Friday 31 August 2012

GORENG AYAM ATAU AYAM GORENG?

Saya baru saja menyelesaikan makan malam saya di salah satu rumah makan di Tasikmalaya. Boleh dikatakan hampir setiap hari saya makan di sana dengan menu yang sama yakni nasi putih setengah porsi dengan lauk tahu dan telur. Sebut saja ini menu ekonomi murah meriah dengan harga Rp. 6,000,-. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat saya tinggal, diperkirakan sekitar 500 meter. Sambil jalan sore dan menikmati makanan yang lezat. Penjual sering menawarkan saya "Goreng Ayam" dan kini saya mengerti kenapa. Karena mereka butuh menjual banyak "Goreng Ayam" agar dapat menyekolahkan anak. Sebab jika setiap pembeli seperti saya, maka akan sangat sulit bagi mereka untuk bisa membiayai kehidupan anak-anak mereka.

Sebab pada hari ini, saya menemukan ternyata penjual nasi campur ini mempunyai 7 orang anak. Angka yang mungkin tidak besar bagi generasi "Baby Boomers" tapi termasuk angka yang lumayan besar bagi "Generasi X". Dengan rumah makan sederhana, keluarga ini harus membesarkan TUJUH orang anak. Membesarkan anak mungkin tidak terlalu sulit tetapi bagaimana dengan mendidik dan menyekolahkan mereka. Apakah mereka mampu menyekolahkan 7 orang anak hingga Sarjana atau bahkann Pasca Sarjana? Sebagian besar anak-anak di kota besar pada zaman ini mengandalkan ekonomi orangtua hingga Pasca Sarjana. Mungkin terdengar ironis apabila dibandingkan dengan orang-orang yang harus berjuang menyekolahkan diri sendiri.

Ngomong-ngomong, apa beda Goreng Ayam dengan Ayam Goreng? Bagi saya Goreng Ayam adalah kegiatan "Menggoreng Ayam" (kata kerja) sedangkan Ayam Goreng adalah "ayam goreng" (kata benda). Tetapi perbedaan budaya, perbedaan konteks yang menyebabkan saya merasa aneh untuk istilah "Goreng Ayam" dan mereka merasa aneh untuk istilah "Ayam Goreng".  Mungkin saya patut merenungkan "Teologia Goreng Ayam" demi membiayai kehidupan keluarga. Kiranya TUHAN memberkati keluarga ini dan saya sangat berharap ada "pembaharuan" dalam diri anak-anak mereka.

A PURE HEART


When I was going to bring home my new born son from the hospital, after signing and clearing the administration, I went near his bed and looked at him. He was sleeping soundly. I softly said, “Mengyu, let us go home”. Interestingly (beyond my expectation), he responded, “Mmmmmm, mmmm” (probably his way of saying yes) while moving his head a little bit. My mom and sis who were standing beside me were amazed. I carried him and brought him home. It was my very first time carrying a new born baby. Amazingly, I was just naturally knew how to carry him. I love to look at little children aged below one year old. I find them so pure. They do not have any ill-intention and are not driven by any bad motive. They smile and laugh when we talk to them. The purity of their hearts is very comforting. Quoting Jesus’ words, “whoever, humbles himself like this child is the greatest in the kingdom of heaven”. (Matthew 18.4). Jesus is teaching us to learn from little children for they are the greatest in the kingdom of heaven.

C. S. Lewis in his Narnia portrays children as the inheritors of the Kingdom. They are depicted as princes and princesses in the Kingdom of Heaven. Knowing (a science fiction film) also portrays children who can hear the soft voice (whisper) of the Lord via the angels who are protecting and going to fetch them to the Eternal Kingdom.  “Knowing” (2009) may be classified as a science fiction movie but it has strong message regarding the “Afterlife”.

A pure heart does not keep “rubbish” that will eventually rot and turn into bacteria and even viruses that will consequently harm the “host”. Evil thoughts, hatreds, anger, envy are example of the common rubbish that we tend to keep to pollute the pure heart. It is paramount to keep our hearts pure because the LORD searches every heart (1 Chronicles 28.9), therefore, our hearts must be circumcised (Deut 10.16). Cut off the part that will potentially corrupt the hearts.

