Roh TUHAN selalu siap untuk menolong manusia yang bersedia berseru kepada nama TUHAN (Roma 10:13). Karena TUHANlah yang memulai kehidupan manusia, sehingga manusia tidak mungkin bisa menjalani hidup yang berkelimpahan terpisah dari Sang Pencipta. Interelasi manusia dan TUHAN merupakan kunci kehidupan. Iman memampukan kita untuk tetap yakin bahwa TUHAN mengasihi kita di dalam kondisi apa pun. Kondisi terberat di dalam kehidupan sekalipun tidak memisahkan kita dari kasih-Nya. Pengharapan memampukan kita untuk bertahan hingga akhir mengingat destinasi yang mulia dalam hidup ini – Kehidupan Sorgawi. Dan kasih mengisi kehidupan yang gelap gulita, kosong dan tidak berarti ini dengan terang dan kehangatan.

Roh Allah yang juga dikenal dengan Roh Kebenaran dan Roh Hikmat ini senantiasa secara proaktif memulihkan kondisi yang rusak (eerie chaos) menjadi kondisi yang penuh damai yang nantinya berpuncak pada Kota Damai seperti yang digambarkan di dalam kitab Wahyu. Gereja Tuhan dipanggil untuk menjadi agen pembaruan yang berperan sebagai “Repairers of the broken walls” and the “Restorers of streets with dwellings” (Yes 48:12).

Referensi
Bonhoeffer, Dietrich. 2004. Creation and Fall: A Theological Exposition of Genesis 1-3. Fortress Press: Minneapolis.
Waltke, Bruce K. 2007. An Old Testament Theology: an exegetical, canonical and thematic approach. Grand Rapids; Michigan: Zondervan.
Wenham, Gordon J. 1987. Genesis 1-15. In Word Biblical Commentary Vol. 1. Waco, Texas: Word Books.
Wolters, Albert M. 2010. Pemulihaan Ciptaan. Surabaya: Momentum.

Batam, 1 Juli 2014

[1] Kata melayang-layang (rahap) berarti gemetar/goyah (Yer 23:9) yang juga bisa berarti bergerak dengan tenang.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12