C. S. Lewis in his book The Screwtape Letters which was dedicated to his friend J. R. R. Tolkien, imaginatively and creatively describes the uncle devil’s letter to his nephew, wormwood. I remember in one of the letter, uncle devil advised his nephew to let his patient who was just converted to Christianity be filled with judgmental mind. Judging the bad attitude of other Christians, “how lousy and out of tune they sing, Christians are hypocrites, they are just pretending to be spiritual” (my own words).

A pure heart does not boast, does not despise, does not find fault. A pure heart does not search someone’s faults using a magnifier nor does it telescope for gossip topics using binoculars. It does not obtain great joy from someone’s mistakes and failures. King Solomon reminds us, “Do not gloat when your enemy falls, when he stumbles, do not let your heart rejoice, or the LORD will see and disapprove and turns his wrath away from him” (Proverbs 24.17-18).

When David was on the run, escaping from Saul’ life-threatening chase, he had plenty of chances and very valid reasons to kill Saul. He knew that the LORD has rejected Saul. He knew that he was chosen to be the next king. He could reason that he was in self-defense against Saul “kill or be killed”. He could have thought that the LORD has given Saul’s life to be taken by him and end Saul’s reign. Then he could quickly rose to the throne and become the next king. However, he held his principle that Saul was an anointed king. He understood that he did not have the right to take Saul’s life. David’s action explicitly describes he had a pure heart, hadn’t he?

A pure heart produces a pure love. Our culture is very craving in nature - craving for possessive having as well as for love. Our consumerist culture degrades love to something that we can shop for. Love is reduced to a product, a commodity and a trade. “I love because I am loved. I love because you can provide me with financial security. I love because you are pretty. I love because I can gain something from you”. To love becomes to consume, to have, to trade, to own. A pure love is totally different in essence. A pure love says, “I love you because I choose to love you”. A pure love finds joy, happiness and satisfaction in loving, sharing and giving.

The Lord says, “Blessed are the pure in heart, for they will see the God” (Matthew 5.8). We do not see God because our heart is blinded by our own arrogance, pride, selfishness, bitterness, hatred and much more corruptive viruses. A pure heart enables us to see God’s goodness, love, mercy and beauty in and through His creation.

RUT 2: THEODRAMA


Penderitaan yang berat menyebabkan seseorang berdiam diri dan tidak mampu berkata-kata. Inilah yang dialami oleh Naomi sehingga ia menyebut dirinya Mara (pahit) dan bukan Naomi (manis). Rut, menantunya menjadi seorang teman yang baik menemani Naomi sepanjang perjalanan dari Moab ke Betlehem. Mungkin perjalanan tersebut merupakan perjalanan hening yang panjang sebab selama perjalanan hati mereka terlalu berat untuk berbicara. Memang benar bahwa adakalanya dukungan terbaik untuk seorang yang sedang menderita adalah menemani dirinya tanpa harus banyak berkata-kata. Sebab menemani (companionship) sendiri sudah merupakan dukungan terbaik baginya.

“Hesed” Kasih setia TUHAN menyertai Rut dan Naomi tanpa mereka sadari. Mereka dilindungi oleh TUHAN sepanjang perjalanan Moab ke Betlehem. Setiba di Betlehem, Rut yang peka langsung menyadari adanya peluang untuk bertahan hidup dengan memunguti jelai-jelai gandum yang jatuh (baca Imamat 19:9-10, 23:22 & Ulangan 24:19). Rut tidak tinggal diam dan menyerah, walaupun di dalam kondisi yang sedih dan berat, ia tetap bersikap proaktif. Tanpa ia sadari, ia tiba di sebuah ladang milik Boas, seorang pria yang baik, sopan dan bertanggungjawab. Ketika Rut berusaha, ia mendapatkan pertolongan dari TUHAN. Benar bahwa selalu membutuhkan dua sisi yaitu manusia bekerja dan TUHAN menolong. Rut tidak duduk diam di rumah, berdoa dan menantikan pertolongan TUHAN. Dia berproaktif bekerja di ladang dan bekerja dengan sangat giat “tidak berhenti untuk istirahat”. Hal tersebut diperhatikan oleh para pekerja Boas. Boas menawarkan makan siang kepada Rut dan memberikan makanan dalam jumlah banyak untuk Rut. Rut tidak hanya memakan makanannya sendiri (ia tidak rakus tetapi ia makan secukupnya) dan juga menyisihkan makanan untuk mertuanya. Setelah makan siang, Rut langsung bergegas melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak berhenti untuk istirahat, dia berjuang untuk dirinya dan Naomi.

Boas yang adalah seorang pengusaha membangun sebuah kebudayaan saling menghormati di ladangnya. Dia adalah seorang bos yang cukup jeli yang langsung menyadari kehadiran seorang asing di ladangnya. Boas memerintahkan para pekerjanya untuk dengan sengaja menjatuhkan lebih banyak jelai gandum buat Rut. Boas juga berusaha untuk melindungi Rut dengan cara meminta Rut untuk tetap bekerja di ladangnya dan memerintah pekerjanya untuk tidak menyakiti Rut tetapi melindungi dirinya. Yang mengherankan adalah Boas tidak mengupah Rut sebagai karyawatinya. Boas membiarkan Rut tetap menjadi seorang pengemis yang mengumpulkan jelai. Mengapa demikian? Apakah agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial? Sebab orang Moab dibenci oleh orang-orang Yahudi.

Dalam kisah ini, pembaca dipaparkan dengan seorang yang gigih di dalam menghadapi penderitaan. Seorang yang tidak menyerah melainkan bersikap proaktif berjuang menyelesaikan masalahnya bahkan menjadi seorang pengemis yang bekerja dengan giat. Kemudian kita juga menyaksikan seorang yang menabur belas kasihan. Seorang yang mencerminkan karakter TUHAN di dalam memberi, berbagi dan melindungi.  Di dalam kondisi di mana tampaknya TUHAN sudah mati, TUHAN tidak hadir, TUHAN tidak peduli ternyata TUHAN tetap menyertai dan peduli.

Rut yang bersikap proaktif + Boas yang gentlemen + Kasih Setia TUHAN di dalam memberkati dan melindungi = theodrama. Rut tidak menyadari bahwa dia sedang berada di dalam theodrama (drama TUHAN). Dia tidak mengetahui bahwa dia bakal menjadi nenek moyang Daud dan kemudian nenek moyang Kristus. Dari perspektif manusiawi, Rut sedang mengalami penderitaan yang berat – kekacauan politik, krisis ekonomi, ketegangan rasial dan penderitaan keluarga. Masa depannya tampak suram dan tidak berpengharapan, sepertinya TUHAN sudah mati. Akan tetapi dari perspektif ilahi, TUHAN sedang bekerja “sebuah theodrama sedang berlangsung”. Rut bekerja karena imannya terhadap TUHAN dan Boas yang dengan setia membangun “budaya rohani” di tengah-tengah pekerjanya. Kemudian dua orang yang beriman dan setia dipadukan di dalam theodrama menghasilkan sebuah kehidupan yang penuh berkat tidak hanya untuk mereka tetapi juga bagi seluruh umat manusia.

RUT 1 : MANIS & PAHITNYA HIDUP


Kitab Rut dilatarbelakangi oleh kalimat “setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim-hakim 21.25). Peperangan, perampokan, penculikan dan pemerkosaan merajalela sehingga orang-orang hidup di dalam ancaman bahaya dan digerogoti oleh rasa takut. Ancaman yang dihadapi keluarga Naomi pada masanya mungkin tidak kalah berat dengan ancaman yang kita hadapi di zaman ini. Umumnya, keluarga di zaman kini memiliki berbagai tanggungan disertai dengan tekanan pikiran dan emosional. Dengan adanya teknologi yang lebih canggih, manusia bekerja dengan jauh lebih efektif dan efisien sehingga ada banyak waktu yang dihematkan, akan tetapi waktu yang diperoleh diisi dengan kegiatan yang lebih banyak lagi. Teknologi tidak menjadikan manusia memperoleh lebih banyak waktu tetapi justru membuat manusia semakin sibuk. Biaya properti yang semakin melonjak mengharuskan keluarga kecil untuk menyicil rumah, biaya pendidikan yang semakin mahal, belum lagi ancaman gejolak ekonomi yang tidak dapat diprediksi karena sistem ekonomi yang abstrak dan kompleks, ditambah ancaman terrorisme, bencana alam maupun ancaman kesehatan. Di satu waktu seseorang menikmati manisnya hidup akan tetapi di lain waktu seseorang akan mengalami kepahitan hidup.

Karena ancaman kelaparan, Elimelek memimpin keluarganya ke tanah Moab. Elimelek pasti berharap kehidupan akan membaik di tanah Moab. Di luar duga anggota keluarga, Elimelek (Tuhan adalah Raja) sang kepala keluarga meninggal dunia, Naomi (manis) bersama kedua anak laki-lakinya, Mahlon (penyakit, lemah) dan Kylion (korupsi/gagal). Mahlon menikahi Rut (sahabat terbaik) dan Kylion menikahi Orpa (leher/keras kepala). Setelah 10 tahun, Mahlon dan Kylion meninggal dunia maka tinggallah 3 janda yang berduka. Karena sudah kehilangan pengharapan Naomi memutuskan untuk kembali ke Betlehem (kota roti). Naomi memberkati kedua menantunya dan meminta mereka untuk tinggal di Moab agar mereka dapat menikah lagi sedangkan Naomi memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Kedua menantunya meminta agar mereka dapat mengikuti Naomi ke Betlehem tetapi Naomi bersikeras meminta mereka untuk tetap tinggal di Moab. Oleh karena desakan Naomi, akhirnya Orpa berpisah dengan Naomi dengan berat hati sedangkan Rut bertekad mengikuti Naomi, Rut berkata, “Janganlah desak aku meninggalkan engkau, dan pulang dengan tidak mengikuti engkau, sebab kemana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam; bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (1:16).

Naomi memiliki alasan yang kuat menolak kedua menantunya ke Israel sebab orang-orang Moab dibenci oleh bangsa Israel karena latar belakang historis. Moab adalah keturunan yang haram (Kej 19.30-38). Orang-orang Moab terkenal karena penyembahan berhala dan pelacuran yang pernah mereka lakukan (Bilangan 25.1-9). Bahkan orang-orang Moab dilarang memasuki jemaah Yahweh (Ulangan 23.3). Tekad Rut untuk mengikuti Naomi ke Betlehem, merupakan tantangan yang sangat besar bagi dirinya, ia harus menghadapi masa depan yang tidak jelas dan penghinaan karena dia adalah seorang perempuan Moab.

Naomi berhenti berkata-kata dengan Rut karena hatinya yang sangat berat, ia tidak hanya merasa berat untuk dirinya sendiri tetapi dia juga merasa berat hati untuk Rut. Dua orang janda menempuh perjalanan yang penuh bahaya dari Moab ke Betlehem. Tanpa mereka sadari, TUHAN melindungi perjalanan mereka berdua. Selama perjalanan mereka hanya berdiam diri, karena diliputi dengan perasaan pedih yang berat. Setiba di kota Betlehem, masyarakat kota kecil tersebut langsung gempar dan saling berkata, “benarkah ini Naomi?” Bukankah mereka berangkat dengan penuh sukacita dan penuh harapan? Apa yang telah terjadi dengan keluarga ini?” Naomi berespon, “Jangan lagi memanggil aku Naomi tetapi panggillah aku Mara (pahit) sebab TUHAN telah melakukan banyak yang pahit kepadaku”.

Sepertinya berbagai ancaman kehidupan tidak kondusif untuk membangun kehidupan spiritual karena persoalan-persoalan hidup sudah banyak menyita energi seseorang. Tetapi di dalam kondisi yang berat di mana TUHAN tampak tidak hadir, Rut ditampilkan sebagai seorang ibu muda yang beriman. Naomi tenggelam di tengah kepahitan sedangkan Rut menghadapi kepahitan. Naomi kembali kepada masa lalunya, dia akan menghadapi pandangan sinis, cercaan, penghinaan dari orang-orang yang ia kenal di Betlehem. Sebab ia meninggalkan Betlehem dengan penuh pengharapan sedangkan kembali ke Betlehem dengan tangan kosong.

Rut menuju Betlehem “masa depan yang tidak pasti” dengan penuh perjuangan. Dia harus menghadapi pandangan-pandangan mata yang sinis karena dia adalah seorang perempuan Moab. Tetapi Rut bertekad melakukan perubahan sebab Rut memiliki keindahan batin “inner beauty”. Ia tidak tenggelam di dalam kepahitan, ia juga tidak menyerah kepada persoalan sosial. Ia menjalani hidup ini dengan tegar, penuh pengharapan dan berjuang mengubah persepsi orang lain terhadap dia. Tanpa disadari, Rut sedang menciptakan sebuah masa depan bagi dirinya sendiri oleh karena imannya dan sikapnya yang kokoh dan tegar. Kita dapat berkonklusi bahwa “bukan kesulitan yang menjatuhkan seseorang tetapi persepsilah yang menentukan sikap hidup”.




Thursday 30 August 2012

BEND IT LIKE BECKHAM


Bend It Like Beckham (2002) depicts a number of cultural differences that may result in potential conflict between British and Indian (Punjabi, Sikh) cultures. The film focuses on the main character, Jesminder Bhamra’s desire to play football and the conflict she faces due to her family obligations to her Sikh family. Jessminder Bhamra or Jess is left with a dilemma whether to choose to pursue football or to follow her parents’ wish which is simply to complete her studies and marry an Indian man. The film uses comedy to diffuse the tension in the cultural clash between Western values on personal freedom, personal choices, personal achievement and Indian values that strongly value loyalty and obedience to the family as well as a more low profile or humble role of an Asian woman. Now, let us explore some of the issues, cultures, values and worldviews in the Indian Sikh culture from within the movie.

Gender Bias
Gender bias is one of the predominantly portrayed features in the movie. Female are looked down on and are believed as not capable of playing football as well as males do. The interview in the beginning scene has explicitly described that Indian girls are not supposed to play football for it is considered as inappropriate and that is a shame for girls wearing shorts running in the field chasing after a ball being watched by the crowd. Interestingly, Jess, an Indian girl loves football and is fantasizing to be a professional footballer. Unfortunately her gender and her Asian cultural background are not in favor for her aspirations. Being an Asian girl, Jess is not supposed to play football with boys at the park and to play for the girls’ team, not to say wearing shorts showing off her legs to the spectators. Her acts have ashamed and outraged her parents. For Jess is expected to behave like an Indian girl in general; cook Indian dishes and marry an Indian man.

Juliet, a British girl who eventually befriends Jess also fancies football. It is her who brings Jess to join the girl’s team. Juliet’s mother also disapproves her daughter’s hobby. However, it is not a matter of personal freedom, as we know individual freedom is much emphasized in Western culture.  Although, it may seem similar to Jess’ parents’ disapproval but if we observe closely, we will discover that Juliet’s mother’s disapproval is not so much of a cultural issue but rather a very pragmatic and parental reason of a mother who worries about her daughter’s chance of marriage. For according to her personal feminine worldview, a woman’s primary goal in life is to be married and in order to be married, one has to look pretty. Her worldview tells that to be beautiful is to have fair skin and a slim body. As playing football will make her daughter’s skin grow darker and her muscle grow bigger and therefore she will eventually lose her beauty. Her main concern is more “individual-based” – personal ideals.

Admittedly, Jess’s mother does share similar worldview regarding the idea of “beauty” and a woman’s primary goal in life is to marry a good husband however Jess’s mother’s worldview is intermingled with her Sikh cultural background. Her main concern is more “community-based” – community acceptance, shame. From a gender perspective, both mothers share similar perspective on the role of women and their purpose in life. They are supposed to focus more on attracting husbands, marry good husbands therefore they are to dress up, make up, play no football and behave like girls.

Half-naked
There was one scene in the movie picturing Jesminder (Jess) and Juliet running side by side passing two Indian women jogging in their Sari. This scene caught my eyes and remind me of Moslems girls who would go jogging in their long sleeves and long pants with their jilbab or veils on. Obviously, Sikh culture requires girls to wear longer dress that provide more cover to their bodies and definitely “Sari” is the most appropriate dress. It is considered as indecent or inappropriate to reveal too much of their bodies. Jess’s mom explicitly conveys her thinking on the issue of appearance when she said, “I will not allow my daughter running on the field half-naked.”

It is my shame!
Punjabi or Sikh culture is not so much a guilt-culture but it is obviously a shame-culture as depicted in the movie. Jess’s mom felt ashamed of having her daughter “running half-naked” (wearing shorts is regarded as inappropriate) in the football field. Pinky and Teetu do not feel guilty of their sex behavior marriage but they would feel ashamed if their sexual behavior is exposed. Honor and shame are very crucial in Asian culture. Pinky and Teetu’s marriage is jeopardized when Teetu’s mom mistakenly saw Jess kissing with an English boy (it was not Juliet and they were not kissing but they were both laughing and hugging overwhelmed by joy) at the bus-stop. It is a shame for Teetu's parents to have their son married to Pinky with a sister who is regarded to be immoral as she engages in intimate behavior in public. In order to avoid shame to the family, they have to call off the wedding although the engagement ceremony has already been completed. Only when they eventually found out that it was actually a misunderstanding as Jess was just laughing and hugging Juliet as any younger generation will do expressing their close friendship. Same reason why Jess is not allowed to be a footballer, it is a matter of shame and larger family acceptance. The Sikh family is just trying to protect their family’s honor and avoid becoming a laughing stock in their community. Evidently, the family’s honour is paramount in Asian culture.

Respecting elder
It is interesting in the movie when Jessica’s mom asked Jess to teach her daughter some respect to parents when she said, "Jess, I hope you can teach my daughter a bit about your culture, including respect for elders” She recognizes and emphasizes Indian cultures strong value on respect to their elders. It implicitly portrays the value differences between Western culture represented by the British and the Asian cultures represented by the Indian Sikh culture in the movie.

Arranged Marriage - Am I free to marry?
Arranged marriage is common in the Sikh culture that is why Pinky and Teetu’s marriage is very special as their marriage is not an arranged marriage, instead it is a love-match which is not the norm of the society. A "love match" means that the two people fall in love and make the choice to get married. However, parents’ approval does play an important role in Asian culture.

Inter-religious as well as inter-race marriage is described as unfavorable in the film. It is considered as disloyalty or a betrayal to marry someone from a different race or religion. Cultural and racial prejudice is obviously depicted in the movie that convey against inter-racial and inter-religious marriages.

Sad Bride, Happy Family
Indian bride is not supposed to smile or to show her joy in her marriage. Pinky is filled with joy and is not able to hide her joy and therefore is reminded by the cameraman that Indian bride is not supposed to smile. However, the family is to be happy and show their happy faces in the wedding. After a serious ritualistic wedding, the family will shift to singing and dancing joyfully. What a contrast!

Guru Nanak – the founder of Sikhism
The camera frequently shoots on the picture of Bubaji hanging on the wall in the living room. Guru Nanak or Babaji is an Indian saint, the founder of Sikhism whom is much revered.  Jess’ mother prays to Guru Nanak for good result on Jess’ exam. This shows that Guru Nanak is very important in protecting and blessing the family. On another scene, Jess is asked by her mom to swear on Guru Nanak in order to prove that she is telling the truth. Guru Nanak seems to serve as the family’s Reference Point to constantly remind them of their values, protection and blessings.

Am I free to choose?
Religion or faith is not something one can freely choose in the Sikh culture. It is absolutely not an option but it is what someone is born to be. Neither it is an individual matter but it is absolutely a family matter. Inheriting the traditional religion and faith is a way to safeguard the family’s honor and it is regarded as the duty of the family members. Indian parents expect their children and even grand children to continue to be loyal to their family faith. In other words, their traditional religion and faith is their legacy and it is their honor to pass down and to live out their legacy.

 Bias: Superior and Inferior Culture
Asian culture is often viewed as being more inferior to Western culture. Jess’ father was rejected to play for the cricket team due to his wearing of turban. On another scene, Jess is deeply hurt, furious and overreacts when she is called “Paki” by the opponent player. Presumably, Asian culture is considered as being inferior by Western culture due to the fact that Western civilization is more developed in their technology. However, the rise of China and India as well as the wave of Korean culture does elevate Asian dignities.

Joe, an Irish, does express that he himself also experienced racism from the English. He sympathizes with Jess who is deeply hurt when she is humiliated by an English player. And on one occasion when Joe visits Jess’ parents informing her parents about an upcoming important match, Joe parents’ dislike Joe because Joe is a Westerner.  Obviously, cultural prejudice is strongly portrayed in the movie.

 Homosexuality: Indian can’t be gays
Another interesting message is Indian cannot be gays. Jess’s Indian friend admits that he is a gay and Jess’ response is interesting for she said, ‘but you are an Indian”. This shows that an Indian should not be a gay or it is not a norm neither it is acceptable for Indians to be gays. Gay and lesbian behavior are indeed a controversial issue and a taboo for Asian culture. However, the movie does portray that it is also not acceptable in the British family when Juliet’s mother thinks that Juliet is dating Jess. Unfortunately, the movie does not depict how Tony’s family and Indian friends will react when they find out that Tony is a gay.

Worldview: What have I done wrong?
Instead of blaming on their ways of educating the children, the parents (Jess’ parents) are asking whether they have done anything wrong that causes both their daughters to lie and bring so much shame to their family. Their worldview on life is karma. They are blaming themselves and their past-lives for their misfortunes and for what they are experiencing in their current state.

Worldview Change, Cultural Change!
Almost at the end of the movie, a shift of cultural views occurs. Juliet’s mother opens up herself to football and allows Juliet to pursue her hobby when she understands that female football players can also have normal family with children. It is paramount to note that Jess’ father also has a dramatic change of worldview. He allows Jess to skip out from her sister’s wedding and play in the tournament. At the end of the movie, he himself returns to play cricket with Jess’s boyfriend. The most touching script is Jess’ father’s new perspective when he says; "I don't want Jessie to suffer. I don't want her to make the same mistakes her father made of accepting life, accepting situations. I want her to fight and I want her to win." For me it is the peak of the movie, a point of awareness and realization, a point of worldview renewal and cultural transformation.

Final Remarks
Bend it like Beckham is an interesting movie that portrays cultural clash in a humorous way. It highlights some important features in both British and Sikh cultures that may potentially result in cultural clash. Most importantly, the movie also portrays that cultural clash does not only occur between or among different cultures but also within a culture itself such as between the older and the younger generations. It is indeed an enjoyable film to watch as it contains rich messages for reflection.






MANUSIA BALON


Manusia narsis mirip dengan manusia balon yang bisa membesar dan mengempis. Manusia balon merupakan kondisi manusia yang tidak memberikan hidupnya untuk dikuduskan oleh kebenaran (Yoh 17.19). Apa yang mengendalikan manusia balon? Ego! Kebutuhan utama manusia balon adalah kebutuhan untuk “membesarkan diri” yakni ia harus ditiup setiap saat untuk mempertahankan posisi besarnya.  Manusia balon harus dibesarkan dengan perasaan penting dan perasaan dikagumi (grandiose-self). Diri sendiri harus menjadi “GRAND” atau “the aggrandizement of the self”. Sebab dirinya dikuasai oleh perasaan kuatir yang berlebihan yang disembunyikan melalui pelbagai pembuktian diri. Oleh karena tidak memiliki keyakinan diri maka ia sangat membutuhkan vitamin berupa pujian yang membesarkan dirinya. Paulus menasihatkan kita agar tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri (Filipi 2.3).

Manusia balon akan merasa terancam apabila ada orang-orang yang lebih berpotensi di sekitar mereka. Sebab hidup bagi mereka merupakan kompetensi meniup balon. Persahabatan dilihat dari sisi “keuntungan” sebab mereka hanya bersahabat dengan orang-orang yang bisa mendatangkan keuntungan atau hanya sama orang-orang yang dapat mereka kendalikan.

Manusia balon adalah eksibionis alias suka pamer. Hobbi mereka adalah memamerkan kehebatan diri dan menyembunyikan kelemahan mereka.  Kelemahan adalah hal yang pantang diungkapkan kecuali kelemahan yang dapat mendatangkan pujian dan memegahkan diri. Di setiap percakapan, mereka akan berupaya untuk memancing pujian. Pujian dan pengakuan adalah nafas hidup mereka sebab mereka tidak dapat hidup tanpanya. Mereka yang hypersensitif dapat mendeteksi pujian yang sedikit dibuat-buat. Mereka tetap akan merasa senang atas pujian yang diutarakan tetapi mereka tidak menyukai orang yang mengutarakan pujian yang terlalu dibuat-buat. Dan mereka termasuk orang yang sangat mudah iri hati. Mereka hanya mau merasa berada di atas orang-orang yang mereka pandang remeh. Mereka memanfaatkan kelebihan mereka untuk menghina orang-orang yang mereka pandang remeh dan sangat berhati-hati di dalam mempertahankan kehebatan mereka. Mereka cenderung menyembunyikan kelemahan mereka. Yakobus menegaskan, Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran! (Yak 3.14). Yakobus juga mengingatkan, di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat (Yak 3.16).

Menurut Yakobus orang-orang yang dikendalikan iri hati akan menggunakan hikmat dari iblis untuk bertindak, hikmat yang sifatnya merusak. Sedangkan hikmat dari sorga berbeda. 

Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai. (Yak 3.17-18)

PERSELISIHAN PAULUS & BARNABAS


Kisah Para Rasul 16.37-39

Setelah pertobatan Paulus, orang-orang Kristen masih sangat takut padanya karena dia telah banyak menganiayai orang-orang percaya. Barnabas yang kemudian menjelaskan kepada murid-murid yang lain bahwa Paulus sudah bertobat (Kis 9.26). Dari situlah persahabatan Paulus dan Barnabas terjalin. Nah, pada perjalanan misi pertama Paulus dan Barnabas, Markus, kemenakan Barnabas juga ikut serta (Kol 4.10). Di tengah perjalanan, Markus memutuskan untuk kembali ke rumahnya di Yerusalem (Kis 13.13) (Alkitab tidak menjelaskan alasannya). Kemudian ketika perjalanan kedua direncanakan, Barnabas memutuskan untuk membawa Markus sebagai penolong, tetapi Paulus menolak ide tersebut sehingga terjadilah perselisihan yang tajam antara kedua rasul ini (Kis 15.36-41). Karena tidak mencapai kesepakatan maka mereka berpisah dan kita tidak menemukan catatan di Alkitab bahwa mereka kembali bersama di dalam pelayanan.

Perselisihan Paulus dan Barnabas merupakan perbedaan pendapat tentang Yohanes Markus. Paulus yang task-oriented tidak mengingini Yohanes Markus yang tidak berkomitmen dan sulit diandalkan. Sedangkan Barnabas bersikap terbuka dan memberikan kesempatan bagi Yohanes Markus seperti yang pernah ia berikan kepada Paulus saat orang-orang pada takut padanya. Namun walupun berselisih, kedua orang ini tidak membiarkan perselisihan mereka menghalangi pelayanan mereka. Apa yang menjadi perbedaan kedua orang ini? Paulus bertindak berdasarkan pengalaman dan logika sedangkan Barnabas bertindak berdasarkan kasih, pengampunan dan tali persaudaraan. Apakah Paulus menyesal? Tidak bisa dipastikan namun di kemudian hari Paulus mengemukakan bahwa pelayanan Markus penting baginya (2 Tim 4.11 & Kolose 4.10).

Perbedaan pendapat akan selalu terjadi di dalam pelayanan akan tetapi yang terpenting adalah tetap berfokus dalam melaksanakan kehendak Tuhan. Penanganan perbedaan pendapat yang baik merupakan cermin dari kedewasaan rohani. Konflik Paulus dan Barnabas tidak membuahkan kepahitan. Dia juga menyebutkan di suratnya kepada jemaat di Korintus bahwa Barnabas berhak menerima bantuan keuangan (1 Kor 9.6). Saya yakin dokter Lukas mencatat peristiwa tersebut untuk menyadarkan kita akan adanya potensi konflik di tengah pelayanan namun kedewasaan rohani sangat dibutuhkan di dalam penangangan persoalan secara dewasa dan bukan secara emosional.

Rasa dendam dan kepahitan meraup kebahagiaan seseorang. Kepahitan juga menjadi beban hidup seseorang. Rasa dendam dan kepahitan yang berkepanjangan berpotensi menjadi sumber gangguan jiwa seseorang. Kasih dan kedewasaan rohanilah yang dapat membebaskan seseorang dari belenggu rasa dendam dan kepahitan. Setiap kita tahu akan pentingnya pengampunan akan tetapi kita mungkin bertanya, tetapi bagaimana? Pengampunan terjadi apabila dimulai dengan sebuah “niat” untuk mengampuni, tidak menghakimi dan bersedia untuk “menggeser kamera”. Dengan menggeser kamera, kita mengubah sudut pandang kita kepada perspektif orang yang tidak kita sukai. Plato mengatakan, “Be kind, everyone you meet is fighting a hard battle”. Seseorang bisa salah paham pada kita karena ia belum bisa memahami kita. Ia belum mampu melihat dari sudut pandang kita. Kita juga perlu mengakui keterbatasan kita untuk memahami segala sesuatu.

Kekuatan Kelemahlembutan - Bilangan 12